era digital

RUANG PUBLIK, PRIVASI, DAN ERA DIGITAL

“Pujilah masakan ibumu di meja makanmu sendiri.” Kira-kira gitu dulu kalimat dari tulisan Bang Saief Alemdar, years ago :D.

Masalahnya sekarang, even if you’re boasting around about something in front of your “inner circle” (ONLY), selalu ada TIM SKRINSYUT dengan kecepatan cahaya yang siap beraksi hahaha.

Tentu beda cerita dengan STATUS/POSTINGAN yang sifatnya PUBLIC ;). Apa pun yang sudah di-share secara PUBLIC, ya harus siap menerima konsekuensinya :D.

Bahkan saya sudah pernah memperingatkan soal aplikasi Google Photos, kan? Kalian mungkin tidak sadar pernah login di Google Photos yang menyebabkan Google Photos bisa mengakses foto-foto di gallery ponsel kalian.

Semua foto akan ter-backup di sana. Hati-hati jangan bikin foto aneh-aneh dah biarpun niatnya cuma koleksi pribadi aja hihihihi.

Ada untungnya juga, sih. Tempo hari kalau gak salah seorang teman panik, tidak sengaja menghapus ratusan foto liburannya di ponsel sebelum sempat di-dokumentasikan. Syukurlah begitu masuk Google Photos, ratusan foto tersebut baik-baik saja dalam folder Google hehehe.

Sekali kalian menyetorkan data secara ONLINE, even sudah setting ONLY ME kek, SUPER PRIVATE LU KAGAK MUNGKIN BISA NGINTIP kek, dst dst, secara otomatis data tersebut sudah bukan milik kalian pribadi.

Terjadi pergeseran cukup besar dalam penyebaran informasi di era digital.

Seperti yang saya singgung di awal, bahkan kalau kita pun niatnya cuma merepet di “grup pribadi” atau lingkaran teman tertentu, be extra careful.

Ingat kasus embak-embak (D) yang ngomel soal ibu hamil di gerbong Commuter Line? Dia posting di PATH kalau gak salah.

Berbeda dengan platform lain, PATH ini bisa dibilang paling “private”. Bener-bener harus temenan baru bisa ngintip. Gak punya settingan public kan ya kalau gak salah? Itu juga harus LOGIN dulu.

Sialnya, salah satu ‘inner circle’ si Mbak D mungkin kesel juga dengan postingan tersebut. Alih-alih konfrontasi langsung, dese melakukan hal yang lebih ‘kejam’. Postingannya di-screenshoot dan disebarluaskan dengan membabi buta secara PUBLIC di berbagai platform media sosial yang lain :(.

Sisanya ya kalian tau sendirilah apa yang terjadi setelah itu.

Membenci itu sesuatu yang sangat manusiawi. Tapi MENYEBAR KEBENCIAN itu beda lagi.

Even chat-chat pribadi harus hati-hati. Harus dipikir-pikir takut kena skrinsyut hahahahaha. APALAGI ceramah-ceramah agama frontal di depan orang banyak (walau ‘inner circle’).

Makanya kasus ceramah-ceramah agama yang pernah ramai itu, soal kontennya sih bukan barang baru lah. Pada umumnya kan ya emang gitu. Sindir-sindiran antar agama hal yang tidak terelakkan.

Ya mungkin karena itu juga banyak yang ‘lelah’ dan memilih tidak beragama (lagi). Karena penyebaran informasi sekarang lebih brutal dan liar :(.

Konten youtube misalnya, entah berapa channel yang suka iseng clickbait dengan mengunggah ceramah-ceramah sepotong-sepotong dari para pemuka agama. Dipilih yang sekonyol atau se-terekdungces mungkin :(.

Ini di semua agama rasanya ada, deh :(.

On the other hand, ya memang susah. Tidak mungkin kita mau ngatur-ngatur keyakinan orang lain. Ya memang pada dasarnya tidak sedikit kaum beragama yang yakin, “Udahlah, kalo lo gak ikut agama gue, ya lu otomatis masuk neraka lah.”

Karena kalau kalian berani-berani berpendapat, “Udahlah, biar Tuhan yang menilai, kita jalani masing-masing saja” ya siap-siap saja dituduh LIBERAL, PLURALIS yang kini makin tajam persinggungannya dengan kaum ‘puritan’/konservatif.

Mungkin ada baiknya para pemuka agama mempertimbangkan pergeseran penyebaran informasi di era terkini. Mbok ya, jangan terlalu vulgar lagi. Apa gak ada yang bisa dibahas lagi soal agama sendiri sampai harus nyinyirin agama orang lain?

Sudah tidak bisa lagi kita menyangkal model, “Loh ini kan buat kalangan internal.”

Helooooooo, kalangan internal piye kalau ternyata semua jemaah bebas merekam dan bebas menyebarluaskan. Apalagi semangat dakwah lagi pada tinggi-tingginya, hijrah dimaknai dengan sebanyak mungkin berkomentar, “Duh, lo cepetan kembali ke jalan yang lurus deh kayak gue. Semoga dapat hidayah. Maaf, cuma mengingatkan.”

Sialnya, yang begini-begini tidak menyebar di kalangan seagama saja, tapi terpental-pental sampai jauh ke mana-mana.

Belum lagi ribetnya UU Penistaan Agama yang entah apaan tauk parameternya. Karena lama-lama yang ‘diproses’ ya yang nyerang mayoritas doang :(. Kuat-kuatan adu massa, banyak-banyakan demo, dst dst dst.

Gagap beragama, gagap teknologi, juga mungkin kombinasi politikus yang paling pinter manfaatin sikon, makin-makin tidak terkendali :(.

Kita hidup dalam perbedaan sudah lama sekali. Yang diributkan juga bukan barang baru. Yaela, ulama muslim yang nyinyirin ajaran Nasrani dari dulu juga buanyaaaaaakkk. Pendeta yang mencibir prosesi ibadah haji dsb juga ada dari kapan tauk mah.

Tapi INTERNET membuat jangkauan informasi yang dulu
terbatas kini terbentang luas. It’s not something we can ignore atas nama dakwah semata :(.

Lagian, diantara sekian banyak persamaan, sudah-sudahilah mempertajam perbedaan. Cobalah lebih banyak membahas problem kemanusiaan yang biasanya mudah terjalin lintas agama itu.

Etapi lupa ada politikus dan birokratis ‘busuk’ yang siap memanfaatkan apa saja untuk memuluskan jalan meraih kekuasaan termasuk memperkuat POLITIK IDENTITAS.

Politik Identitas ini yang juga mendorong kita untuk tidak peduli lagi kepada ‘KONTEN’ tapi super ribet di ‘JUDUL’ :(.

“We build too many walls and not enough bridge” -Isaac Newton-

Think about it.