Mengapa NADIEM MAKARIM? (Kontroversi Kabinet Kerja II)

Diantara hosip-hosip kabinet, nama Nadiem yang cukup tajam sorotannya. Usia paling belia dan latar belakangnya yang cukup ‘eksentrik’ untuk dunia pendidikan di tanah air.

Kalau buat mereka (eh, termasuk saya sih hehehe) yang bukan bagian dari ‘kalangan pendidik formal’, kayaknya excited dengan terpilihnya Nadiem Makarim di pos Pendidikan.

Tapi justru kritik banyak datang dari ya itu tadi … ‘kalangan pendidik formal’. Jangan dikit-dikit dianggap nyinyir dan baper lah. Justru kita harus cermati dentuman-dentuman yang datang langsung dari mereka yang berjibaku sebagai salah satu ‘jantung pendidikan’ di tanah air.

Kemarin ngobrol sedikit dengan teman yang sudah lamaaaa menjadi dosen di sebuah kampus ternama di tanah air. Yang bersangkutan juga level pendidikannya sampai S3. Buat saya pribadi, pendapatnya lumayan obyektif lah (y).

Level S3 ini agak beda dengan S1 dan S2, karena mereka benar-benar bergantung pada riset dan penelitian dst dst.

Sebenarnya kegelisahan kita sebagai orang tua di Indonesia (eh kalian deng, gue pan di Ireland hahahaha :p) adalah kurikulum milenial sekolah dasar yang kita anggap terlalu berat dan gak pernah konsisten :(.

Tapi mungkin kita lupa PENDIDIKAN TINGGI (S1, S2, dan S3) juga di bawah Kemendikbud. Tadinya sempat dipindahkan ke Ristek ya kalau gak salah, tapi tahun ini dibalikin lagi.

Nah, di sini mungkin bentroknya.

Sudah sekian lama saya terganggu sekali dengan lontaran macam, “Halah, ngapaian sekolah tinggi-tinggi. Noh, lihat si Chanel. Cuma lulus SMA, uangnya banyaaaaak. Lah si Fossil katanya professor, gajinya kecil.”

Makin ke sini kayaknya KESUKSESAN terlalu erat definisinya dengan PUNYA UANG BANYAK. Kalau bisa di usia semuda mungkin sudah tajir (kayak Kak Nadiem? #eh).

Saya rasa sudah sekian lama pun mereka yang berkarier di dunia akademis berusaha mengembalikan harkat dan martabat si ILMU ini. Berusaha mendidik masyarakat kalau ILMU pun adalah harta tak ternilai. Jangan sikit-sikit duit lah.

Hal itu yang membuat kita stres sendiri. Akhirnya lomba-lomba mengejar anak biar masuk jurusan yang kelak bisa menjadi sarang duit. IT misalnya yang terkini.

Boro-boro pengin anak bisa riset dan punya basis meneliti yang bagus. Pasti pada doain anaknya bisa cepat kerja di Google atau di Facebook hahahaha :p.

Mungkin hal ini yang diperjuangkan oleh sebagian tenaga pendidik di tanah air. Dan mereka merasa ‘dikhianati’ dengan munculnya sosok Nadiem Makarim yang justru MEWAKILI generasi milenial yang cita-citanya kok kayaknya melulu mengukur kesuksesan dengan harta (berupa uang dan semacamnya).

Kok malah bertolak belakang dengan semangat mencetak sarjana-sarjana perguruan tinggi yang mampu fokus dengan bidang ilmu dan mempergunakan pengetahuan untuk mengabdi ke masyarakat tidak hanya berdasarkan hasrat haus gaji gede aja gitu.

Nadiem Makarim memang cocok untuk industri ekonomi kreatif. Tapi kita harus jujur lah, dunia penelitian ini memang agak-agak jauh hawa-hawanya dari yang ‘hedon-hedon’ begini-beginian. Kukasih tanda kutip biar gak salah paham.

Peneliti itu basisnya idealisme yang seringkali memang harus rela dibayar seadanya. The ugly truth we must accept. Begitulah dunia ini adanya hehehe. Di negara-negara maju pun problemnya sama kok ;).

Nah kira-kira begitu kegelisahan teman-teman dari tenaga pendidik (utamanya di perguruan tinggi) terhadap penunjukan sosok Nadiem ini.

Khawatirnya sosok Nadiem malah makin menyuburkan salah kaprah soal definisi ‘KESUKSESAN’ ini, terutama di bidang PENDIDIKAN.

Tidakkah kita lelah dengan dunia yang makin ke sini menuntut generasi terkini untuk cepat-cepat cari uang yang banyak hahaha.

Sudah saatnya kita sama-sama sadar tentang pentingnya ILMU yang pernah saya tulis dulu merupakan harta yang paling tidak menyusahkan, paling mudah di bawa ke mana-mana. ILMU itu spesial, makin banyak kita beri eh makin banyak yang kita terima ^_^.

Jangan semua-mua diukur pakek receh ama uang kertas gitu hehehe ;).

I got the point (y). Paham banget insya Allah. Tapi bukan berarti setuju hehehe.

Saya mah tetap percaya, who can tell where the road goes, only time … seperti lirik lagunya Enya :).

Coba berilah kesempatan dulu buat Nadiem Makarim. Kita tunggu gebrakan-gebrakan beliau. Diawasi terus (y).

Semoga kritikan-kritikan yang masuk bisa menjadi pertimbangan beliau dan tim di Kemendikbud.

Kalau nanti gak perform kan tinggal diganti, dulu udah pernah kan? Hehehhehe :p.

Tapi buat teman-teman lain ya jangan diolok-olok lah kritikan dari kalangan pengajar dan pendidik ini hehehe. Dianggap old school lah, dinosaurus yang gak peka perubahan zaman lah, dst dst dst.

Santai ajaaaaaaaaaaaa :D.

Coba yuk, kita lihat dari sudut pandang mereka. Sebagian sudah saya tulis di atas :).

“Real education should consist of drawing the goodness and the best out of our own students. What better books can there be than the book of humanity.“
Cesar Chavez

Think about it 🙏.

1 comment
  1. Ingin menambahkan bahwa riset tidak semata-mata untuk ILMU itu sendiri, tetapi juga untuk dapat diaplikasikan ke kehidupan sehari-hari sehingga hasil riset bisa beguna untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat.

    Hal ini yang kurang di Indonesia. (Di negara maju link riset dan bisnis sudah mapan). Semoga orang dari latar belakang ‘bisnis & inovasi’ seperti NM bisa memperbaikinya.

Comments are closed.