by : Jihan Davincka
***
Rujukan tulisan, disarikan dari berbagai sumber. Lihat di akhir tulisan, ya ;).
***
Di pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, yang cukup sering diulas adalah peristiwa Gestapu. Peristiwa yang me’wajib’kan kita, terutama para belia di masa tahun 80 an, untuk menghujat PKI (organisasi busuk yang kerjanya membantai ustaz). Sekaligus menanamkan paham bahwa Soekarno, sang presiden kala itu, bertanggung jawab atas salah satu sejarah terkelam tersebut.
Kelam bukan karena ada 7 jenderal yang terbunuh di penghujung bulan september 1965. Tapi, justru ada ratusan ribu nyawa lain yang ikut melayang selepas peristiwa tersebut.
Peristiwa yang sudah menyajikan banyak bukti namun masih sarat misteri dalam gelaran sejarah revolusi nasional.Sang presiden yang punya prinsip ‘gila’ untuk menyatukan kaum Nasionalis-Agamis-Komunis tersebut tentu tak diizinkan mendapat simpati dari kaum muslim. Jadi, semasa sekolah, saya tahunya komunis itu ya penentang Islam.Saya tidak memuja komunis.
Buat saya, baik kapitalis maupun sosialis, tak ada yang benar. Sebagai seorang muslim, saya selalu percaya syariah Islam masih satu-satunya jalan terbaik untuk kehidupan bermasyarakat. Hanya saja, mohon maaf, kalau yang sekarang lagi hits membawa-bawa nama Islam dalam dunia politik sangat jauh dari bayangan saya tentang kesempurnaan Islam itu sendiri *noOffense* :P.***Timeline hari ini ramai membahas gelar “Pahlawan Nasional” yang akhirnya resmi disematkan kepada Soekarno-Hatta. Sebelumnya, keduanya cuma resmi mendapat gelar “Pahlawan Proklamator”.
Kebetulan literatur yang sudah banyak dibaca adalah tentang Soekarno. Jadi tulisan ini khusus untuk membahas Bung Karno. Presiden pertama RI yang pernah sukses membuat ‘galau’ pemerintahan kapitalis Amerika di tahun 60-an silam :D.
***
Dulu, satu-satunya yang saya tahu, presiden satu ini nyentrik banget. Tergila-gila pada seni dan…wanita! Hehehe. Buku pertama tentang Soekarno yang saya baca adalah : “Istri-istri Soekarno.”
Masa remajanya banyak diulas dalam buku “Kuantar ke Gerbang.” Sebuah buku yang sebenarnya bercerita tentang Inggit Garnasih, perempuan pertama yang berusia 12 tahun lebih tua daripada beliau. Yang berhasil menawan hati sang proklamator dalam rentang waktu paling lama.
Diceritakan tentang Soekarno muda yang tampan, idealis, cerdas, dan dari dulu ternyata memang penggemar wanita. Hehehe.
Cara berpikir lugas dan kegemarannya berbicara membawanya sebagai salah satu orator ulung. Salah satu untaian kata-kata beliau yang sangat terkenal adalah :
“BERI aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru. Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia.” (Bung Karno)
Sesungguhnya Soekarno muda sudah sering mendapat perhatian khusus dari guru-guru belandanya. Tapi beliau memang bukan orang sembarangan. Di usia belia, sudah ditancapkannya cita-cita membawa bangsa Indonesia berdiri tegak sebagai bangsa yang merdeka.
Sebuah mimpi besar yang kelak membawanya bolak balik masuk penjara, bahkan terbuang di pengasingan nun jauh di Pulau Bangka.
Di masa-masa perjuangan kemerdekaan, sedari muda, pergaulannya sudah sangat luas. Salah satu tempat favoritnya adalah di lingkungan rumah Tjokroaminoto (yang disebutnya sebagai “dapur revolusi Indonesia.”). Disinilah beliau bertemu Ki Hajar Dewantara (penggagas pendidikan nasional melalui Taman Siswa), berkenalan dengan Alimin (yang memperkenalkannya pada Marxisme), bahkan dengan Semaun. Seorang tokoh yang aktif di Sarekat Dagang Islam sekaligus anggota dari ISDV, cikal bakal PKI.
Mungkin dari situlah, Soekarno mendapat gagasan tentang Agama-Komunis, dua hal yang hingga kini tak pernah bisa terjembatani. Tapi kemudian di masa kuliah, Soekarno takluk pada paham Nasionalis. Di masa itulah, mimpinya, akan sebuah negara merdeka tempat berbagai ras dan agama mengikatkan kesetiaan pada satu tanah air yang sama, mulai bersemi.
Namanya makin bergaung setelah menuliskan artikel “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme.” Soekarno menyerukan semangat persatuan. Berdiri dalam lingkaran yang sama untuk melakukan perlawanan non-kooperatif terhadap penjajahan Belanda.
Soekarno adalah ilham terhadap Sumpah Pemuda. Sekaligus perumus dasar-dasar Pancasila secara gemilang.
***
Perjuangannya mengalami pasang surut. Tak jarang Soekarno yang narsis mengalami hubungan yang sulit dengan rekannya, Bung Hatta. Bung Hatta menginginkan kaderisasi untuk mendukung lahirnya militan-militan sekaliber Soekarno. Sebaliknya Soekarno lebih suka berkoar-koar di depan massa, mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk menggerakkan mereka.
Siapa sangka, karier politiknya, yang kelihatannya akan berakhir di pengasingan selama 4 tahun di Pulau Ende, malah kembali bersinar setelah Belanda menyerah pada Jepang.
Soekarno memiliki harapan yang terlampau tinggi pada ‘tuan baru’nya ini. Ditelannya rasa arogan yang dulu berkobar sedemikian perkasa terhadap Para Meneer. Dikerahkannya kemampuan untuk menghipnotis khalayak melalui orasinya. Dibujuknya para pemuda untuk ikut barisan Romusha. Sebagian besar mereka dikirim untuk kerja paksa dan tak pernah kembali lagi.
Hatinya remuk mengenang dirinya yang dianggapnya telah mengirim mereka ke lembah kematian. Tapi ucapannya setelah itu, “Dalam setiap peperangan ada korban. Tugas panglima adalah memenangi perang. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan orang, akan saya lakukan.”
Tentu saja, hal ini akan selalu menjadi polemik sepanjang waktu. Perdebatan moral yang tak ada habisnya.
Bersama Hatta, Soekarno tampil ke depan podium, membuka sejarah baru untuk bangsa Indonesia. Jatuh bangun bersama-sama di awal masa-masa kemerdekaan. Namun, Hatta yang lebih ‘dingin’ dan disiiplin akhirnya memilih untuk menyingkir dan membiarkan Soekarno yang terkesan tak sabaran berkibar dengan Demokrasi Terpimpin-nya.
***
Di tahun 60-an, prinsip Nasakomnya membuat kaum kapitalis gemas. Pemerintah Amerika yang tengah bergulat dengan komunis Vietnam, makin dirundung kecemasan dengan Soekarno yang keras kepala. Indonesia, dengan PKI-nya, berhasil menjadi negara dengan partai komunis terbesar di luar negara-negara yang memang berpaham komunis.
Tapi, kepopuleran Soekarno di mata rakyat menggentarkan sang Negara Jantung Dunia untuk ‘menyerang’ secara terbuka. Konon, kaum kapitalis ini, diam-diam menyusup dalam setiap kisruh yang sepanjang tahun 50 dan 60-an gencar dilancarkan oleh daerah. Melalui mata-matanya, para kapitalis turut membiayai dan mendanai para perongrong kekuasaan Bung Karno.
Namun kemudian, sadar dengan kesalahannya, kaum kapitalis akhirnya menemukan ‘sekutu sejati’nya : Angkatan Darat.
Tak ada buku yang benar-benar sanggup membahas siapa sebenarnya ‘otak’ dari peristiwa Gestapu. Peristiwa sehari yang terkesan ‘konyol’ ini yang akhirnya diputarbalikkan secara sempurna untuk menjungkalkan kekuasaan Soekarno.
PKI, yang kala itu merupakan anak emas Soekarno, salah satu alat kesombongannya untuk menantang Raksasa Kapitalis, ditumpas nyaris tak berbekas. Setelah Gestapu dilumpuhkan dalam tempo sangat singkat, kurang dari 24 jam saja.
Pertanyaan besar yang sudah tak menyisakan saksi hidup ini masih terus berputar. Mengapa PKI, sebuah partai besar beranggotakan sekitar 3 juta orang, mendapat dukungan penuh dari Presiden Soekarno, yang masih sangat berpengaruh saat itu, rela ‘membunuh diri’nya dengan pemberontakan bodoh (yang secara skenario sudah dipastikan akan gagal) di penghujung september 1965.
***
Di tengah-tengah kehancuran yang tengah dijalaninya, Soekarno ‘menitipkan’ Ali Sadikin untuk ibukota. Soeharto merestui dengan setengah hati. Kala Ali Sadikin memimpin Jakarta, dana yang dikucurkan sangat sedikit. Tapi, Soekarno tak salah pilih. Justru di tangan Ali Sadikin, Jakarta berbenah dengan sendirinya.
Meskipun jalan yang ditempuh Bang Ali cukup kontroversial. Beliau mendanai pembangunan fasilitas umum dengan melegalkan perjudian dan prostitusi. Ditanggapinya semua kontroversi dengan ucapan, “Anda nikmati saja semua fasilitas umum itu. Kita tahu dananya darimana. Urusan lainnya, itu antara saya dengan Tuhan saja.”
Dan sejarah menasbihkan Ali Sadikin sebagai salah satu gubernur yang dianggap paling mumpuni, hingga detik ini.
Berpuluh-puluh tahun setelah G 30 S, Orde Baru berusaha keras membenamkan nama besar Soekarno. Namun, Soekarno membuktikan sumpahnya sendiri, “Sejarah akan membersihkan namaku.”
Segala upaya tersebut berakhir dengan hasil terbalik. Sesungguhnya nama besarnya tak pernah pudar. Dan orde baru tak pernah benar-benar mampu melumpuhkan pesona seorang Bung Karno. Sejarah dan waktu justru melahirkan pengampunan untuk kekhilafannya di masa lalu.
Bahkan, pemerintah menolak permintaannya untuk dikuburkan di Bogor. Bogor terlalu dekat dengan pusat pemerintahan. Tentu dikhawatirkan makam beliau akan menjadi tempat ziarah populer.
Dalam salah satu buku 4 serangkai bapak bangsa keluaran Tempo “Soekarno, Paradoks Revolusi Indonesia” dituliskan bahwa “Jasad matinya pun membuat gentar!”
Kini, kapitalis sudah sangat menggurita. Mungkin sudah terlambat untuk mencerna cita-cita seorang Soekarno yang pernah ingin mengusir penuh kepemilikan asing untuk sumber daya apa pun di Indonesia. Yang begitu perkasa meyakini kemampuan kita untuk berdiri tegak di atas kaki sendiri. Dan tak lelah membagi ‘kesombongan’ ini kepada rakyatnya.
Lihatlah kita, bahkan sebagai negara penghasil tempe, kita pernah diterjang badai : kisruh soal tempe. Sudah semakin menjauh dari pernyataan garang beliau, ” Biar Bangsa Tempe Asal Bukan Mental Tempe!”
***
Sebegitu banyak ironi yang ditampilkan dari sosok pemimpin kontroversial ini. Tapi nama besarnya tentu tak boleh sedikit pun dikecilkan atas jasa luar biasanya.
Meskipun (mungkin) tak pernah mengangkat senjata secara langsung di hadapan kompeni, tapi anak muda luar biasa ini jatuh bangun bertahun-tahun, melepaskan tawaran masa depan dari Para Meneer, bersama-sama para pejuang lain, mengantarkan kita semua memasuki gerbang kebebasan sebagai bangsa yang merdeka.
Bahkan nama besarnya masih bergema di KTT GNB 2012, dikutip oleh pemimpin Iran, Khameini, “….tapi, seperti yang dikatakan Ahmad Sukarno, satu dari para pendiri gerakan ini di Konferensi Bandung 1955 yang legendaris, dasar dari pendirian Gerakan Non-Blok bukanlah kesamaan geografis, rasial, atau relijius, melainkan adanya kesamaan kebutuhan.”
***
Begitulah seorang Soekarno. Seseorang yang sarat dengan puja dan caci. Yang tak pikir panjang menentang pembentukan negara Federasi atas Malaysia dan Singapura oleh pemerintahan Inggris di kala itu. Namanya pernah menciutkan pemimpin dunia sekaliber negara Amerika sekali pun.
“Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa.” (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat).
***
Disarikan dari berbagai buku :
“Soekarno, Paradoks Revolusi Indonesia.” (seri 4 serangkai Bapak Bangsa oleh Majalah Tempo)
“Dalih Pembunuhan Massal / Pretext for Mass Murder” (John Roosa, 2006)
“Kuantar ke Gerbang” (Ramadhan KH).
“Istri-istri Soekarno.” (Lupa nama pengarangnya :P).
Comments are closed.