Tulisan ini merupakan salah satu bab dalam buku “Memoar of Jeddah : How Can I not Love Jeddah?” :D.
***
Saya ingat betul ucapan salah satu teman saya, “Waktu baru nyampe di Jeddah, pertama kali ke mal, ke Serafi Mall. Terus gue takut banget. Pegangan terus sama suami gue. Gue takut diculik!”
Kalimat tersebut tidak berlebihan. Saya juga begitu. Sewaktu masih di tanah air, cerita-cerita yang mendominasi tentang Saudi ya tentang penculikan perempuan, perkosaan TKW dan sejenisnya. Sebagian besar teman-teman saya di Jeddah punya kesan pertama yang tidak jauh berbeda.
Baca : People We Haven’t Met Yet (5)
Sekarang sih, jangan ditanya! Siang-siang suami di kantor, kami suka kelayapan kemana-mana. Awal-awalnya masih suka naik taksi dengan supir Indonesia. Lama kelamaan makin banyak yang berani naik taksi ‘abal-abal’. Taksi apa saja yang kami setop sendiri di jalan. Termasuk saya.
Padahal saya termasuk penakut. Manalagi kecerdasan visual saya sangat terbatas. Susah sekali mau menghapal jalan. Sampai sekarang masih suka bingung antara 4 ruas jalan utama yang mengelilingi lokasi apartemen kami : Madinah Road, Sitten Street, Palestine Street dan Tahlia Street.
Saya masih pilih-pilih rute. Kalau cuma ke sekolah anak, rumah teman yang sering saya datangi, saya berani naik taksi ‘abal-abal’ sendiri. Tapi ada, lho, teman saya yang tidak pandang bulu. Ke mana pun berani naik taksi ‘abal-abal’ sendiri!
***
Pernah tersiar rumor yang mengatakan bahwa kewajiban menutup aurat bagi wanita di tempat umum malah menjadikan negara Saudi ini sebagai negara yang rawan perkosaan. Datanya dari mana, ya?
Kejahatan pemerkosaan yang beberapa kali diberitakan di media nasional pada umumnya terjadi di wilayah ‘domestik’. Kejadiannya di dalam rumah. Sedangkan di tempat-tempat umum, hijab sangat dijaga antara perempuan dan laki-laki. Kecuali di tempat-tempat tertentu yang pengunjungnya didominasi oleh pendatang seperti di pusat perbelanjaan Balad.
Saya cuma berani ke Balad kalau ditemani suami atau ramai-ramai dengan teman perempuan lainnya. Pendatang pada umumnya tidak terlalu terbiasa dengan aturan hijab seperti ini. Tapi, kalau ke mal-mal besar, insya Allah aman buat perempuan yang hanya sendiri atau menenteng balita saja.
Pengalaman tiap orang berbeda-beda. Memoar ini tentu berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri. Mungkin berbeda dengan teman-teman lain. Karena ada juga teman saya yang empet luar biasa dengan pria Arab yang menurutnya selalu mencari gara-gara. Alhamdulillah, biarpun ada yang kurang menyenangkan, untuk saya pribadi lebih banyak yang meninggalkan kesan yang baik.
***
Awalnya saya bingung dengan laki-laki yang suka membuang muka pada saya. Atau kalau saya di lift bersama suami, laki-laki lain dalam lift tiba-tiba merapat ke dinding. Kayak gengsi gitu, lho, dekat-dekat saya. Pernah juga di rumah sakit, saya duduk di ujung sebuah kursi panjang. Laki-laki yang duduk di ujung satunya langsung berdiri. Padahal diantara kami masih bisa ditempati oleh sekitar 2-3 orang lagi.
Lain lagi di supermarket. Kalau di kasir, biarpun saya yang ada dalam posisi mengeluarkan uang dari dompet, kasir laki-laki pasti memilih berbicara pada suami saya. Padahal saya kan juga bisa berbahasa Inggris dan sedikit-sedikit mengerti bahasa Arab.
Saya mengomel ke suami, “Buset, deh. Sombong amat laki-laki di sini. Kenapa sih, Bang? Aku disangka TKW, ya? Jijik dekat-dekat orang Indonesia?”
Suami langsung terbahak. Lalu menjelaskan, “Jangan geer dulu. Di tempat umum memang begitu, laki-laki tidak boleh dekat-dekat perempuan. Apalagi mengajak ngobrol yang tidak perlu.”
Benar juga ternyata. Baru, deh, saya perhatikan betul-betul sejak saat itu. Ternyata perlakuan seperti itu berlaku untuk perempuan mana pun.
Jadi, aman kok buat para perempuan untuk bepergian. Apalagi kalau ada suami. Selain lebih aman, kalau mau belanja-belanja kan juga ‘terjamin. Ada ‘ATM colek’ dengan saldo yang tak terbatas. Hahaha.
Apa? Kemana-mana harus menenteng suami? Suami di kantor seharian dari pagi hingga sore. Masa jalan-jalannya malam doang? Tidak, kok. Tadi sudah dibahas jika akan mengunjungi tempat-tempat tertentu saja harus menunggu suami pulang kantor dulu.
Dibandingkan situasi di Jakarta, rasanya memang berbeda. Di ibukota tanah air, saban ke mal, biarpun sudah punya anak dan tampang seadanya, ada saja yang suit-suit enggak jelas. Sudah pakai penutup kepala pula. Di Saudi, perlakuan seperti itu jarang terjadi di tempat-tempat umum.
***
Bulan januari 2011, saya tengah hamil 6 bulan. Bumil kepengin jalan-jalan malam-malam. Jadi, deh, kita putar-putar ke Corniche Road. Terus mampir di salah satu kios di pantai untuk jajan. Semua keluar dari mobil. Pintu dikunci dengan central lock. Lalu, suami tersadar, “Yaaaaa, kuncinya ketinggalan dalam mobil!”
Waktu itu masih menggunakan mobil sewa. Angin bertiup kencang sekali dan Jeddah sedang berada di puncak musim dingin. Aduh, langsung lemas.
Suami mencoba menghubungi pihak penyewa. Sembari menunggu mereka membawa kunci cadangan, suami berusaha sendiri. Saya berdiri di samping kios sambil kedinginan. Bingung pula mau duduk di mana. Sementara Abil, anak sulung saya, sudah sibuk berlarian sendiri kesana sini.
Tiba-tiba pemilik kios keluar membawa karpet. Saya cuekin saja, pura-pura tidak lihat. Mana tahu maksudnya kurang baik. Eh, pas menoleh lagi, orangnya sudah tidak ada, menghilang ke dalam kiosnya. Dan…karpet yang ditentengnya tadi sudah digelar di atas lantai. Duh, sudah berburuk sangka. Lagi-lagi kegeeran tidak jelas. Tidak berapa lama, dibawain secangkir teh hangat. Tangannya memberi isyarat harganya 1 riyal. Saya ambil terus dia buru-buru pergi lagi.
Pemilik kios juga ikut membantu suami beserta satu orang temannya. Tapi dilakukan sambil melayani pembeli. Enggak ada tuh yang mengajak saya mengobrol atau menggoda tidak jelas.
Tahu-tahu sudah pukul 11 malam. Parahnya, tempat penyewa mobil tidak menemukan kunci cadangan. Jadi, mereka sibuk mencari cara lain. Kemudian sebuah mobil mewah berhenti. Seorang pria .arab dengan penampilan necis keluar dari mobil dan mendekat. Saya sudah deg-degan. Mau apa, ya, dia kira-kira. Saya cuma memperhatikan dari jauh. Tidak tahu mereka mengobrol apa. Tapi setelah itu, dia pun sibuk membantu mengeluarkan kunci mobil.
Akhirnya sekitar pukul 12 malam, kunci berhasil dikeluarkan. Para laki-laki itu termasuk suami saya saling berjabat tangan dengan senyum merekah. Alhamdulillah, kaki sudah beku menahan dingin. Herannya, Abil tetap bagai gasing berputar-putar dengan gembira di pelataran parkir.
Saya membayar jajan kami dan bermaksud memberi uang lebih untuk karpet. Pemilik kios menggeleng-geleng, “Mafi musykilah.” (“Tidak ada masala, tidak apa-apa.”)
Sewaktu saya tetap memaksa, suami menegur, “Jangan, Dek. Tersinggung, lho, nanti.”
Ya sudah, kami pun pulang.
Masya Allah pengalaman kami malam itu. Sampai sekarang kalau ingat bantuan mereka (yang tanpa pamrih sama sekali), rasa harunya tak pernah berkurang.
***
Lalu, pernah pula ban mendadak kempes di daerah Balad. Kami mudik mendadak. Jadi, dadakan pula berburu oleh-oleh. Pakai acara ban bermasalah pula saat hendak pulang setelah membeli beberapa barang di toko langganan di Balad.
Saat suami mencoba ganti ban sendiri, beberapa anak kecil berkulit hitam tiba-tiba menghampiri. Mereka menawarkan bantuan. Dari dalam mobil saya was-was. Barang dari bagasi berserakan di luar karena suami mengeluarkan ban serep yang ditaruh di bagasi. Biasanya orang-orang ini terkenal agak-agak Bengal. Konon, mereka suka melakukan tindakan kriminal. Akhirnya, saya berdiri di luar mobil, dekat bagasi. Menjaga barang maksudnya.
Kemudian lewat seorang lelaki dewasa berkulit hitam. Duh, makin cemas. Tapi ternyata laki-laki itu mengajarkan cara mengganti ban yang benar. Benar saja, acara ganti ban berlangsung lebih lancar setelahnya. Setelah memberi pengarahan singkat, laki-laki dewasa itu pergi begitu saja.
Saat kami sibuk memasukkan barang ke bagasi, anak-anak tadi juga ikut pergi. Saya cepat-cepat mengingatkan suami, “Bang, kasih uang, Bang.”
Suami buru-buru mengejar mereka. Mereka malah masuk ke dalam mobil dan siap-siap pergi. Suami mengetuk pintu kaca mobil. Akhirnya dengan wajah malu-malu mereka menerima pemberian suami. Masya Allah, never judge a book by its cover.
***
Saat di mal atau di rumah sakit, saya sering kesulitan menjaga Abil. Apalagi ketika Narda pun sudah bisa diajak main oleh kakaknya. Mereka berdua menjadi ‘duet maut’ yang kerap membuat saya sibuk minta maaf ke orang sekitar.
Ini kebiasaan di Indonesia, sih. Rasanya kalau di tanah air, orang-orang kurang suka dengan tipe anak-anak tidak bisa diam. Suka melempar pandangan, “Duh, ibunya bisa ngurus anak enggak, sih?”
Makanya kalau acara pengajian, kebetulan anak sulung saya tidak sekolah, saya memilih menahan diri untuk tidak ikut acara. Kecuali rumah penyelenggara yang saya kenal dekat. Kalau saya sudah tahu nyonya rumah ‘kurang nyaman’ dengan kehadiran anak-anak saya, saya akan memilih enggak datang.
Lain dengan di Jeddah ini. Kalau saya menegur anak-anak, saya sering ditegur balik oleh pria Arab. Pernah di rumah sakit, saya menegur Abil yang bolak balik naik ke kursi terus loncat terus naik lagi terus loncat lagi. Ibu-ibu arab lain senyum-senyum.
Tapi saya pikir mereka hanya senyum basa basi seperti teman-teman dari Indonesia. senyum-senyum di depan, dalam hati menyimpan jengkel. Jadinya tetap saya tegur anak saya. Sorang pria Arab malah melotot ke saya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Shagiir“, katanya. (Shagiir = kecil). Mungkin maksudnya masih anak kecil, santai saja. Saya akhirnya membiarkan Abil jadi tontonan orang-orang di ruang tunggu.
Kejadian yang sama di supermarket. Abil mau masuk ke troli seorang pria Arab. Langsung saya tegur. Pria Arabnya mengomel balik ke saya. Malah, anak saya diberi permen.
***
Selanjutnya, bagaimana kesan-kesan bekerja dengan orang-orang Arab? Apa dicambuk kalau bandel? Hahaha. Mari kita tengok pengalaman suami saya.
Di hari acara perpisahan yang diadakan divisi tempat suami bekerja, sepulang dari kantor, wajah suami terlihat muram. Dia menenteng sebuah kotak hitam besar. Katanya souvenir dari teman-teman di kantor. Dia memang tidak menyangka akan dibuatkan acara perpisahan secara khusus. Lengkap dengan tanda mata pula. Kenang-kenangannya pun bukan barang murah.
“Seumur-umur aku kerja, baru kali ini dapat kenang-kenangan.” Kata suami, sekilas saya melihat matanya sedikit berkaca-kaca,
Kalau di Jeddah, adatnya sedikit berbeda. Yang mau pergi yang akan ditraktir oleh teman-temannya. Semasa di Jakarta, biasanya yang akan resign yang ditodong untuk mentraktir teman-teman lain.
Suami saya terharu sekali. Orang Arab memang punya ciri khas sendiri. Tidak jelek-jelek semua, kok. Mereka ada sisi positifnya. Biarpun terkenal ‘bawel’ dan ‘pemalas’, kalau sudah kenal baik dimana kita bisa merebut kepercayaan mereka, mereka bisa memperlakukan kita dengan istimewa.
Tapi cerewetnya memang tidak ketulungan, sih, menurut suami saya. Kadang suka memaksa. Tapi mereka tidak pendendam. Kalau sudah mengomel, tidak berapa lama mereka akan biasa-biasa lagi.
Konon seorang teman yang tinggal di Negeri Sakura pernah mengeluh. Supervisornya baik dan jarang protes. Tapi tahu-tahu memberi appraisal atau nilai yang kurang bagus. Padahal sudah mengira hasil kerjanya bagus karena tidak pernah mendapat kritikan. Saya percaya tidak semuanya seperti itu. Kebiasaan kita sebagai orang timur memang banyak “enggak enakan” nya.
Salah satu teman kerja suami di Jeddah merupakan karyawan kesayangan bos. Sam-sama dari Indonesia. Kebetulan bosnya sama dengan bos suami saya. Bos yang ini engineer asal Indonesianya ada beberapa. Ketika suami mau pergi, dia langsung menagih CV teman suami. Sudah jatuh cinta pada orang Indonesia. Padahal rate orang Indonesia konon lebih tinggi daripada rate karyawan asal Pakistan-Bangladesh-India.
***
Tak terasa akhirnya kami pun harus pindah ke tempat lain. 30 bulan di Jeddah menyisakan banyak sekali kenangan manis. Di hari keberangkatan untuk terbang meninggalkan Jeddah, sejak jam 2 malam saya sudah tidak bisa tidur. Sibuk mengingat kalau saya pernah kecewa karena “tak ada salju di kota Jeddah.” Saya sungguh ingin tinggal di negeri yang bersalju..
Gagal bertemu salju. Tapi sukses bersentuhan dengan hal-hal indah lainnya.
Namun, tak ada penyesalan sudah mengambil keputusan yang tidak mudah ini. Insya Allah di tempat baru nanti, jika Tuhan menghendaki, kami pun akan dipertemukan oleh orang-orang baik. Sekali lagi … insya Allah <3.
***
Kurang lebih, sama kayak orang2 lokal Kurdistan sini Mbak. Kalau pas ketemu yang baik mah, nggak ketulungan. Nggak kenal pun pada mau nolong meski mereka “orang punya”. Tapi kalau udah ketemu yang nyebelin, mau gimana juga tetep nyebelin. Never judge a book by it’s cover itu memang benar adanya. Kadang udah terlalu takut duluan sama mereka, tapi tau2 mereka cuma mau nolong aja tanpa ngarepin imbalan apa2.
aku pernah ditegur di Jeddah gara2 duduk sebelahan sama nonmahrom mba :)). ga ngerti bahasa arab, tapii terus dijelasin panjang lebar sampe akhirnya ngerti. tapi emang orang arab itu care mereka suka ngejelasin sesuatu jika itu dianggap salah, bukan cuek aja hhe
Plus minus sih ya emang di mana-mana 🙂