Sinai memang spesial. Sejak tahun 1948, sudah bolak balik wilayah ini menjadi perebutan antara Israel dan negara-negara Arab di sekitarnya, termasuk Mesir.
HIngga akhirnya di tahun 1979-1982, dalam beberapa perundingan dan kesepakatan, Mesir menjadi “penguasa sah” atas Semenanjung Sinai. Wilayah ini menjadi bagian dari negara Mesir yang terletak di wilayah Asia. Mesir sendiri “resmi”nya masuk ke dalam jajaran negara di benua Afrika.
Semenanjung Sinai, beberapa terakhir ini, telah mengalami banyak masalah yang serius. Puncaknya, 3 hari yang lalu. Kabar terakhir lebih dari 300 orang meninggal akibat serangan yang diarahkan ke Masjid Bir-Al-Abed, saat pelaksaan Shalat Jumat.
Dalam korban yang tewas, puluhan diantaranya adalah anak-anak .
Diskusi soal Sinai kurang tepat jika hanya dikaitkan dengan kelompok-kelompok militan yang ada di sana. Walau sejak lama wilayah ini memang menjadi basis bagi peredaran senjata dan “tempat ngumpul-ngumpul”nya kaum separatis di lokasi sekitar.
Mungkin kedengarannya klise ya, tapi jika dirunut-runut, akar utama berkembangnya militansi di wilayah ini justru dipicu oleh hal-hal sekuler.
Secara geografis, wilayah Sinai tergolong “berat”. Gurun tandus mendominasi wilayahnya. Ketimpangan pembangunan dan terbatasnya sumber daya yang dikembangkan di sana melahirkan kemiskinan dan ketidakberdayaan dalam banyak hal . Situasi kondisi yang sangat memungkinkan atas suburnya militansi/paham-paham radikal.
Masyarakat Bedouin, mayoritas yang merupakan suku lokal setempat, sudah lama mengkritisi pemerintah pusat atas ketidakadilan di wilayah Sinai.
Tahun 2011, di masa-masa “Arab Spring”, Semenanjung Sinai makin ricuh. Warga Sinai seolah mendapat momentum dari bangkitnya gerakan-gerakan separatis di beberapa wilayah Arab , misalnya Libya.
Peredaran senjata di Sinai makin marak dan memberi jalan bagi Bedouin untuk menegaskan perlawanan mereka kepada otoritas Mesir. Jatuhnya Husni Mubarak membuat wilayah Sinai makin liar.
Kelompok separatis berbasis jihad (Islam) juga menemukan “jalan”nya di Sinai. Kelompok ini menjadikan Sinai sebagai benteng untuk menghardik Israel di perbatasan (khususnya di Gaza).
Dari konflik lokal yang diakibatkan rasa terasing dari pemerintahan pusat, kisruh di Sinai berkembang menjadi gerakan-gerakan jihad, hendak mendirikan Negara Islam.
Otoritas Republik Mesir merespons dengan operasi-operasi militer. Membuat perlawanan makin menjadi.
Kudeta terhadap Mursi mengguncang stabilitas politik Mesir yang kembali dimanfaatkan oleh kelompok separatis. Pemerintahan baru di Mesir mengambil langkah militer yang lebih “keras” terhadap Sinai.
Sebuah kelompok di Sinai akhirnya mendeklarasikan diri sebagai bagian dari ISIL ( Islamic State of Iraq and the Levant).
Bentrokan-bentrokan fisik antara kelompok-kelompok separatis di Sinai yang ingin memerdekakan diri dan militer Mesir mewarnai perseteruan ini sejak tahun 2013 hingga kini.
Pemerintah Mesir terus menerus melancarkan operasi militer yang justru membuat warga Sinai makin marah. Korban pun berjatuhan dari pihak sipil.
Beoduin sendiri tidak pernah jelas berada di pihak yang mana. Apakah mendukung ISIL atau bergerak mandiri untuk melepaskan diri dari Mesir?
Awalnya, kelompok-kelompok sufi yang mendominasi wilayah ini sebelum para jihadis datang dan berkuasa. Konflik internal dalam segi kepercayaan juga terjadi.
Sudah sejak lama, oleh beberapa kalangan muslim, kelompok Sufi ini dituduh”murtad” dan mempraktikkan hal-hal yang dianggap sesat seperti sihir dan semacamnya.
Perselisihan antara ISIL dan Tareket Sufi inilah yang mungkin menjadi penyebab serangan terhadap Bir-Al-Abed, yang dikuasai oleh Kelompok Sufi. Tetapi saat Shalat Jumat tiba, banyak pula muslim non sufi yang bersembahyang di tempat ini.
Ruwet, ya? .
Ditambah lagi kondisi Mesir secara ekonomi memang masih tergolong “negara dunia ketiga”. Indeks Persepsi Korupsi di Mesir juga tergolong rendah (34). Menempatkan Mesir berada di urutan ke-108 sebagai negara yang paling tidak korup.
Jumlah penduduknya pun tergolong banyak. Sekitar 95 juta penduduk Mesir yang harus diurus oleh pemerintahnya. Dengan luas wilayah yang tidak sedikit dan bentang alam yang tidak mudah, terutama di Semenanjung Sinai. Stabilitas politik dalam negeri yang turun naik berkali-kali turut menyumbang bagi rumitnya kondisi Mesir akibat perebutan kekuasaan oleh mereka-mereka yang haus kuasa.
Kelimpahan pula masalah-masalah dari negeri-negeri tetangganya termasuk kelompok-kelompok separatis yang sudah “nyaman” di Sinai selama bertahun-tahun.
Tambah runyam karena mereka berbaur dengan masyarakat sipil yang membuat Militer Mesir makin salah tingkah harus berbuat apa. Kalau dibiarkan ya makin menjadi, mau dilawan ya akan mengorbankan penduduk sipil.
Itulah mengapa konflik seperti ini seharusnya menjadi tanggung jawab seluruh pemimpin dunia. Karena pada akhirnya semua akan kena “giliran” juga kalau dibiarkan dan tidak peduli.
Sungguh berat tugas seorang pemimpin. Dari sebuah ceramah yang pernah dikirim oleh seorang teman, seorang ustaz dari Malaysia menekankan bahwa syarat menjadi pemimpin politik (dalam kaitan birokrasi sebuah wilayah/negara) syaratnya cuma 2 : KUAT dan AMANAH.
Cuma DUA itu, Al Qowiy dan Al Amin, tapi kesulitannya sangat luar biasa.
Semoga kita semua terus diberi kemampuan untuk bisa memilih pemimpin yang tepat, ya. Agar kelak mereka mampu menjadi penyelenggara negara yang tidak hanya KUAT tapi juga amanah membangun seluruh pelosok negeri dengan seadil-adilnya. Rusaknya pondasi amanah yang membuat korupsi seperti tidak pernah menemukan jalan keluar.
Terkait agama yang saya yakini, mengutip pesan dari Buya Syafi’i Maarif bahwa keadilan sosial adalah hal yang paling keras diperintahkan dalam alquran. And now we should know why, though we learnt it the hard way.
Apa yang terjadi di Sinai, akar masalahnya ya tidak jauh-jauh dari pedihnya harga yang harus dibayar akan diskriminasi terhadap warga negeri sendiri. Ingatlah Rohingya, ingatlah Kurdi, ingatlah pertikaian lain di berbagai belahan dunia yang sebenarnya disebabkan oleh itu-itu juga .
Semoga Tuhan berkenan menganugerahkan kekuatan sekaligus kelembutan bagi seluruh pemimpin-pemimpin negeri di dunia ini.
Menghadapi kelompok-kelompok militan seperti ISIL/ISIS dkk ini mungkin tidak tepat lagi jika dikerasi dan ditekan atau dilawan dengan cara yang sama. Karena sudah berkali-kali terbuktikan bahwa :
“Darkness cannot drive out darkness; only light can do that. Hate cannot drive out hate; only love can do that.”
Martin Luther King, Jr.
Turut berduka cita sedalam-dalamnya akan tragedi di Sinai, Mesir. As hard as it could be, semoga masih ada cinta yang tersisa di dalam kalbu para keluarga korban yang masih hidup. Ya Allah, bantu kami semua memutuskan lingkaran setan ini. Aamiin <3.