Dang Hyang Lohgawe untuk kedua kalinya mendehem, “Katakan apa yang kau ketahui, bukan pendapatmu tentangnya. Ayoh.”
“Ya Bapa, apalah artinya pengetahuan tanpa pendapat.”
“Baik, aku harus percaya kau telah mengetahui semua itu, dan kemudian berpendapat. Aku harus percaya bukan sebaliknya yang terjadi. Berpendapat tanpa berpengetahuan hukuman mati bagi seorang calon brahmana. Dia takkan mungkin jadi brahmana yang bisa dipercaya.”
Demikian salah satu kutipan di dalam novel “Arok Dedes” yang paling menohok buat saya. Sejalan dengan keyakinan dalam agama saya, betapa orang yang memiliki ilmu/pengetahuan memang dianggap memiliki derajat yang lebih tinggi 😉.
Jadi, setop asbun (asal bunyi) dan asma (asal mangap) ya … untuk kita semua walau tak hendak menjadi sebijaksana seorang brahmana 🙂.
Jangan suka latah share-share info enggak penting apalagi pakai dibumbui kebencian enggak jelas . Pastikan kita tahu latar belakang sedalam-dalamnya sebelum menceburkan diri ikut campur dalam masalah tertentu . Ingat, berpendapat tanpa berpengetahuan itu efeknya tidak sepele.
Novel 500 an halaman ini bukan karya penulis sembarangan. Pramoedya Ananta Toer, gitu lho 😀.
Ketertarikan pertama tentu saja karena sinopsis buku yang sudah menyebut-nyebut tentang sejarah kerajaan Jawa. Jadi makin pengin bikin resensi novel Arok Dedes. Ini kisah tentang sebuah kudeta penting yang menjadi awal berdirinya banyak kerajaan besar di abad-abad ke-13 hingga 15 di tanah Jawa.
Kisah Ken Arok yang menggulingkan Tunggul Ametung yang pernah saya tahu kayaknya diceritakan dengan ala-ala mistis. Sering dihubung-hubungkan dengan kutukan keris Mpu Gandring. Nah, novel ini menguraikan kejadian tersebut secara lebih menyeluruh dengan mengambil sudut pandang sekaligus dari 3 pelaku sejarahnya : Ken Arok, Ken Dedes dan Tunggul Ametung.
Tak hanya mengurai masa lalu Arok secara tuntas, menuliskan siapa sebenarnya Tunggul Ametung dan menceritakan latar belakang seorang Dedes saja, novel ini juga tidak mengabaikan asal muasal peristiwa jauh ke belakang. Pasca berdirinya Kerajaan Hindu yang dipimpin oleh Erlangga.
Erlangga diceritakan sebagai raja Hindu pertama yang berasal dari kasta Sudra. Raja yang sama yang menghapuskan kasta Waisya dan Paria. Erlangga hanya mengakui 3 kasta di bawah kepemimpinannya : Brahmana, Ksatria, dan Sudra.
Lenyapnya kasta Paria membuat kerajaan seharusnya terbebas dari perbudakan. Banyak juga diceritakan soal apa yang terjadi pada Kerajaan pasca Airlangga lengser. Peristiwa terpecahnya kerajaan menjadi Panjalu (Kediri) dan Jenggala hingga disatukan kembali menjadi Kerajaan Kediri.
Bukan hal yang mudah untuk menyatukan Jenggala dan Kediri. Nyawa seorang perempuan harus dikorbankan. Kedua belah pihak hendak menjodohkan putri mahkota Panjalu dan putra mahkota Jenggala. Apa daya, sang putra mahkota telah terlebih dahulu terpikat pada anak seorang patih Jenggala. Cerita selengkapnya lihat di novelnya saja.
Dramanya mantap, euy. Dasar ratu drama!! Hahahahaha 😀.
Kisah Arok dan Tunggul Ametung terjadi di masa pemerintahan Sri Kretajaya. Kretajaya kembali ‘melegalkan’ perbudakan. Secara umum, kepemimpinannya semakin menjauhkan diri dari kesejahteraan masyarakat yang dulu pernah dirintis dan disukseskan oleh Erlangga.
Tunggul Ametung yang menjadi akuwu di Tumapel berusaha diusik kepemimpinannya oleh kalangan brahmana yang akhirnya sepakat mengutus Arok. Arok sendiri adalah keturunan Sudra yang memiliki kemampuan Ksatria dan jiwa seorang brahmana.
Kalau lihat Arok udah semacam Catatan si Boy gitu lah. Tapi ganteng sih enggak hahahahaha. Ini terlihat dari deskripsi Dedes yang menggambarkan Arok sebagai “orang Sudra pada umumnya”. Yang kece-kece itu biasanya keturunan Brahmana soalnya :p.
Harap dicatat, saat mencocok-cocokkan dengan wikipedia, ternyata tokoh Arok dan Dedes ini nyaris dicap sebagai tokoh fiktif. Saya jadi berpikir, mungkin saja penggambaran Arok dalam novel ini adalah keinginan pribadi Pramoedya Ananta Toer akan image seorang pemimpin yang diidam-idamkan.
Akur deh sama Om Pramoedya. Ganteng memang tidak pernah menjadi indikator saya dalam memilih pemimpin . Dulu milih SBY lebih karena orangnya kelihatan tenang dan tidak grabak grubuk. Ini apa sih, mau nulis resensi apa copras capres lagi???? Hahahahahahahha .
Membaca buku ini membuat saya jadi bertanya-tanya, “selain enggak ganteng, kekurangannya Arok ini apa coba?”
Arok sangat-sangat cerdas sampai membuat 2 gurunya, Tantripala dan Lohgawe terpesona habis-habisan pada anak sudra ini . Latar belakangnya yang tidak jelas membuat Arok sampai diasuh oleh 2 keluarga. HIngga di kemudian hari, Arok tak pernah lupa pada jasa orang tua asuhnya. Good boy banget lah.
Arok pun terkenal pemberani dan sangat pandai merancang taktik penyerbuan. Hatinya lembut dan nyaris tanpa hawa nafsu. Walau memang akhirnya jatuh hati pada Dedes yang unyu, Arok sudah terlebih dahulu menikahi Umang, saudara angkatnya yang selalu sempat disesalinya mengapa tak berwajah rupawan. Tapi Arok tak pernah lupa ada kebaikan adik angkatnya ini 🙂.
Arok sangat gemar melakukan pendekatan langsung kepada rakyat jelata hingga ke lapisan terbawah. Dia suka mencuri untuk membela orang-orang tak mampu ala-ala Robin Hood gitu. Iiiiihhh, Arok masa suka blusukan juga coba. Jangan-jangan Jokowi ini titisan Arok neh hahahahahahaha.
Apa novel ini juga novel pencitraan? Kan sekarang apa-apa pencitraan, dikit-dikit pencitraan . For info, novel ini selesai ditulis di penghujung tahun 1976 😉.
Saya sempat dibuat bingung dengan istilah-istilah Hindu Syiwa dan Hindu Wisynu. JUga ternyata ada dewa khusus bagi kaum Sudra yang namanya Hyang Pancagina.
Wah, ternyata kepercayaan Hindu pun tak lepas dari pertikaian internal . Macam Protestan vs Katolik atau di umat muslim juga ada perbedaan yang tidak kalah runcingnya antara Sunni vs Syiah. Tapi saya kurang tahu apakah Hindu Syiwa dan Hindu Wisynu ini masih ada sampai sekarang. CMIIW buat teman-teman yang beragama Hindu, ya. Maaf kalau saya nangkapnya salah.
Pertentangan antara penganut Syiwa dan Wisynu ini juga yang mewarnai perselisihan antara kaum Brahmana dan kepemimpinan Erlangga dan setelahnya.
Saya menangkapnya gini, mayoritas Brahmana itu adalah Syiwa. Sementara Sri Erlangga adalah seorang Wisynu. Kalau dibaca-baca lagi, Erlangga di mata kaum Brahmana-Syiwa ini pasti dicap liberal dah hahahahaha.
Erlangga memang dikenal sebagai raja dengan toleransi sangat tinggi. Erlangga melindungi Hindu Syiwa, HIndu Wisynu, dan juga Buddha :).
Arok sendiri mendapat kesempatan untuk belajar yoga dan beberapa kitab Buddha dari salah seorang gurunya, Tantripala. Sempat Arok terpikir Tantripala ini sebenarnya seorang brahmana yang sudah menganut Buddha. Maklum, buat kalangan brahmana Hindu, haram hukumnya mempelajari apa pun yang berbau Buddha.
Nah, kaum Brahmana Syiwa merasa Erlangga sudah melecehkan mereka saat Erlangga melarang penghancuran candi-candi Buddha dan mengizinkan kepercayaan lain hidup berdampingan dengan damai. Ya iya kaleeee, Erlangga pan katanya Hindu Wisynu toh ya? *garukGarukKepala*.
Tapi, kaum Brahmana tetap memuji-muji Erlangga yang menghapuskan perbudakan dan banyak membangun infrastruktrur layanan publik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Banyak sistem irigasi positif dan masif yang dipelopori oleh pemerintahan Sri Erlangga . Mungkin tepatnya, terstruktur masif dan sistematis? Nyepet mulu kauuuuu hahahahahahaha .
Ah, sejarah selalu berulang. Maunya sejahtera tapi enggak mau kalau sejahteranya harus barengan sama orang kafir? . Puas dengan kepemimpinan tapi meributkan soal kepercayaan pribadi? Ahok mana Ahok? 😀.
Mpu Gandring juga memiliki porsi tersendiri dalam kisah ini. Jauh banget deh dari yang selama ini saya tahu hehehe. Tentu saja tokoh Kebo Ijo yang memang sering disebut-sebut dalam kisah Tunggul Ametung vs Arok juga tidak luput dari novel yang ini.
Penulis juga sangat rapi dan konsisten dalam menyampaikan pesan tersirat, betapa laki-laki tak pernah mudah mengalahkan 3 penakluk utamanya : harta, tahta, dan wanita. Yang merasa wanita, boleh *benerinPoni* ramai-ramai hihihihi .
Jangan terkecoh dengan embel-embel “roman” di sampul buku. Kisah cinta antara Arok dan Dedesnya ternyata sambil lalu saja, kok . Filsafat Hindu yang kental justru merupakan nafas utama dari isi novel.
Awalnya agak kagok dengan gaya bahasa dan istilah-istilah HIndu yang digunakan. Tapi jadi senang soalnya jadi belajar dan mendapat harta baru. Hey, ilmu itu adalah harta yang paling menyenangkan, bukan? . Mudah didapatkan (kalau mau) dan mudah dibawa ke mana-mana serta tak pernah memberatkan pemiliknya ^_^.
Saya beri bintang 4.5 (out of 5) untuk novel ini. Semata karena saya kurang puas mengapa tokoh Arok kurang tajam pemaparan karakternya. Sotoy deh awwww, biasa nonton gosip artis, sok-sok pula mengkritisi karya pujangga besar. Hahahahahha.
Saya menikmati sekali falsafah-falsafah HIndu yang bertebaran di sepanjang cerita. Penokohan yang mendalam. Penceritaan yang lengkap yang membuat kita akhirnya merenung bahwa memang tak ada manusia yang sempurna. Yang paling jahat itu hawa nafsu. Manusia pada intinya narsis dan ingin diperhatikan. Merasa benar sendiri itu sudah penyakit kronis sejak dahulu kala.
Bahwa kejahatan kadang tak datang karena niat tapi karena ada kesempatan. Eh, jadi ingat Bang Napi! Hihihihi.
Tapi benar sih, sesuai lho dengan buku Tipping Point yang memaparkan bahwa tak adil jika kita menilai karakter seseorang dari tindak tanduknya semata. Kondisi lingkungan dan situasi saat itu dan latar belakang justru selalu menjadi hal penting untuk disajikan. Dan penulis berusaha keras untuk tidak menjatuhkan penghakiman pada tokoh mana pun tapi lebih memilih menyajikan data-data sebanyak mungkin. Yang ditarik jauh dari belakang hingga kini. Kesimpulan tentu terserah yang baca .
Soal teori menarik dari buku Tipping Point ini tak cukup satu paragraf. Kapan-kapan dibikinin tuilsan khusus mumpung bukunya udah ketemu.
Salut luar biasa untuk penulis novel ini . Wah, kayak apa itu yah observasinya bisa membuat novel yang begitu “hidup” mengingat setahu saya Pramoedya Ananta Toer bukan penganut Hindu kan, ya? Jadi penasaran mau baca buku-buku Pak Pram yang lain . Ke mana aja gue? Kebanyakan nonton infotainment sih hihihi *ngikikTukangGosip*,
Komentar pamungkas saya untuk novel ini, “Jagad Dewa! Jagad Pramudita! This novel is one the best!”
500 an halaman, Kakaaaaa 😀. Selamat membaca ^_^.
Ya bisa dimulai dengan membaca resensi novel Arok Dedes nya dulu kali di sini hihihi.
Mbk….
Aku jg suka tulisannya pak pram…
Detail baanget, kayak beliau ada disitu
Dulu katanya buku yang bumi manusia mau difilmkan…
Jadi pengen baca arok dedes jg,
Tp skr udah susah baca buku tebel2 🙂
Tiba tiba teringet temen kuliah yang punya koleksi bukunya pak Pram ini, salut deh
ahhh.. I loooop Pramoedya! Tapi kok belum baca bukunya yang ini ya? Kemana aja akuh?? Oiya jihan, saya udah imel balik lho untuk alamat pengiriman bukunya..
salah satu penulis yang bukunya saya koleksi sejak kuliah tapi baru sekali resensiin bukunya, buku bagus bikin speecless untuk di resensi hehe