“Prestasi orang lain itu harus terukur. Kita enggak bisa menilai dari apa yang baru/akan/hendak/sedang dilakukannya. Hasilnya yang penting. Kalau sudah ada hasil, baru bisa dibilang prestasi.” (Lupa baca di mana hihihi).
Ada benarnya. Tidak salah sama sekali.
Tapi mari kita menengok sedikit ke belakang. Saya ambil dua tokoh di dunia humanisme (biar netral) yang namanya masih bergema bahkan setelah bertahun-tahun wafatnya, Gandhi dan Bunda Theresa. Saya kebanyakan baca tentang India dan dengar cerita-cerita tentang India dari teman-teman di sini, nih, jadi ingatnya mereka terus hihihi.
Apa sih prestasi Gandhi? Kalian pikir India merdeka karena perjuangan Gandhi doang. Bahkan, menonjol pun tidak. Di sejarah India sendiri, masih banyak tokoh-tokoh lain yang dianggap lebih berpengaruh dan berdiri di garis paling depan dalam rangkaian panjang kemerdekaan Sang Negeri Seribu Dewa :).
Tokoh perdamaian kah Gandhi? Hm, enggak juga. Karena beliau justru terbunuh saat mencoba mendamaikan penganut Hindu dan kalangan muslim yang terus bertikai saat kemerdekaan telah direbut. Setelah Gandhi wafat, jadi langsung kelar seketika sentimen agama antara Hindu vs Muslim? Enggak juga, tuh.
Bunda Theresa yang mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk kalangan miskin di India. Apa berhasil usahanya? Terhapus gitu penduduk miskin India? Jadi berkurang kah? Coba tengok langsung ke sana. Menemukan penduduk di pemukiman kumuh di banyak wilayah India itu … semudah membalikkan telapak tangan. Itu adalah fakta yang masih ada hingga sekarang. Jadi, mengapa kita harus mengenangnya? Prestasinya apa?
Memang, mereka berdua mungkin tidak pernah melihat perdamaian seluruh umat di negerinya dan pemerataan kehidupan sosial yang mereka perjuangkan mungkin lebih dari separuh hidup mereka.
Gandhi mengajarkan kita untuk melawan orang yang kita sakiti tidak dengan sama-sama menyakiti. He wanted us to (always) fight with love :’). Gandhilah yang selalu meyakinkan dunia, bahwa kekuatan terbesar di muka bumi itu adalah CINTA. CINTA kepada siapa pun. Konon, salah satu alasan Gandhi menjadi vegetarian karena rasa sayangnya kepada para binatang dan lingkungan :).
Bunda Theresa membuka mata kita terhadap kemiskinan. Tidak hanya dengan bikin fanpage (eh, belum ada ding! hihihi) atau tebar selebaran atau berceramah di atas mimbar. Perempuan kelahiran Albania ini, terbang jauh-jauh dari Irlandia setelah selesai sekolah agama, menuju India. Melihat maraknya kemiskinan di sana, hatinya langsung terikat. Di sanalah beliau berjuang hingga akhir hayatnya.
Dia tidak memaki-maki dunia atas ketidakpeduliannya. Dia tidak memaksa orang lain untuk menyumbang uang. Dia menggendong sendiri anak-anak kecil dari kawasan kumuh yang dilihatnya tumbuh liar tanpa orang tua. Dia membasuh sendiri luka-luka mereka. Luka fisik dan luka batin sekaligus :).
Awalnya bersama beberapa temannya. Akhirnya banyak relawan yang bergabung. Banyak yang tergugah dan ikut menyumbang. Meski sudah mendapat perhatian dari banyak pemimpin dunia dan dikelilingi banyak sekali relawan,Bunda Theresa tidak pernah menyerahkan tampuk kepemimpinan pada siapa pun dan tidak berhenti terjun langsung. Hingga di bulan September 1997, salah satu inspirator terbaik di abad ke-20 ini menghembuskan nafasnya yang terakhir dan membuat dunia berkabung.
Kontroversinya juga minim kan? Karena mereka berdua inspirasi bagi amalan muamalah/kemanusiaan yang universal. Sesuatu yang sifatnya sanggup menembus dinding-dinding perekat sekuat agama sekali pun :).
Jadi sebenarnya ya, mengapa kita harus memaksa? Apa yang mau dipaksakan coba? Jika mimpi kalian adalah melihat dunia ini aman, damai, teratur, tidak ada perang, semua orang hartanya sama, minimal beda-beda tipislah antara si kaya, si menengah dan si miskin … itu tidak salah.
Jika kalian bercita-cita, ah, indahnya kalau semua orang masuk Islam. Sementara yang rajin ke gereja juga menyimpan keinginan untuk melihat seluruh dunia sapu bersih beragama Nasrani semua. Sah-sah saja.
Kalau kata Cak Nun, kalau orang Islam itu yakin Kristen yang benar, ya ngapain dia tetap memeluk agama Islam? Dan kalau orang Kristen yakin Islam itulah yang lebih mulia, ngapain tetap ke Gereja? Logika simpel begini lho, Kakaaaaa :p.
Kalau kata Bang Saief Alemdar, semua orang akan merasa bahwa masakan ibunya lah adalah masakan terenak di dunia. Tidak terbantahkan itu. Tapi ingat, tidak hanya kalian, semua orang juga begitu. Jadi, pujilah masakan ibu kalian di meja makan masing-masing.
Tidak perlu berkoar-koar tentang enaknya “Nasu Bale” bikinan ibunda tercinta pas lagi makan di rumah teman. Apalagi kalau teman kalian orang Batak. Karena nasu bale a.k.a pallu mara itu hanya ada di Sulawesi Selatan hihihihi :p.
Pesannya simpel kan, jangan memaksakan hal-hal yang kalian sudah tahu tidak akan pernah terjadi. Walau kebaikan di dunia adalah hal yang harus kita perjuangkan sama-sama, tapi ingat … hasil tidak sepenting yang kalian pikirkan ;).
Prosesnya yang lebih penting. Karena hal-hal yang kalian wariskan kepada dunia itu tidak hanya semata-mata prestasi yang katanya harus terukur itu. Siapa yang bisa mengukur prestasi Gandhi, Bunda Theresa, atau tokoh lokal seperti Bung Hatta? Bung Hatta cuma wakil presiden. Beliau memperjuangkan Ekonomi Koperasi tapi “kalah” oleh “ego” Bung Karno yang lebih ingin Indonesia ditakuti di dunia internasional?
I’m a big fan of both of them. Tapi dua-duanya manusia biasa, kok. Ada lebihnya, ada kurangnya :). Kalau Bung Karno mudah kita ukur prestasinya. Tapi Bung Hatta? Lebih banyak diam, berbicara aktifnya dengan pena di atas lembaran kertas, tak terlampau cakap berbicara menggugah semangat.
Ingat, kita tidak harus membuat dunia sejahtera, tidak harus membuat semua orang memeluk agama yang sama dengan kita. Tapi ingat, kita HARUS menjaga diri agar tidak membuat kerusakan. Tuhan pun berkali-kali mengingatkan bahwa Tuhan paling tidak suka dengan orang-orang yang berbuat kerusakan.
Jadi, mengapa untuk hal-hal yang tidak wajib kita capai itu kita harus melanggar hal-hal yang justru wajib kita patuhi? Hasilnya yang tidak wajib lho, ya. Usahanya sih wajb. Makanya, selalu selaraskan usaha dengan ajaran-ajaran Tuhan yang lain :).
Dengan tidak menyakiti orang lain tidak merugikan siapa pun yang tidak ada sangkut pautnya. Bersikap adillah sekali pun benci sudah merasuki sekujur tubuh. Membenci itu wajar banget, tidak mungkin kita mau suka pada semua orang. Situ malaikat? :p.
Tapi menebarkan kebencian itu hal yang lain lagi teman-temanku :). Menebarkan kebencian adalah hal yang bisa kalian kontrol. Itu bukan sifat manusiawi. Kita pun sebenarnya tidak dilahirkan untuk membenci. Kita harus diajari untuk membenci. Tuh, untuk membenci pun sebenarnya bukan sifat alami manusia.
Apalagi menyuruh-nyuruh/memprovokasi orang lain untuk ikut benci dengan menebar hasad/dengki/berita bohong/ atau apa pun lah namanya. Walau setengah mati kalian bungkus dengan ayat Tuhan, mencoba berlindung di balik ajaran agama, hasad/dengki/berita bohong tetaplah hasad/dengki/berita bohong :). Bukan perbuatan mulia.
Saya ulang penggalan kalimat saya di tulisan “Rumours have it all” : Kalau kalian ngeyel bahwa pesan tulisannya bagus. Ingat saja, sebuah rumah yang kokoh pasti akan terbangun dari batu bata terbaik, semen yang berkualitas, pondasi yang kuat, dan bukan kayu yang abal-abal :). Tujuan mulia apa bisa tercapai dengan berita bohong/hasutan/dengki? :). Seperti air yang tak akan bisa bercampur sempurna dengan minyak. Begitu juga kebaikan vs keburukan ^_^.
Untuk apa sih? Kalau sedemikian terluka hati kalian, sedemikian sakit hati kalian, mengapa tidak mengadu kepada Sang Pemilik Hati? Hati-hati. Jangan sampai tergoda untuk berdoa yang buruk-buruk. Karena doa itu, apa pun isinya, bisa kembali kepada pemiliknya. Itulah mengapa kita selalu dianjurkan berdoa yang baik-baik. Supaya Tuhan juga selalu memberi kebaikan kepada diri kita sendiri :).
Jika sesak nafas saking bencinya pada sesuatu/seseorang yang rasanya sudah di luar kuasa kita untuk mengubahnya … maka berdoalah :). Berdoa yang baik-baik. Jangan menyakiti diri sendiri dengan prasangka buruk apalagi sampai harus memprovokasi orang lain untuk ikut berprasangka. Kalau mendoakan saja terasa sulit, setidaknya jangan berprasangka buruk apalagi menebarnya.
Jika mau dilawan, lawan dengan hal-hal yang benar :). Kekerasan dalam bentuk apa pun is so last year kalau kata abege sekarang ;). Lebih dari ribuan tahun lamanya, peradaban manusia berusaha saling menaklukkan via kekerasan, it never works that way. Tidak pernah berhasil. Bedakan dong antara qisas dengan balas dendam. Totally different. Dan bukankah memaafkan itu lebih baik bagimu? :).
You are what you do :). Itulah jejak yang akan kalian tinggalkan. Our true legacy. Semua jerih payah pasti akan terbayar. Tidak kurang satu sen pun, tidak akan lebih satu rupiah pun :D. Asalkan patokannya jangan hanya duniawi saja ;).
Kalau you are what you achieve, kasihan dong almarhum bapak saya misalnya. Apa pencapaiannya? Sampai meninggal pun, utang di bank tidak ada yang berhasil dilunasi. Anak-anak belum ada yang lulus. Boro-boro kios sukses, malah sampai rumah pun harus digadai demi bayar utang hehehe. Prestasi macam apa itu? 😀
But of course, we, his children, remember him in a very different way :). Kami menjadi saksi betapa kerasnya beliau berusaha semasa hidupnya walau hasil jauh dari harapan ^_^.
Makanya, hasil mah, itu urusan NANTI. Waktu yang akan membuktikannya. Siapakah Sang Pemilik Masa Depan dan Sang Penguasa Waktu? Maka hanya kepadaNya lah kita harus selalu berharap :).
Ngoceh panjang lebar mau menyindir siapa? Ya mau sentil diri sendiri lah hehehe. Salam damai, jangan ada yang sensi :).
***
Terimakasih nasehatnya melalui tulisan ini mbak 🙂
Ya, buruk sangka nggak akan kasih kita apa-apa…
kalo kata gue sih, “Ini mengena bgt….Makjleb!”
Sip Bangaet, ijin copas
Beliau Beliau inilah penganut “garis keras” yang sesungguhnya.
Setujuuuuu (y)
Top markotop