***
Untuk saya, film “Life is Beautiful” besutan sutradara Roberto Benigni adalah contoh paling indah untuk menggambarkan peribahasa, “Happiness is not given, it is made.”
Film yang benar-benar menguras emosi ini ditayangkan pertama kali tahun 1997. Tapi saya menontonnya di acara kampus, 3 atau 4 tahun kemudian. Lupa acara apa, pokoknya acara nonton gratis di aula. Gratis? Ikuuuutttttt. Hahaha.
Saat itu, saya tak tahu sinopsisnya cuma dengar-dengar kalau filmnya bagus, semacam komedi gitu. Jadi, saya tak siap ketika menonton. Ketawa-ketawa iya, tapi nangis juga paling kenceng.
***
Tokoh utamanya adalah Guido, pria italia keturunan Yahudi yang di awal film sibuk memenangkan cinta Dora, ibu guru cantik yang tinggal di kota yang sama. Masalahnya, Dora telah bertunangan. Ngikik-ngikik, deh, nonton kreatifnya Guido merebut perhatian Dora. Finally he did win her love. Makanya, awal film saya tidak sadar kalau ini komedi tragis. Kirain beneran film lucu.
Setting waktu segera berganti, 5 tahun telah berlalu. Diantara mereka berdua, sudah ada Joshua, sang buah hati.
Saya sudah mulai curiga ketika ada tentara Nazi yang digambarkan mulai menerjang masuk ke Italia. Aih, film apa pula ini. Singkat cerita, para pria dan wanita keturunan Yahudi ditangkap dan digiring ke suatu tempat, kamp konsentrasi.
Guido dan Joshua tak luput dari penangkapan. Dora sebenarnya bukan keturunan Yahudi. Tapi, ibu mana yang tahan terpisah dari kedua belahan jiwanya. Dengan sukarela, Dora memaksa masuk ke dalam kereta yang kemungkinan akan membawa seluruh penumpangnya ke gerbang kematian. Guido tak sanggup membujuk Dora agar turun dan merelakan Guido dan Joshua saja yang pergi.
Yang terjadi di kamp konsentrasi inilah yang menjadi pesan kuat dalam cerita ini. Bagaimana Guido sekuat tenaga berusaha ‘mengelabui’ Joshua mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam kamp konsentrasi. “It’s just a game, Son. We just have to win it. Anything you see, it’s nothing but a game.” Begitu kira-kira ide yang ditanamkan Guido pada anak laki-lakinya.
Bayangkan, sedang berada di ujung maut, demi kebahagiaan anaknya, Guido mampu mengerahkan kreatifitasnya untuk membuat segala hal pahit dalam kamp tersebut menjadi hal-hal yang menyenangkan. “See? It’s just a game.” Begitu katanya berulangkali jika keraguan mulai merasuk pada pikiran si Joshua kecil. Berkali-kali Guido sukses membawa Joshua lolos dari perangkap maut.
Banyak kejadian lucu memang. Tapi di hampir setengah film, eike meweeeeekkk aja kerjaannya hehehe.
Saya pikir akan berakhir happy ending, ketika tentara sekutu datang untuk menyelamatkan para tawanan yang tersisa. Kenyataannya, di detik-detik terakhir, Guido tertembak mati juga. I’m still crying while I’m writing this imagining the moment he put this little Joshua inside a trash bin. Joshua nyengir-nyengir di dalam tong sampah melihat ayahnya digiring oleh seorang tentara Nazi. Guido mengedipkan matanya dari jauh seolah tak terjadi apa-apa. Joshua tak tahu itulah pandangan mata terakhirnya dengan sang ayah.
Ini adalah film flashback. Ternyata, narator yang bercerita itu adalah Joshua dewasa . Guido sukses mengelabuinya. Joshua tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam kamp itu hingga ia dewasa. Dalam kebingungannya ketika pasukan Nazi kocar kacir digempur tentara sekutu, Joshua akhirnya dipertemukan kembali dengan ibunya. Di kamp, laki-laki dan perempuan dipisah tempat tinggalnya.
Adegan yang cukup mengharukan adalah ketika mobil tank para sekutu lewat di hadapan Joshua. Joshua melotot dan bersorak gembira, kira-kira kalau gak salah dia berpikir begini, “Wow, we win! This is the prize that Daddy always tells me. A real tank.” Setelah sekuat tenaga mengendalikan tangis tanpa suara di balik tisu, di adegan ini, eike histeris hahahaha. Duh, mudah-mudahan enggak ada yang ingat *tutupMuka*. Makanya, sang ratu drama jadi belajar juga. Kalau mau nonton film gini-ginian, be alone! .
***
Film ini sungguh luar biasa. Mengundang kritik dari beberapa pihak Yahudi yang memprotes adegan-adegan di kamp yang dianggap kurang sadis dan kurang menggambarkan teror yang dialami leluhur mereka. Ah, saya rasa memang bukan pesan itu yang ingin diajarkan Benigni pada pemirsanya.
Tak sedikit teman-teman saya ketika di Jeddah dulu yang selalu merasa betapa menderitanya hidup di Saudi. Tertutup lah, panas lah, kasihan anak-anak lah, orang arab menjengkelkan lah, nyetir di Jeddah bikin stres lah. Lucunya, tak sedikit teman-teman kami di tanah air yang berkomentar iri saban ada yang pamer-pamer foto depan Ka’bah, “Ah, kapan ya bisa ke sana.”
Ada kerabat yang malah sebal semasa tinggal di Eropa, katanya enggak enak, hidup bagai pembantu, segala kerjaan rumah harus dikerjakan sendiri. Yang tinggal di Jakarta sibuk menghujat macet, bete sama cuaca, kesal sama harga barang-barang mahal, kalau nyetir sebel sama angkot dan metro lah. Apalagi pas bensin naik. Sama, saya juga sering sih kayak gitu hihihihi.
Lain kali, saat kita merasa takdir begitu kejam memperlakukan kita, ingatlah Guido . Enakan mana tinggal di Jeddah atau dikirim ke kamp konsentrasi? hihihihihi. Ngeri amat padanannya hahaha.
Ketika wajah-wajah penghuni lain hanya pasrah menunggu ajal, Guido membuktikan satu hal penting bagi kita semua, “Happiness can be made … anywhere, anytime, anyway!”
Ah, tinggal di mana pun mana ada yang enak-enaknya doang. Tinggal di Jakarta? Satu paket dong sama macet dan segala macamnya. Tapi ingat kemudahan-kemudahan lain yang ada di sana yang kelak akan kalian rindukan saat jauh dari tanah air .
Tinggal di Saudi bikin stres? Ah, kamu bisa saja. Ingat harga bensin, ingat harga barang kebutuhan pokok yang serba nyaman . Ingat wajah-wajah iri teman dan kerabat saban situ pamer-pamer foto di Nabawi . Tinggal di eropa keren? Aih, kalau liburan doang iya kali hehehe. Tapi emang keren sih kalau dipikir-pikir ahahahahaha. Becandaaaaaa 😛.
Tak terasa sudah memasuki setengah bulan ramadan, banyak-banyak mengingat anugerah, yuk . Ingat, kalau si Joshua saja sudah girang bukan kepalang melihat tank di akhir petualangannya di kamp konsentrasi, apalagi janji Allah bagi umat yang banyak bersabar dan bersyukur dalam setiap tahapan kehidupannya. Enggak mudah, ya? Ya siapa bilang masuk surga itu gampang .
Note ini saya buat kemarin sore di wall FB. Selamat melanjutkan ibadah puasaaaaa . Yang di tanah air bentar lagi berbuka, nih. Selamat berbuka, ya. Untuk yang di Eropa, husss jangan lihat-lihat jam, buka puasa masih lamaaaaaaaa, hahahaha.
***
saya udah lama pengen nonton film ini. donlot ah 😀
Yes, you should! 😀
Salam kenal, Jihan :).
Ini juga film favorit saya sepanjang masa.
Paling mewek waktu di akhir film Guido barisnya dilucu2-in karena tau diliat sama anaknya.
Paling romantis waktu Guido sempet2nya nyetel lagu buat istrinya lewat radio camp.
And yes I agree, happiness is made. Terserah kita aja, mau hepi engga ^_^
Iya, itu adegan sebelum dia ditembak itu, yang pas anaknya diumpetin dalam tong sampah huhuhuhu. Sedihnya gak ilang-ilang kalau ingat film itu :(.
aku juga nonton, dan yessssss aku mewek terus Jihan, meski unlike you, aku udh tau ini film gimana ceritanya. Dan aku sukaaaa baget yang adegan terakhir yang nunjukin kalo itu flashback, kan diawalin si Guido masuk ke rumahnya ya, dan endingnya ada anak kecil juga keluar dari situ kan. Bener ya, kalo kita nggak bisa bahagia dengan keadaan kita sekarang, nggak ada jaminan kalo kita juga akan bahagia kalo keadaan berubah. Siapa tau masalahnya di diri kita ya. Btw, ini salah satu dari sedikit film yg kutonton tanpa tau pemainnya siapa dan tidak keren pula menurut seleraku tampang si Guido.
Hihihihihihi, iyyyaa. Si Benigni ini yang juga main jadi si Guido. Tapi btw, pemeran Dora, istrinya itu cantik. Nah, pemeran aslinya itu memang istri benerannya si Guido (Benigni). Halaahhh, malah gosipin artis2nya :D. Film ini layak banget sih kalau akhirnya dapat Oscar sebagai Film Berbahasa Asing Terbaik ^_^. Betul banget itu soal nunggu-nunggu keadaan sempurna dulu baru bahagia. Sering banget ketemu orang yang suka mengeluh karena keadaan A penginnnya keadaan B. Pas dikasih keadaan B, ehhh masih bete aja dan berharap balik ke keadaan A. Manusia oh manusia :(.
Hahahaha… ya btuL mbak, kudu harus wajib BrSyuKuR 😀
Yyyiiuuukkkk 😉
Aku belum pernah nonton filmya, tp udah bisa ngira2 kayak gimana jln ceritanya, dan udah pasti aku bakal mewek2 kalo liat, inget 3 krucilsku.. 🙁
Sekali lg, ini postingan yg okeee sekali, mbak… Dan, di Bandung msh shubuh, nih. Buka puasa masih lamaaaaaaa…!
Ihihihihihi, iya, itu tadinya status di FB. Eike kalau bikin status memang selalu serasa nulis di blog :D.
Belum pernah nonton filmnya karena memang gak suka film 🙂 Tapi setuju banget dengan pesan dari tulisan ini. Kebahagiaan itu kita yang menentukan. Kayak sekarang ini, aku tinggal di Jepang sekolah dan punya anak juga. Kalau mau dipikir, capeknya mungkin bisa tahap maksimal tapi gak semua orang juga kan punya kesempatan kuliah di Jepang 🙂 So, Lets enjoy our life 🙂
Sepakat! 😀 *jabatTangan*
iya film bagus. bikin orang ketawa sekaligus nangis. kenapa melibatkan tokoh anak kecil dalam film (apapun) hasilnya lebih dramatis ya? habis nonton ini dulu, saya nangis. duh rasanya ngebekas lamaaaaa & gak mau nonton lagi. huahehehe 😀
Mungkin karena anak-anak lebih polos, ya. Jadi gemes ngeliatnya :D. Anw, filmnya memang bagus banget, pesan moralnya tinggi, dikemas dengan cara yang keren pula 😉