Cara menerbitkan buku indie

Kritik Terhadap Bunda of Arabia

***

Kritik pertama adalah soal keakuratan isinya.

Sebelum “Bunda of Arabia” terbit, sebenarnya telah terbit satu buku non fiksi bergenre komedi yang bertajuk “Kedai 1001 Mimpi” yang dikarang oleh Vabyo, yang juga menggunakan latar belakang negara Saudi.

Ketika gencar berpromosi di beberapa milis (thanks to Bapak Dani hehehehe, Baba of Arabia :P), beberapa orang bertanya tentang “Bunda of Arabia” dan “Kedai 1001 Mimpi.” Isinya dianggap bertentangan.”Kedai 1001 Mimpi” karangan Vabyo (yang konon laris manis ini) diterbitkan oleh penerbit formal, Gagasmedia.

Gagasmedia sendiri kebetulan penerbit yang banyak melahirkan penulis-penulis favorit saya seperti suami istri Adhitya Mulya-Ninit Yunita dan Raditya Dika.Sayangnya sampai sekarang saya sendiri belum membaca buku ini. Tapi dari banyak review di berbagai media online, saya jadi maklum kenapa sampai disebut-sebut ‘bertentangan’.Sebenarnya, kedua buku tersebut TIDAK BERTENTANGAN sama sekali :). Kok, kok, kok???

Sudut pandang penceritanya berbeda. Ini nih pokok perbedaannya :).

Vabyo datang ke Saudi dengan ‘menyamar’ sebagai TKI informal dan bekerja di beberapa tempat untuk mengumpulkan bahan cerita.

Sedangkan “Bunda of Arabia” ditulis oleh ibu-ibu asal Indonesia yang datang ke Jeddah untuk mengikuti suami yang bekerja di sana. Spesifik tentang kota Jeddah dan sekitarnya.

Apa yang diceritakan Vabyo dalam “kedai 1001 mimpi” adalah kumpulan pengalamannya bekerja di Saudi selama (kalau tidak salah) 3 pekan (apa 3 bulan), ya.

Sedangkan para Bunda yang menuangkan pengalamannya di “Bunda of Arabia” rata-rata sudah bermukim minimal satu tahun.

Saya tidak suka menceritakan hal ini. Tapi memang pada kenyataannya kaum pekerja formal di kota Jeddah memiliki ‘dunia yang berbeda’ dengan dengan kaum pekerja informal.

Anda jangan lantas menganggap pekerja formal disini sombong. Salah satu sahabat saya disini, akibat terlalu entah lugu entah apa, dimanfaatkan secara materi oleh oknum yang kurang bertanggung jawab.

Oknum, sih. Tapi ya, pengalaman itu guru paling berharga, bukan?

Juga jumlah kaum informal terlalu banyak. Dan nyaris tak tersentuh karena mereka tinggal di lingkungan tertentu dan seringnya berkelompok. Kerasnya kehidupan yang mereka alami mungkin sudah mengikis separuh rasa kesantunan mereka. Tapi jangan digeneralisir. Tentu tidak semuanya :).

Hal-hal ‘sensitif’ ini tak mudah untuk saya terangkan panjang lebar dalam tulisan :(.

***

Kritik kedua adalah isi “Bunda of Arabia” kok kayaknya ‘senang-senang’ semua? Emberrrrrr ahahahahahahaa :P.

Bunda-bunda hepi 😀

Justru sebenarnya saya menggagas buku ini sebagai penyeimbang. Atas berita-berita yang menurut saya terlalu berat sebelah tentang salah satu negara ‘penguasa’ gurun ini. Terutama mengenai kehidupan orang-orang yang berasal dari tanah air.

Saya sudah mengawalinya dengan blog mamasejagat dan ceritaJeddah. Tapi tentu perlu ada langkah lebih ‘serius’. Jadilah saya, yang memang memendam mimpi menjadi penulis (kelak), memberanikan diri mengangkat sisi lain ini ke dalam buku “Bunda of Arabia.”

Ah, berarti untuk kalangan terbatas. Kalau menilik tujuan awalnya saya setuju jika orang-orang berkata ini untuk kalangan terbatas. Makanya saya pantang berdebat lebih jauh ketika mencoba menawarkan naskah buku kepada sebuah penerbit formal dan langsung ditolak dengan alasan ‘segmented readers’. Saya sepenuhnya paham :).

Waktu membahas isu ini pun, resistensi dari rekan-rekan Bunda yang saya tawari untuk ikut menulis pun sudah ada.

Bahkan saya akhirnya rela mengganti judul yang awalnya adalah : “How can we not love Jeddah?” menjadi “Bahagia, Meski Mungkin Tak Sebebas Merpati” untuk ‘menggaet’ salah satu penulis yang awalnya hendak hengkang, padahal dia adalah penulis incaran utama saya.

Beliau inilah yang sebenarnya memiliki kemampuan menulis yang paling ‘mumpuni’ diantara kami hehehe. Heran saya, orangnya masih gak pede juga melangkah lebih ‘jauh’ padahal sudah saya komporin hehehehe. Mana buku solo-mu, Mbaaaaakkkk? :D.

Demikian juga dengan rekan penulis lain yang menunjukkan keengganan saat saya minta menulis dengan tema yang sudah saya tetapkan. Meskipun tidak kepada saya, saya tahu dia meminta pertimbangan dari mana-mana. Saya maklum. Dia takut disangka mau pamer. Tapi alhamdulillah, melalui BBM intensif, beliau pun akhirnya ‘takluk’ dan mau nyetor tulisan hehehe.

Perempuan Indonesia yang banyak mendiami wilayah Saudi, sebagian besar datang dengan status TKW. Dan diantara mereka, jumlah terbesarnya memang ada di ranah domestik, sebagai asisten rumah tangga atau pengasuh anak.

Jadi, kami (para penulis) pun mencoba sangat berhati-hati dalam tiap tulisan. Agar orang tak lantas menuduh kami sebagai ‘musuh dalam selimut’. Dan demi Tuhan, kami tak ada yang menentang dan tak ‘memusuhi’ apalagi memandang rendah pada mereka. Setiap orang berhak mencari rezeki halal dengan kesanggupannya masing-masing.

Maka dari itu, butuh kerja ekstra untuk terus menumbuhkan semangat ini kepada rekan penulis yang lain, bahkan mengusir ‘ketakutan’ yang sering hinggap di pikiran saya sendiri.

Meskipun tetap ada teman yang malah menganjurkan menulis tentang ‘tema perjuangan’, mengangkat kisah-kisah TKW dan semacamnya. Ini memang mungkin akan menjadi topik populer (mengingat kisah menyayat hati memang cukup laku di tanah air hehehe), tapi justru kisah-kisah seperti ini yang saya hindari.

Maksud saya, cukuplah berita-berita memilukan hati ini dimanfaatkan oleh media untuk menaikkan jumlah pembaca mereka. Sekali lagi, saya ingin menghadirkan ‘kisah penyeimbang’ :).

Jadi ya, dari awal pun, tujuannya malah untuk memperkenalkan ‘sisi lain Saudi’ kepada tanah air. Agar kalau Anda-anda kebetulan sedang umrah dan hajian, bertemu dengan perempuan berabaya hitam di masjidil haram, Anda tidak buru-buru memandangi mereka dengan rasa kasihan, mengeluarkan uang 10 riyal untuk anak kecil yang mereka bawa dan berucap, “senang disini? majikannya baik?” hehehehe ;). Terlepas dari apakah cerita macam ini akan ‘laku’ atau tidak :).

Bahwa hidup di kota Jeddah mungkin memang serba dilarang tapi ada hal-hal lain yang akan membuat iri para perantau asal Indonesia di negara lain :P.

***

Kritik ketiga, judulnya terlalu ‘drama’ sementara isinya sangat deskriptif. Hehehehe.

Saya akui pemilihan judul memang untuk menarik perhatian publik :D. Dan kalimat ini yang selalu terngiang di kepala saya saat melihat foto-foto teman-teman disini yang hobi sekali ‘foto loncat-loncat’ kalau lagi main ke pantai hihihihihi. Sebenarnya selain dicomot dari salah satu lirik lagu Kahitna, kalimat ini juga saya jadikan judul foto teman-teman yang tempo hari piknik ke South Corniche. Saya tak ikut, tapi saya yang menuliskan ceritanya di blog hehehe.

Ada pun tentang cara penulisan dan sebagainya, saya cuma mau bilang, kami tak ada yang berprofesi penulis sebelumnya. Harap dimaklumi :P. Cuma 3 orang blogger dan 6 orang Bunda yang mungkin sebenarnya ‘terpaksa’ karena saya teror terus. Ahahahaha.

***

Terima kasih atas pihak yang sudah membeli dan memberikan kritikan dan memberi review untuk buku kami :).

Bagi yang belum beli, saran saya cuma satu : inbox saya secepatnya, ya! hehehehehe.

Jangan lupa kunjungi page kami, di facebook – fanpage ini.

Salam dari Jeddah

Jihan Davincka, on behalf of penulis “Bunda of Arabia” (Ibu Euis Fauziah, Ibu Vica Item, Ibu Aina Hidayati, Ibu Nining HaerAni, Ibu Ismiyati Afni, Ibu Dini Fabria, Ibu Alfiani, Ibu Mira Sonia).