Now and Then (2) : Mau Punya Anak Berapa?

Saya setuju dengan pendapat teman soal generation gap dalam urusan beranak ini hihihi. Entah dengan kalian, seingat saya, dulu keputusan semisal menikah dan mau punya anak, bukan keputusan “ideologis”.

Kenapa mau menikah? Simply because everyone did! Hahaha. Kenapa mau punya anak? Because it’s a normal thing to do. Ya mengalir aja gitu. Dijalani karena ya semua orang juga gitu :p.

Buat saya, anak kedua pun begitu. Mikirnya, “Ah, masa cuma satu. Minimal 2 lah.” Payah emang hahahaha. Mana ada saya mikirin nanti masa depannya gimana, apakah sanggup membesarkan dengan penuh cinta kasih sayang, keuangan gimana, anu-anu dst dst dst.

Begitu anak ketiga barulah merupakan pertimbangan yang lebih matang. Banyak aspek diperhitungkan. Bukan lagi keputusan yang “yaelah, semua orang juga gitu kok” :p.

Sebenernya sudah ada loh dulu temen saya yang secara terbuka menginginkan status “childfree”. Bisa ditebak, sekarang saja keputusan untuk childfree masih bikin gonjang ganjing dunia netijen yang gampang meledak (hahaha), apalagi era beberapa dekade sebelumnya.

Tentu temen saya yang mau childfree di masanya itu dianggap “freak” bla bla bla.

Mungkin kalau zaman ibu atau nenek kita, orang-orang yang memutuskan untuk childfree bakal dirajam ya hahahaha. Kini, zaman lebih berkembang. Menghadapi perbedaan enggak segempar dulu. Gemparnya pun paling sahut-sahutan di medsos doang :p.

But again, sebenernya dulu-dulu pun mungkin tidak sedikit yang berpikiran sama (misalnya mau childfree, mau selibat seumur hidup dll) tapi sarana mengemukakan pendapat belum selugas dan sebanyak sekarang. Dulu paling ditulis dalam diari dewe-dewe, dikonci pulak, umpetin dalam lemari, dibaca sendiri terus udah :p.

Urusan beginian, saya tergolong konservatif. Soal menikah misalnya. Entahlah dulu tidak pernah membayangkan tidak menikah. Sampai-sampai ketika ada pertanyaan, “Tidak menikah sama sekali ATAU menikah dengan orang yang salah?”

Saya mantap memilih, “Menikah dengan orang yang salah!”

Ya pokoknya kudu nikah, titik. Tolong dah hahahaha.

Dunia digital bener-bener menghadirkan banyak fakta dan informasi dengan mudah dan cepat. Tentulah beda dengan masa dulu-dulu di mana jangkauan informasi kita sangat terbatas.

Banyak info, banyak pilihan, banyak pertimbangan, lebih banyak keinginan yang makin kejar-kejaran dengan kemampuan, dan tentunya…. lebih mudah membaca resiko.

Seharusnya tidak sulit dipahamil mengapa generasi sekarang lebih berani “mikir” terlebih berani mengambil keputusan. Masa depan lebih terbaca seiring dengan lebih banyaknya pilihan.

Role model bukan lagi orang tua kita sendiri atau siapa pun yang secara jarak dekat dengan kita.

Via medsos, kehidupan siapa di benua mana bisa kita lihat LIVE sehari-hari ye kaaaannn :D. Potret kehidupan membentang luas sampai ke sudut dunia nun jauh di sana.

Contoh kecil, dulu ambisi untuk S2 di luar negeri mentok sekadar cita-cita. Informasi seret, waktu terbatas apalagi untuk yang bekerja full time seperti saya. Dulu kalau mau nyari informasi banyakan via offline :(. Sudah capek duluan pulang kerja dll.

Mau cuti takut kena pecat, kalok dipecat bayar kosan dll gimanaaaaa *suaraHatiAnakYatim* hahaha. Enggak tau juga mau mulai dari mana. Contoh sekitar ya gitu, rata-rata pada merit. Kalo pun ada yang sejalan , kondisi ekonomi beda jauh hehehe.

Sekarang alhamdulillah, tinggal googling aneka rupa informasi nongol bener-bener tinggal baca dan diterapkan step per step secara detil <3. Alhamdulillah ikut seneng. Ayok adik-adik lebih semangat meraih mimpi, sekarang sudah banyak jalan dan insya Allah jauh lebih mudah.

Jadi wajar banget kalau ada yang percaya diri untuk menunda pernikahan. Atau ada yang mau childfree sekalian. Dulu punya anak ya punya anak aja, banyak yang tanpa perencanaan detil, hayo ngaku! Hihihihi.

Satu anak, dua anak, bungkuuuussss :p. Mungkin anak ketiga dan seterusnya baru lebih “mikir” :p. Tujuan punya anak juga bukan sekadar buat investasi. Generasi dulu mikirnya anak buat penjaga di masa tua misalnya, buat dimintain duit #eh :p dst dst.

Sekarang jamannya sudah berbeda, yes?

Sudah muncul kesadaran untuk meyakini masa depan kita tidak perlu mendompleng masa depan anak :p.

Makanya suka heran kalo ada yang bilang ke saya, “Bikin lagi Je, biar dapet cewe. Entar lu tuanya ama siapa?”

Jiaaaahhh, ngapain amat ngabisin masa tua berantemin menantu ye kan hahahaha. Semoga anak-anak bisa menjalani masa depan yang baik dan mandiri ya, demikian pun kami berdua, ingin mandiri di masa tua. Saya bahkan enggak keberatan tinggal di panti jompo. Asyik, bisa ngerumpi ama yang seumuran hihihihi.

Nanti temen-temen jompoku kuwawancara satu-satu. Kuyakin tiap orang punya kisah hidup unik dan menarik. Gue bikinin buku satu-satu hahahaha. Aamiin <3.

Tren juga sekarang banyak yang pengin punya anak satu aja biar lebih fokus. Atau yang sekalian pengin CHILDFREE. Again and again, your life-your value-your choice.

Setuju dengan pilihan hidup orang lain bukan berarti kita sepakat dan ikut menjalani kaaaaannnn? Bedakan simpati vs empati :D.

Yang sudah dikaruniai buah hati ya hayuk diemban tanggung jawabnya. As hard as it is, as impossible as it could be, there’s no way to run :). Dihadapi saja.

Setidaknya jadi lebih mudah berempati pada mereka yang memilih keputusan berbeda.

Jadi orang tua berat? Wo jelaaaaaassssssss. Memilih childfree? Tentu lain lagi resikonya. Mau pilihan apa pun, selalu ada konsekuensinya. Kita bebas memilih, tapi konsekuensi akan selalu mengikuti. Sesimpel ituh :D.

Ukuran kebahagiaan juga beda-beda. Lu seneng punya anak then go on. As a happy mom (well, at least 55% happy lah hahaha) of three, I do believe, 100%!, kalok ternyata ada orang lain yang tidak punya anak (baik karena kondisi maupun keinginan sendiri) juga bisa bahagia.

“Mere color, unspoiled by meaning, and unallied with definite form, can speak to the soul in a thousand different ways”. ~Oscar Wilde

Kebahagiaan punya banyak dimensi, I do believe :).