[Cerpen] “TITIPAN”

Oleh : Jihan Davincka

***

Nuril berusaha bangkit dari tempat tidur. Berjalan pelan ke arah jendela.

“Hm…enak juga dapat kamar yang viewnya bagus.” Nuril menggumam sendiri.

Hari masih pagi. Pukul setengah enam. Belum lama azan subuh berkumandang. Sisa hujan semalam masih menyisakan titik-titik embun di kaca jendela.

Wajar jam segini belum terdengar hiruk pikuk berarti di rumah sakit. Hanya sesekali suara langkah mendekat dan menjauh, beberapa obrolan dengan suara rendah dari luar pintu, dan selebihnya hanya kicau burung yang mengundang langkah Nuril mendekat ke arah jendela sekarang ini.

“Halo…,” Nuril tersenyum dan menyapa seekor burung kecil yang bertengger di depan kaca jendela yang masih tertutup rapat.

Nuril mengetuk lembut kaca jendela dengan telunjuknya, menggoda si burung kecil. Burung kecil itu mendadak terbang menjauh. Nuril tertawa lebar, “kamu sudah bisa terbang, ya.”

Masih memandangi pemandangan taman rumah sakit yang hijau dengan berbagai rupa bunga warna warninya, pikiran Nuril melayang ke masa lalu. Hinggap tepat di saat itu, kala itu, kala semuanya masih terasa berbeda.

***

Nuril tidak bisa tidur. Entah jam berapa sekarang. Terakhir dia menengok ke arah jam saat jarumnya menunjukkan pukul 1 pagi. Tapi itu mungkin sekitar sejam yang lalu. Jam 2 malam sekarang ini dan Nuril tak juga bisa memejamkan mata.

Kekhawatiran yang berlebihan sudah menjelma menjadi ketakutan. Nuril memandang ke arah suaminya yang sudah terlelap sejak tadi. Apakah ini bisa dianggap pengkhianatan? Dada Nuril berdegup makin kencang. Situasi sekarang ini sedang tidak menentu, haruskah masalah ini muncul?

“Tapi kan belum tentu, lho. Tunggu saja dulu beberapa hari lagi.” Suara hati kecil yang ini mampu meredakan kegelisahan yang sudah memuncak. Nuril mencoba mengatur nafas. Mencoba berpikir jernih. Belum tentu semua terbukti benar. Belum perlu menceritakan apa-apa kepada Abang.

Selang beberapa hari, Nuril malah makin gelisah. Ah, kelamaan menduga-duga. Di suatu sore Nuril memutuskan keluar rumah sebentar. Sudah saatnya menerima kenyataan, apapun itu.

“Mbak Is, aku keluar sebentar. Titip anak-anak, ya. Doni masih tidur kayaknya. Bella di kamarnya, tuh. Temenin main dulu, ya.”

“Kemana, Bu? Lama ndak? Nanti kalau Bapak tanya…”

“Nggak lama. Sebentar aja, kok. Sebelum Bapak pulang, Ibu dah di rumah.”

Malam itu Nuril akhirnya mendapat kepastian, tidak lagi menduga-duga. Hatinya ciut. Bagaimana ini? Terlintas keinginan untuk… astagfirullah, Nurul memejamkan matanya. Tidak boleh begini, tegasnya dalam hati. Biarpun keinginan terkutuk itu menghantui sepanjang malam, batin Nurul berusaha menghalau sekuat tenaga.

***

Suaminya sudah di rumah sejak siang tadi. Biarpun meragu luar biasa, Nuril mantapkan hati untuk berterus terang kepadanya. Hari ini juga. Memang bukan saat yang tepat. Dan entah akan seperti apa tanggapan suaminya. Tapi Abang harus tahu. Dia berhak tahu.

“Belum ada perkembangan, Bang?”

“Belum. Visanya tetap gak bisa. Gak tahu kenapa.”

“Orang sananya gimana? Mau nungguin?”

“Sepertinya enggak, Dek. Mereka butuhnya buru-buru.”

“Aduh, kok bisa jadi kayak gini, ya? Abang sih dulu buru-buru resign. Jadinya kan sekarang kayak gini.”

“Lho, kenapa jadi malah nyalahin aku, sih? Lagian divisiku kan emang mau bubar. Kalo gak resign juga bakal dikeluarin, Dek.”

“Tapi Bang…harusnya Abang bisa dapat paket pensiun dini itu. Andai saja mau bersabar, andai…” Suara Nurul mulai meledak-ledak.

“Kenapa malah marah, Dek?” Suaminya memotong ucapan Nuril. “Ini sudah kita bahas. Divisiku mau bubar, Dek. Temanku banyak yang mencari lowongan. Aku pikir urusan visa bakal lancar. Tentu dong aku harus sigap membaca kesempatan. Aku harus resign untuk mencoba lowongan itu, Dek. Aku kan sudah bilang, tak banyak yang bernasib sial seperti kita. Teman lain lancar-lancar saja urusan visa ini. Tapi ya…”

Nuril mendadak menangis. Suaminya terlihat bingung. Nuril sebenarnya juga tak tahu, tangisan apa ini. Mendadak saja segala emosi yang tertahan beberapa hari terakhir ini tumpah di saat itu.

“Maaf, Dek.”

Nuril mengangkat wajahnya.”Aku juga mau minta maaf.”

Nuril menyerahkan benda kecil yang sedari tadi dipegangnya. Dia meletakkan benda itu di telapak tangan kanan suaminya. Nuril menunduk lagi, tak berani mengangkat kepalanya..

Suaminya mendesah panjang. “Kok bisa?”. Nuril mendongak cepat, matanya menyala.

“Bukan, bukan itu maksudku.” Suaminya menggeleng cepat. Dia meraih kepala Nuril ke bahunya. Memeluk perlahan, mengangkat muka Nuril sehingga wajah mereka berhadapan.

“Maaf apa? Aku senang.”

“Tapi Bang…”

“Akan ada jalan keluarnya. Jangan takut, kok malah kayak gini, Dek. Selamat, ya.”

Tangis Nuril langsung pecah. Lebih menjadi-jadi dari yang tadi. Suaminya tertawa. “Kamu ini selalu kayak gitu, deh. Kalau hamil muda pasti cengeng.”

***

Nuril senyum-senyum sendiri. Begitu cepatnya waktu berlalu. Duh, capai juga berdiri terus. Nuril balik ke tempat tidur. Duduk bersandar dan meraih dompet yang tergeletak di meja di sebelah tempat tidur. Mengeluarkan sepucuk foto, menatapnya lekat-lekat. Dalam hitungan detik matanya sudah basah.

Doni, anak sulungnya sedang tertawa lebar membawa Anggun. Anggun di foto ini baru berusia 1 tahun. Bella, 4 tahun, berusaha menggapai Anggun yang diangkat tinggi-tinggi oleh Doni. Anggun tertawa jenaka seolah mengerti kedua kakaknya sedang berusaha memperebutkannya.

Proses hamil Anggun yang tadi hinggap di pikirannya. Memori saat suaminya baru saja kehilangan pekerjaan tanpa mendapat pesangon. Sementara, iming-iming tawaran kerja di luar negeri belum menjadi rezeki keluarga mereka kala itu. Visa suaminya gagal. Entah kenapa.

Tapi memang semua orang sudah punya jodohnya masing-masing. Nuril yang mudah panik, gampang dilanda kecemasan, dihibur dengan telaten oleh suaminya, “Adek, rezeki anak ada di tangan Tuhan. Bukan di tangan kita. Tapi kita pasti selalu berusaha yang terbaik buat mereka.”

Dan saat Nuril masih saja menyimpan keengganan, suaminya pun berkata, “Di atas kertas mungkin rasanya mustahil bagi kita untuk menambah anak saat ini. Biaya Doni dan Bella saja tidak sedikit. Aku menganggur. Asuransi kesehatan kita sudah tak punya. Tak ada kantor yang menanggung kita lagi. Tapi Dek, itu kan hitung-hitungan manusia. Matematika Tuhan itu bukan urusan kita untuk memahaminya. Tuhan punya kalkulator sendiri.” Betul, Tuhan punya kalkulator sendiri.

Dan memang, manusia itu keterbatasannya sangat terlihat dan Tuhan punya perhitungan yang maha luas. Belum genap 6 bulan kandungan, tiba-tiba tawaran kerja datang menghampiri.

Suami yang sudah berusaha melamar kemana-mana segera merespons. Biarpun sempat pesimis karena ini datang dari luar negeri lagi. Negara yang sama dimana beberapa bulan yang lalu pengurusan visanya terhenti di tengah jalan. Alhamdulillah, kali ini, pintu rezekinya membukakan diri lebar-lebar bagi mereka untuk masuk.

Hamil 7.5 bulan, Nuril memberanikan diri terbang jauh bersama suami dan kedua anak mereka. Merantau pertama kali ke luar negeri dan melahirkan Anggun, anak ketiga mereka, di sana.

Tiba-tiba terdengar bunyi langkah-langkah kaki mendekat. Nuril cepat-cepat menyusut airmatanya.

“Mama, mamaaaa…” Ketiga anaknya menghambur ke arahnya. Suaminya mengiringi di belakang mereka.

“Wah, sudah bangun.” Suaminya tersenyum. “Eh, mana bayinya?”

“Belum, tuh. Sebentar lagi mungkin.”

Dan benar saja. Pintu yang baru saja tertutup, dibuka lagi dari luar secara perlahan. Seorang suster melangkah masuk, tersenyum simpul sambil mendorong tempat tidur bayi berwarna putih.

“Itu adeknya Anggun. Itu adeknya Anggun.” Anggun langsung bersorak.

“Iya, Mama nanti sama adek terus. Anggun gak dipeluk-peluk Mama lagi,” seloroh Doni.

“Iya bener. Anggun tidur sendiri nanti. Gak boleh ya di kamar aku,” Bella ikut menggoda.

“Mamaaaa…,” tangis Anggun sudah hampir pecah.

“Anggun kan sudah besar, sudah punya adek. Nanti malah Anggun yang peluk-peluk Adek.” Suami Nuril angkat suara.

“Tapi Anggun mau sama mama…Anggun maunya te…”

“Ya gak bisa,” sergah Doni.

Suara Anggun sudah bercampur tangis.Β “Anggun gak mau besar. Anggun kecil aja terus.”

Seisi ruangan tergelak bersama.

***

β€œDan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat. KAMILAH yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar.” (QS 17:31)

***

Kalau ‘ketakutan’ akan rezeki yang menghalangi untuk mencukupkan anak hingga angka tertentu, apa boleh menurut Alquran?

Eh yang disebutkan di ayatnya kan ‘membunuh’, ya. Kalau mencegah?

Bagaimana? πŸ˜‰

3 comments
  1. ceritanya ada yang mirip sama cerita hidupku mbak. hamil ke2 di saat lagi diuji secara ekonomi…tapi Allah kan Maha Menepati Janji… Menciptakan Kekayaan dan Kecukupan
    dan Allah tidak akan memberi ujian yang tidak sanggup dihadapi hambaNya. ^.^

    1. Alhamdulillah ya :). Lah itu almarhum bokap enggak mau KB kata nyokap hahahha. Kata bokap, “Ngarep rezeki kok dari pemerintah. Ya darii Tuhan dong.” Tapi pas abis lahiran anak ke-7 nyokap pasang spiral juga akhirnya hahahahaha. Etapi perdarahan terus dilepas. Lahir deh anak ke-8 hahahahaha.

  2. sempat ketulis namanya Nurul tuh mbak sekali

Comments are closed.