Menuju Padang Arafah Arab Saudi

What’s Your Hajj Story (3), Pergi Haji dari Jeddah

Kisah pergi haji kami dimulai dari tulisan ini –> Bagian 1, bagian 2

***

Tenda di Arafah bentuknya juga compound. Hamla kami khusus menyewa kumpulan tenda secara terpisah. Kamar mandinya juga khusus. Gak kalah nyamannya dengan tenda Mina *laaaaffff*.

Tendanya tapi cuma beralas karpet tebal. Mungkin karena enggak bakal menginap. Tapi tiap jemaah dibagi-bagikan kantong tidur. Lumayan, dapat gratisan lagi hehehe. 

Untuk perempuan, ada 5 tenda besar. Satu tenda isinya sekitar 70 – 80 orang. Tendanya lapang dengan atap yang tinggi. Pendingin ruangan disediakan di setiap penjuru tenda. Plus satu kipas angin besar. read more

What’s Your Hajj Story? Kisah Naik Haji (bagian 2)

Kisah naik haji ini bagian 1-nya di sini. 

Salah satu kegelisahan saya menjelang naik haji ada cerita beberapa teman yang juga berhaji dengan menggunakan hamla Arab. Beberapa bercerita, mentang-mentang orang Indonesia, suka disuruh-suruh ini itu oleh jemaah Arab lainnya. Walah, saya kan orangnya gampang tersulut, ya :P. Gimana nih?

Tapi niatnya mau naik haji kok ya mikirin macam-macam. Jadinya saya pasrah saja, deh. Sudah siap-siap mental kalau di’bully’ ama perempuan-perempuan Arab di tenda hihihi.

Dalam tenda saya, dari 16 orang perempuan dewasa, 15 orang lainnya adalah perempuan Arab asal Mesir. Dibully beneran gak, nih? Ternyata … engga dooooooong :P. Tidak sama sekali ;).

‘Strategi’ saya adalah, jangan diam saja! Gak susah lah, secara orangnya memang kepo dan doyan ngoceh hahaha. Tak bisa berbahasa Arab tapi kan bisa bahasa Inggris ;).

Dari pertama masuk tenda, sudah memasang tampang penuh percaya diri, tangan kanan menggendong si kecil, tangan kiri nenteng tas, bersuara lantang, “Where can I sleep and put my stuff?”

Seorang dari mereka, yang paling fasih berbahasa Inggris, menyambut dengan senyum sangat ramah. “Welcome, welcome. You can pick any place. But some are already booked.”

Jalan Menuju Arafah dari Mina
Jalan Menuju Arafah dari Mina

Semua tempat tidur bawah sudah terisi. Jadi, saya kebagian tempat tidur tingkat atas. Which is anugerah juga. Tempatnya lebih luas dan tidak terlalu pengap.

Mereka semuanya baik banget :). Tidak ada diskriminasi sedikit pun. Apalagi nyuruh-nyuruh gak jelas. Di siang hari malah saya leluasa ke kamar mandi atau keluar tenda sebentar jika ada keperluan dan menitipkan anak saya ke salah satu dari mereka.

Tadinya ada 2 ibu-ibu yang nampak agak ‘segan’. Saya pikir, ya sudahlah, you just can’t have it all. Setidaknya ada 13 orang lainnya yang gak lelah ngajakin ngobrol dan kompak membuat saya merasa senyaman mungkin :).

Sebagian terbata-bata berbahasa Inggris tapi tak pernah bosan menyambut ajakan saya untuk mengobrol.

Di hari terakhir, barulah saya tahu kenapa 2 orang ini nampak ‘menjaga jarak’. Dengan malu-malu mereka berujar, ketika di hari terakhir sarapan, “Sorry, Jihan. Mafi English.” Oh, ternyata mereka tak fasih berbahasa Inggris. Saya menjawab santun sambil senyum-senyum, “Mafi musykillah, mafi musykillah.”

Di hamla saya, ternyata ada juga beberapa orang Indonesia. Saya bertemu di tenda Arafah. Ada sekitar 5 orang, yang kesemuanya berprofesi sebagai pekerja rumah tangga.

Sebagian takut keluar tenda dan menitip ke saya untuk membeli Indomie gelas hehehe. Maklum ya, selama berhari-hari di Mina dan Arafah, sebagian perut pribumi berontak terhadap suguhan makanan Arab hihihi. Saya sih doyan banget nasi biryani dan segala rupa makanan Arab :p.

***

Sepanjang hari di tanggal 8 dilewati dengan acara kenal-kenalan. Malam harinya semua tidur lebih awal. Mempersiapkan diri untuk wukuf di Arafah di keesokan paginya.

Azan subuh masih berkumandang, tapi compound kami sudah hiruk pikuk sejak sejam sebelumnya. Setelah sarapan ala roti Arab yang dicocol krim keju, berbagai macam selai, dan halawa’ (ini favorit saya, nih), tepat jam 7 pagi, kami semua berbaris di depan tenda. Ikut mengantri menuju stasiun kereta yang akan membawa kami ke Padang Arafah.

Stasiunnya dekat sekali. Stasiun Mina 1, hanya berjarak sekitar 200 meter dari compound hamla kami. Tapi puluhan ribu jemaah lainnya akan menuju stasiun dan menaiki kereta yang sama. Sekitar 1.5 jam kami mengantri dari depan tenda hingga menapakkan kaki ke atas kereta.

Suasananya cukup tertib. Masih pagi dan masih segar mungkin, ya. Talbiyah terus berkumandang tak putus-putusnya. Terus membakar semangat biarpun kaki cukup pegal berdiri dan berdesakan cukup lama. Petugas-petugas di stasiun jumlahnya ratusan dan sangat kompak.

Puluhan laki-laki berseragam biru tua itu tak ada capeknya mengarahkan puluhan ribu jemaah dari mulai antri di jalanan, memasuki stasiun, hingga berdiri dengan patuh menanti di pintu kereta.

Anak saya anteng banget. Masya Allah. Bocah 18 bulan inilah salah satu penyemangat saya dalam perjalanan naik haji kali ini. Malu kali, Cyyyiiinnn, sama anak 1.5 tahun hehehehe.

Naik keretanya cuma 20 menit saja. Dari stasiun Mina 1 dan turun di stasiun Arafat 3. Berjalan kaki sekitar 15 menit menuju tenda hamla kami. Di sepanjang jalan, terutama di bawah jembatan, sudah dijejali para ‘haji koboi’ hehehe. Membawa tenda sendiri, bahkan ada yang cuma bermodal sebuah tikar tipis.

Naik haji dari Jeddah 2012
Berpose di stasiun sebelum berangkat melontar jumrah :D.

Tanggal 9 Dzulhijjah pagi itu, Arafah penuh jutaan umat. Datang bersama-sama dari segala penjuru dunia. Untuk menundukkan diri di hadapan Allah, memuji keagunganNya di momen Wukuf, salah satu rukun wajib sahnya ibadah naik haji.

Mahabenar Allah dengan firmanNya, yang sudah diturunkan lebih dari 1400 tahun yang lalu, bahwa :

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (٢٧)لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ (٢٨)

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka …” (Al Hajj: 27-28).

***

(bersambung ke sini)

Note : this is my hajj story, performing Hajj on 2012. What’s your hajj story? 😉

What’s Your Hajj Story? (Pengalaman Haji via Jeddah)

Tanggal 7 Dzulhijjah sudah menjelang. Dari pagi sudah sibuk melengkapi barang-barang bawaan. Seharusnya tidak ribet. Tapi kami membawa si kecil #boy2. Jadilah cukup rempong mengatur bawaan yang didominasi oleh diaper, susu kotak, snack balita, dll.

Tas buat #boy1 juga ikut diberesin. Si sulung tidak dibawa serta (dan ini betul-betul keputusan yang tepat! hehehe). Padahal awalnya saya ngotot ke suami kalau si sulung juga mesti ikut.

Untunglah ada Bunda Cantik (*uhuk uhuk*) yang menawarkan diri menjaga si sulung. You’re our hero, Dear ;).

Siangnya, anak sulung diantar ke Aziziyah. Kami balik ke rumah. Maksudnya mau istirahat sebentar menunggu magrib. Tapi, malah sibuk wara wiri, beres-beres rumah, dsb.

Begitu azan magrib, kami langsung mandi. Suami mengenakan pakaian ihram, lalu kami salat bersama. Dengan menumpang taksi, kami bertiga berangkat menuju hamla (biro haji) Al Mahabbah, tempat kami mendaftar hajian.

Hamla kami cukup spesial. Karena membolehkan para jemaahnya untuk membawa anak-anak. Makanya sedih juga, nih. Kami seharusnya berhaji dengan teman-teman Indonesia lainnya. Tapi terpaksa kami ‘membelot’ ke hamla ini terkait ketatnya aturan hamla lain TIDAK BOLEH MEMBAWA ANAK :(.

Lokasi hamla dekat banget dengan gedung apartemen kami, tepatnya di Palestine Street. Cukup menempuh beberapa menit perjalanan. Begitu tiba, langsung disambut pemandangan belasan bis-bis besar yang siap mengangkut para jemaah memasuki kota Mekkah.

pengalaman haji 2012
Parkiran Kudai di Mekkah, gambar : arabnews.com

Pukul 8 malam, bis mulai jalan. Jarak kota Mekkah cuma sekitar 70 km dari Jeddah. Biasanya ditempuh dengan waktu 45 menit saja. Tapi karena musim hajian, dimana tanggal 7 malam biasanya serentak rombongan dari  Jeddah memasuki Mekkah, perjalanan tersendat-sendat begitu mendekati checkpoint Mekkah.

Sekitar jam 10.30 malam akhirnya kami tiba di Kudai, parkiran raksasa yang dibuat khusus untuk pengunjung masjidil Haram. Kudai cuma ramai di saat ramadan dan musim haji, kok.

Tadinya saya agak ragu mau ikut tawaf Qudum. Tapi begitu bis kami parkir di pelataran Kudai, semangat langsung berdentum-dentum hehehe.

Kami langsung menuju Masjidil Haram. Tidak dibimbing oleh pembina. Sendiri-sendiri saja. Di Kudai disediakan bis khusus untuk bolak balik Kudai-Haram. Duh, ramainya saat harus berebutan naik bis Saptco.

Kami sudah terbiasa dengan sifat orang-orang Arab yang pada umumnya memang ‘angot’an :D, jadinya sabar saja menanti giliran ;).

Jam 11 malam tiba di Haram. Kami tawaf di lantai 1. Sudah sesak. Tapi semilir angin malam di awal musim dingin cukup membantu kami melewati 1.5 jam mengitari Ka’bah selama 7 putaran di tengah himpitan jemaah lainnya. Si kecil gimana? Bocah luar biasa ini tidur teruuuuuss. Hehehehe.

Tadinya ingin lanjut Sa’i. Tapi kami takut tertinggal bis. Buru-buru ke kamar mandi dulu. Saking ramainya kamar mandi laki-laki, suami saya ‘menyerah’. Lalu kami bergegas ke arah bus station dan melesat kembali ke Kudai.

Tiba di Kudai, masih sepi banget. Baru jam 2.30 dini hari. Langsung menyesal gak lanjut Sa’i. Padahal masih segar bugar :(. Kami bertiga akhirnya duduk-duduk di atas rumput di samping parkiran bis.

Menikmati segelas teh hangat yang dibeli suami di baqala (toko kelontong) di seberang jalan. Sambil menemani si kecil, yang sudah terjaga dari tidurnya, bermain-main.

Akhirnya baru pukul 4.30 subuh bis kembali bergerak menuju Mina. Ini sih macetnya luar biasa. Butuh sekitar sejam untuk mencapai tenda di Mina, padahal jaraknya cuma seucrit.

Kompleks jemaah haji di Mina  pengalaman haji
Kompleks jemaah haji di Mina

Tiba di Mina, ada insiden kecil. Tas suami mendadak raib! Tapi saya sudah yakin pasti ada yang salah ngambil, nih. Alhamdulillah, drama kehilangan tas cuma berlangsung sekitar 15 menit. Tas pun ditemukan, ada yang menaruhnya begitu saja di luar tenda.

Tenda di Mina untuk hamla lokal Saudi itu gimana, sih?

Ternyata setiap hamla menyewa satu kompleks tenda tertentu. Istilahnya compound. Di depan tiap compound sudah terpasang nama hamla penyewanya.

Dalam compound tersebut, tenda perempuan disekat khusus. Tempatnya bersih banget. Alhamdulillah. Ada belasan, bahkan mungkin puluhan asisten, yang hampir tiap waktu membersihkan kamar mandi, lorong-lorong antar tenda, bahkan dalam tendanya pun juga dibersihin, lho.

Masya Allah. Nyaman banget. Anak-anak jadinya bebas berlarian di luar tenda.

Nah, tenda-tenda di dalam terbagi-bagi lagi. Satu tenda bisa ditempati oleh 10-20 orang. Tenda saya sendiri ada 16 orang dewasa. Ada 8 tempat tidur tingkat lengkap dengan kasur + selimut untuk tiap orang. Lantainya dialasi karpet-karpet yang cukup tebal.

Tanggal 8 pagi, suasana dalam compound sunyi senyap. Mungkin kelelahan dan sebagian besar jemaah tertidur lelap. Saya memanfaatkan kesempatan ini untuk mandi, mumpung kamar mandi belum ramai-ramai amat. Si kecil sih sudah pulas dari tadi :D.

***

(bersambung ke sini)

Note : tulisan ini untuk mengenang naik haji via Jeddah saya dan suami beserta anak kami yang nomor 2 tahun 2012 silam 😀

(Never) Judge a Book by Its Cover

“I can’t find halawa here. Do you know where I can find one?” Saya bertanya sesopan mungkin pada seorang wanita arab di sebelah saya. Kami berdua sedang berada dalam supermarket. Sibuk berbelanja di rak yang sama.

Dia bengong sebentar, nampak tidak mengerti.
Baca juga :
Bisakah Perempuan Bekerja di Arab Saudi?
Perempuan Indonesia di Saudi … Jangan Sensi!
Bunda of Arabia : Bahagia Meski Mungkin Tak Sebebas Merpati
 

Baiklah. Mari berbahasa arab. Saya gelagapan karena bisanya cuma pas-pasan, “Halawa, halawa. Ummm…sukkar. Fen halawa? Ma’alish, mafi arabic.”

Barulah dia mengangguk-angguk. Dia menjelaskan dengan bahasa arab sambil tangannya sibuk mengarahkan. Saya mengangguk-angguk kecil padahal sebenarnya “Sumpah, gue gak ngarti.” Hehehehehe.

Saya akhirnya memilih pergi saja. Tiba-tiba dia kembali memanggil, saya menengok.

Dia seperti penasaran, “Filipino? Malayzi?”

“Indonezi.”

Main sama bocah di Corniche - Jeddah, 2012
Main sama bocah di Corniche – Jeddah, 2012

Matanya membesar sambil menepuk bahu saya. “Indonezi? Speak English? Masya Allah!”

Yup, begitulah (mungkin) pandangan sebagian besar orang-orang di Jeddah terhadap perempuan Indonesia. Seorang perempuan Indonesia yang bisa berbahasa Inggris (apalagi tidak bisa berbahasa Arab) akan dianggap sesuatu yang istimewa.

Setidaknya saya sudah kenyang banget dengan pengalaman, “You Indonezi? Speak English? Masya Allah!”

Pengalaman saya tidak terbatas kepada perempuan-perempuan arab yang ternyata banyak juga yang tidak fasih berbahasa inggris. Tapi pengalaman persis pernah saya dapatkan saat berobat ke bagian emergency rumah sakit Bugshan.

Dokternya adalah laki-laki yang sangat ramah dan sopan, asalnya dari Mesir. O ya, katanya sebagian besar dokter di Saudi memang berasal dari Mesir.

Kami sudah mengobrol dengan akrab selama hampir setengah jam dalam bahasa inggris. Mungkin Pak Dokter berusaha mencairkan suasana. Dia pasti melihat jelas kalau saya ketakutan dan gemetar padahal cuma operasi kecil saja di bagian jari tangan :P.

Dia kaget sekali ketika saya bilang saya dari Indonesia. Sedari tadi dia berpikir saya orang Filipina atau Malaysia. Secara fisik, memang terdapat banyak kemiripan antara kita dan kedua negara tetangga tersebut.

Sudah pakemnya di Jeddah, perempuan yang bisa berbahasa Inggris itu PASTI dari Filipina atau Malaysia. Perempuan Indonesia? Harusnya lancar berbahasa Arab dan profesi mereka pastilah TKW :). Diskriminatif? Tidak juga. Ini lebih karena kondisi lingkungan.

***

Meskipun saya tidak punya data akuratnya, tapi terlihat jelas bahwa sebagian besar perempuan Indonesia yang datang ke Saudi berprofesi sebagai TKW. Menguasai sektor domestik, pekerja rumah tangga atau pengasuh anak.

Memangnya yang dari Filipina enggak ada? Malaysia? Bangladesh? Pakistan?
Baca juga :
10 Keuntungan Tinggal di Arab Saudi
Perut Terjamin Lahir Batin di Jeddah
Serunya Piknik di Padang Pasir!
 

Filipina memang ada. Banyak juga jumlahnya. Tapiiiii…mereka mendominasi di beberapa sektor formal. Saya nyaris tak pernah bertemu suster yang berkebangsaan BUKAN Filipina di rumah sakit besar di Jeddah.

Admin-admin rumah sakit pun didominasi oleh mereka. Dari petugas lab, petugas apotik, hingga customer service. Perempuan Indonesia ada juga. Tapi kebanyakan menjadi petugas kebersihan.

Malaysia? Jangan sirik. Tak ada TKW Malaysia di sini. Ditambah lagi, menurut suami, tenaga kerja laki-lakinya datang rata-rata dengan status mohandis (engineer). Jadi, para madam asal Malaysia, bisa dipastikan istri mohandis (atau di atasnya mohandis) :P.

Ketambahan lagi mereka rata-rata fasih berbahasa Inggris, bahasa kedua di Negeri Jiran tersebut.

corniche weekend

Bangladesh konon tidak mengirimkan TKW secara legal. Pakistan juga. Tapi ada juga perempuan asal negara-negara tetangga India yang bekerja di sektor domestik. Kemungkinan tidak legal dan jumlahnya terbatas.

Saya tidak marah kepada para TKW. Hormat saya setinggi-tingginya kepada perempuan-perempuan luar biasa ini :). Saya berdiri di barisan penentang moratorium.

Menurut saya pribadi, pemerintah yang gagal melindungi mereka di sini. Tak kuasa menyediakan lapangan kerja di tanah air tapi melarang mereka mencari rezeki di negeri orang.

Tidak seperti Filipina. Negara tetangga satu ini mungkin paham betul kekurangan mereka untuk menghidupi seluruh rakyatnya.

Mereka dengan sigap membaca kesempatan di luar negeri, mengirimkan warganya, tak lupa memberikan jaminan dan perlindungan penuh beserta keterampilan yang mumpuni.

Ketika masa melahirkan, saya menggunakan jasa seorang bibik asal Madura. Dia pernah menunjukkan dengan bangga foto anaknya mengenakan seragam SMP.

Dengan riang dia berujar, “Saya yang ngongkosin dia bisa sekolah setinggi ini, Ning.”

Proud of you, Mbak :). (Ning, sebutan untuk Neng dalam bahasa Madura. Bener gak sih? :D).

***

‘Posisi’ saya cukup diper’sulit’ oleh penampilan fisik suami. Biarpun perawakannya tidak sebesar orang-orang Arab pada umumnya, tapi tingginya mencapai 180 cm. Hidungnya tidak pesek, berjanggut, dan berkumis. Pasrah deh, (mungkin) akan sering disangka “TKW yang sukses menikahi majikan arabnya.” Ahahahahahaha.

Misalnya di masjidil haram. Sebagian besar petugas kebersihan di sana perempuan Indonesia, lho ;). Mereka bercadar semua soalnya.

Anak sulung saya adalah fotokopi bapaknya. Rambut kecoklatan, kulit kuning langsat cerah, hidung tidak pesek, dan ‘berangasan’ kayak anak-anak kecil arab ihihihihihihi.

Seperti biasa ya, eyke paling enggak tahan kalau enggak hosip-hosip :P. Jadilah, suka mengobrol juga dengan para petugas kebersihan di Haram. Ketika asyik mengobrol, ada yang pernah berkata :

“Kamu dapat orang sini, ya?” (Mereka suka berkamu-kamu ke kita, jangan tersinggung hehehe).

“Ha?”

“Itu anaknya arab begitu.”

“Bukan, bukan. Suamiku orang Indonesia juga, Mbak.”

“Oooohhh…”

Tapi entahlah apa yang ada di pikirannya waktu melihat suami saya datang ke arah saya :P. Otak saya yang suudzon berpikir, mungkin dalam hati dia gondok, “Dasar tukang bohong. Suaminya memang orang Arab. Malu kali ketahuan kawin ama majikannya.”

Ahahahahaha. Cukur jenggotmu, Baaaaaaaannngggg.

***

Meng-upgrade penampilan mungkin cukup menolong.

Manusia memang tak mudah lepas dari stigma sosial. Saya pun dulu berpikir perempuan Saudi pasti congkaknya minta ampun. Sampai akhirnya saya berobat dan dapatnya dokter perempuan.

Kata suami, melihat namanya, dia pasti orang Saudi asli. Mungkin saja. Penampilannya bercadar pula. Biasanya perempuan arab berkebangsaan lain tidak banyak yang bercadar.

Masya Allah. Dokternya sangat ramah. Padahal saya sudah berburuk sangka ketika dia menanyakan kebangsaan kami. Saya sudah pasrah, begitu bilang orang Indonesia, pasti dia langsung gimanaaa gitu. Ternyata enggak, lho. Baik banget.

Beliau dokter kulit. Dengan sopan, dia meneliti sela-sela jari saya yang kena semacam kudis (tutup muka menahan malu :P). Dia menjelaskan panjang lebar, kalau mungkin kulit saya sensitif. Menyarankan menggunakan sarung tangan.

Saya bertanya, “Is this contagious?”

Dia menggeleng-geleng sambil tersenyum. I can see thru her eyes :).

Saya iseng mengusap-usapkan tangan saya ke suami. Suami langusng menghindar. Dia jijik gitu memang hihihihihi. Kami berdua cekikikan di depannya. Dan Ibu Dokter pun malah ikut tertawa-tawa, mudah-mudahan enggak kapok kedatangan pasutri gila ini :P.

Saya selalu berprasangka perempuan arab asli Saudi sombongnya minta ampun. Kaku. Apalagi jika menghadapi ‘kasta rendah’ macam perempuan Indonesia, yang datang membawa penyakit kulit di sela-sela jarinya (ketauan kan di rumah kerjanya kalau gak cuci piring ya ngepel, ahahahahaha).

Salah satu foto bersama teman-teman di Jeddah, 2012
Salah satu foto bersama teman-teman di Jeddah, 2012 (6 orang diantaranya sudah hengkang dari Jeddah hehe)

***

Sedihnya, stigma yang sama juga datang dari jemaah haji asal Indonesia. Mungkin tidak semuanya. Tapi heran juga, “Kenapa gue melulu deh yang kenaaaaaa”. Padahal rasanya pas masih di Jakarta, tampang eyke beda-beda tipis dengan artis ibukota (dilihat dari monas mungkin? :P).

Sewaktu Ibu saya datang umrah dengan membawa puluhan buku-buku “Bunda of Arabia”, saya sudah siap mental melakukan direct marketing.

Penuh percaya diri mengajak suami ke Masjid Apung di Corniche. Mantap menyambangi para jemaah haji asal Indonesia yang bisa dipastikan absen ke sana tiap ke Jeddah.

“Permisi Bu, mau beli buku “Bunda of Arabia”? Isinya tentang pengalaman ibu-ibu Indonesia yang tinggal di Jeddah.”

Sebagian ada yang tertarik dan mendekat. Melihat-lihat sampul sambil berkata, “Kok bisa keluar rumah?”

“Bisa dong, Bu.”

“Ooohh, dapat libur juga, ya. Baik majikannya, ya.”

Huhuhuhuhu. Ini padahal sudah pakai kacamata hitam yang trendy punya, lho *langsungLemes*.

Terus dong, mereka enggak beli! Sibuk berempati tidak jelas. Jadi, saya pindah ke grup lainnya. Dimulai dengan kalimat yang sama.

Kali ini dijawab dengan, “Ikut suami apa bagaimana, Mbak?”

Wah, ada harapan, pikir saya. “Ikut suami, Bu.”

“KOk bisa ya bawa istri? Katanya susah, lho. Kemarin saya diceritain supir taksi katanya susah bawa istri.”

Belum sempat jawab, temannya menyambar, “Ada yang bisa kali. Kan tergantung majikan. Supir kan juga macam-macam.”

Siyaaaalllll. Ahahahahahaha. Sekali itu saja saya nekat ke Masjid Apung. Suami terus sibuk membujuk, katanya latihan mental. Atau kata dia, “Pinjam abaya ibu-ibu lain kali. Kamu, sih, abayanya kumel gitu.” Hehehehe.

Di Masjidil Haram juga anak saya pernah dikasih uang oleh salah satu jemaah perempuan asal Indonesia. “Belajar yang rajin. Ingat kerja keras Ibu.” Ihiiyyyy, kerja keras Ibu :P.

Etapi dapat rezeki kok sakit hati. Senang malah :). Syukran katsiran doanya, Bu :).

***

Tentu saja, hidup itu intinya belajar. Mengambil hikmah dari tiap pengalaman. Biarpun tidak sepenuhnya marah dan sakit hati, setidaknya saya belajar kalau diperlakukan seperti itu rasanya tidak menyenangkan.

Then, don’t do that to others! :).

Toh, ternyata perempuan-perempuan arab banyak yang menyenangkan. Ketika hajian kemarin satu tenda dikepung perempuan arab semua, rasanya kayak keluarga. Mereka sopan dan ramah.

Perempuan asli Saudi ternyata ada juga yang menyenangkan. Pakai cadar tapi bisa berbicara dengan bahasa yang jelas. Tadinya saya suka mengeluh kalau berhadapan dengan perempuan bercadar yang ngomongnya kayak kumur-kumur.

Bukan cadarnya, tapi cara berbicara tiap orang yang berbeda.

Urusan upgrade penampilan bukan hal yang sulit buat saya. Kalau mau, segala merek bisa dibeli (suami langsung stres, ahahahahahaha). Sombong amat sih, lu :P. Serius iniiihhh. Penghasilan sebagai ekspat engineer di Jeddah tidak sedikit. Tanpa pajak pula.

pengalaman di Jeddah
Kumpul-kumpul di salah satu rumah teman di Jeddah, 2011 😀

Tapi, jangan lupa pepatah salah satu orang terkaya di dunia, Warren Buffet, “Manusia yang membuat barang.” Jangan sampai kita yang didikte oleh barang. Saya tak pernah sudi dinilai berdasarkan apa yang menempel di badan saya :).

Therefore, saya pun tak pernah menimbang-nimbang lawan bicara saya berdasarkan ‘harga’ di sekujur tubuhnya ;).

Sebagai muslim, kita percaya bahwa Allah sudah menetapkan parameter kesempurnaan tiap insan :“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)

Lagipula, sebuah pepatah mengatakan, “Kalau Anda hanya menilai orang lain hanya dari penampilan (atau suku bangsa :P), Anda akan kehilangan banyak kesempatan bertemu orang-orang hebat.”

Tapi ada juga sih, orang hebat bukan, penampilan dekil iya *tunjuk diri sendiri* hahaha.

***

Saat Ka’bah Hanya Berjarak Satu Jam Saja

Salah satu obrolan yang lazimnya terjadi di akhir pekan saat suami kerja di Arab :

“On call gak, Bang?”
“Enggak.”
“Umrah, yuk.”
“Hayuk.”
“Abis aku nyuapin, mandiin anak-anak, kita langsung berangkat.”
“Ok.”

Berapa tempat sih di dunia ini yang memungkinkan percakapan di atas terjadi?

Bahkan jika Anda bermukim di negara Saudi pun belum tentu bisa memutuskan untuk umrah dalam hitungan detik. Kota Madinah saja jaraknya ratusan kilometer dari Mekkah. Ibukota Riyadh malah berjarak lebih dari seribu kilometer.

Salah satu tempat ‘penuh berkah’ tersebut adalah kota Jeddah :). Berjarak hanya sekitar 70 km dari Rumah Tuhan.

Cukup dalam tempo sejam sejak mobil meninggalkan parkiran gedung apartemen, kami sudah bisa berdiri berhadapan langsung dengan bangunan hitam yang berdiri tegak di tengah-tengah Masjidil Haram. Itu sudah termasuk cari tempat parkir dan berjalan kaki dari basement mal masuk ke dalam masjid.

saat ka'bah kerja di arab
Gambar : sinertour.co.id

***

Itu baru soal jarak. Berapa biaya yang harus dikeluarkan para jemaah umrah asal tanah air? Minimal belasan juta. Bahkan banyak yang di atas 20 juta rupiah.

Kalau naik mobil kan tetap harus bayar bensin. Seorang kenalan dari Doha pernah berkata, “Doha enaaakkk. Bensinnya cuma 2500 perak per liter.” Hmm…2500, ya? Kalau 1000 perak per liter gimana? Hehehe. Kalau di Indonesia premium, tuh. Salah! Di Indonesia minimal 10 ribuan (harga per 2015). Karena bensin yang dijual umum di kota Jeddah levelnya ‘pertamax’ semua ;).

Ibu saya saat umrah kemarin sempat berkata, “Aduh, penuh juga, ya. Kasihan itu anak-anakmu ya kalau dibawa umrah.”

Selain jarak dan biaya, kami, para pemukim Jeddah, juga beruntung soal ‘waktu’ dan frekuensi. Kami punya pilihan untuk ziarah ke tanah suci di saat-saat lengang. Lho, ada, ya? Kalau masih bingung berarti belum baca buku “Bunda of Arabia.” Beli, gih :P.

Visa umrah ditutup oleh pemerintah setelah idul fitri. Persiapan menyambut kedatangan jemaah haji dari seluruh penjuru dunia. Kami akan menikmati waktu sekitar 2 minggu untuk mengunjungi Mekkah dan Madinah yang masih terbilang sepi. Berapa orang sih yang diberikan rezeki merasakan tawaf 10 menit saja?

Begitu musim haji berlalu, visa umrah kembali ditutup. Waktu berleha-leha lebih panjang. Bisa sekitar 2 bulan. Saat inilah biasanya, kiswah penutuh Ka’bah diganti. Beberapa tempat dalam masjid ditutup untuk renovasi.

***

Saat kerja di Arab, bagaimana dengan naik haji?

Sewaktu pulang liburan kemarin, teman saya mengeluh. “Gila lu, sekarang ngantrinya bisa 7 tahun. Ampun, deh. Gue masih lagi nabung nih buat bayar uang mukanya. Kalau uang muka sudah lunas, baru bisa masuk antrian.”

“Berapa uang mukanya?”

“25 an sekarang. Kalau berdua suami 50 jadinya. Ya tapi kan biaya lain-lain juga masih banyak.”

“ONH plus aja.”

“Lu kira berape? ONH plus yang sodara gue aja bisa 80 jutaan. Itu ternyata bukan yang mewah-mewah amat. Kalau berdua 160 juta, dong.”

“Ooohhh…”

“Makanya beruntung lu, gak banyak cing cong tau-tau udah hajian aja. Selamat ya, say.”

Tepat sekali. Bahkan setelah hari raya idul fitri berlalu pun, saya tidak menyangka akan mendapat kesempatan naik haji. Bukannya keinginan tidak ada. Tapi pertimbangannya cukup banyak mengingat anak bungsu saya usianya belum 2 tahun.

Kerja di Arab Saat Ka'bah berjarak 1 jam saja
Kompleks jemaah haji di Mina

Kami mendaftar sebulan sebelum periode wukuf. Biayanya hanya belasan juta rupiah. Mendaftar di hamla lokal sini. Bisa lebih murah kalau mau. Tapi karena kami memboyong si kecil, kami berusaha memilih biro haji yang nyaman dan tidak terlalu mahal. Yang lebih mahal juga banyak soalnya.

Itu baru soal biaya. Di tahun yang sama, ada 2 kerabat suami yang juga melaksanakan ibadah haji. Keduanya melalui program haji reguler. Mirisnya mendengar fasilitas yang mereka dapatkan :(.

Jatah makan yang pas-pasan dengan lauk super sederhana. Pembagian makanan dengan sistem antrean. Tidur tanpa alas kasur, boro-boro ada selimut, bantal saja tidak ada. Tenda di Mina sangat sesak, sehingga untuk tidur pun tak mungkin meluruskan kaki. Kamar mandi sangat terbatas. Bahkan Tante mengeluh, ada jemaah yang nekat membuang air di tempat wudhu.

Perjalanan untuk melontar jumrah ditempuh dengan jalan kaki pulang pergi, full 3 hari. Bahkan 4 hari untuk yang mengambil nafar tsani.

Berhaji dengan hamla lokal Arab? Makanannya berlimpah ruah. Bahkan seringnya makanan diantar ke dalam tenda masing-masing. Tak perlu repot mengantre, keluar tenda saja tidak perlu. Hampir tiap saat pula, meja panjang di selasar depan tak pernah kosong oleh makanan. Minuman kaleng tak pernah kosong dalam lemari pendingin. Cemilan disuplai tiap hari, pagi-siang-sore.

Kami tidur menggunakan dipan. Hamla saya menggunakan tempat tidur tingkat. Ada kasur, bantal, lengkap dengan selimut. Satu orang ya satu tempat tidur :). Di tengah-tengah tiap tenda ada ruangan cukup luas untuk makan bersama atau digunakan sebagai tempat bermain untuk anak-anak.

Kamar mandinya cukup memadai. Bahkan, ada petugas yang membersihkannya tiap hari. Jarang banget mesti antre.

Melontar jumrah? Pulang pergi naik kereta. Full AC. Dimana lokasi tenda hamla kami di Mina sangat dekat dengan stasiun kereta. Masya Allah, hingga detik ini rasanya tak pernah akan cukup rasa syukur yang sanggup terucap untuk pengalaman haji via Jeddah ini.

Saat Ka'bah
Padang Arafah

***

Tentu saja, hidup di Jeddah juga banyak ‘tantangan’nya. Tapi namanya manusia. Tempat salah dan lupa. Seringnya kita terlalu sibuk mencari-cari yang tidak ada.

Mengeluh soal dikekang lah, soal sekolah anak lah, soal jauh dari orang tua lah, mengeluh soal keterbatasan soal menyetir (kayak situ bisa nyetir aje hahaha). Sama, saya pun kadang tak lepas dari pikiran-pikiran seperti itu.

Saya rasanya ingin terbang ketika akhirnya ada kesempatan untuk tinggal di salah satu wilayah yang saya impi-impikan. Saya berdiri di barisan paling depan untuk menyemangati kala suami saya menunjukkan keraguan untuk pindah dari sini.

Lucunya, ketika beberapa hari sebelum benar-benar akan hengkang suami berkata, “Nih, tiket tanggal segini. Mulai packing-packing, gih.”

Tanggapan saya tak lain dan tak bukan adalah…mewek! Hahaha. Ya ampun, saya jauh lebih cengeng daripada yang saya kira.

Begitulah, “You don’t know what you’ve got until it’s gone.”

Siapa bilang bersabar dan bersyukur itu mudah, sih? Tapi untuk rasa syukur yang harganya memang mahal itu, Allah sudah menjanjikan ganjaran yang tidak sedikit :

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”(QS. 14:7)

Saya terjebak dalam perasaan senang luar biasa dan sedih sekaligus. Maka, daripada nangis-nangis gak jelas, mari kita ikat kenangannya dengan tulisan :).

Berterima kasih untuk segala hal yang sudah berlalu. Sembari berharap keberkahan yang sama di tempat baru nanti. Walaupun mungkin dalam bentuk yang berbeda.

Can’t thank God enough for this :). How can I not Love Jeddah? <3.

(Catatan lama yang ditulis di Mushrifah-Jeddah, di penghujung Januari 2013 silam)

***