Biografi Chairil Anwar yang ditulis dalam sebuah buku terbitan Tempo.
Judul Buku :
Chairil Anwar, Bagimu Negeri Menyediakan Api
Chairil Anwar, bener-bener cerminan seorang ‘bad boy’ di masanya. Something that most people had already known? Hehehe.
Saya cengengesan begitu tahu latar belakang istilah “Bung, Ayo Bung” yang dilontarkan Chairil saat ada teman yang bertanya jargon yang pas untuk poster penyemangat perjuangan yang memasang foto tokoh-tokoh pergerakan.
Halamak 🙈🙈🙈😜😅.
Penggalan puisinya masih sering dikutip di mana-mana sampai sekarang, dua diantaranya : “Sekali berarti, sudah itu mati” dan “Nasib adalah kesunyian masing-masing”.
Buku ini salah satu seri Buku Tempo. Sebelumnya saya sudah pernah baca lengkap yang 4 serangkai Bapak Bangsa (Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka). Yang 4 ini bagus-bagus, euy.
Kalok wartawan memang punya cita rasa diksi yang agak beda hehehe. Gak terlalu banyak kata meliuk-liuk tapi enak banget dibacanya ^_^.
Tapi yang seri Chairil Anwar ini agak beda dengan yang empat tadi. Mungkin karena kisah hidup Chairil yang tidak seutuh keempat tokoh itu. Jadi isinya melompat-lompat membahas narasumber cerita yang berganti-ganti dengan cepat.
Kurang mengalir jadinya. Jadi kayak ngumpulin keterangan dari sana sini, comot dari berbagai sumber yang kisahnya terlalu sepotong-sepotong.
Tetap menarik sih buat tahu biografi penyair pelopor Angkatan 45 ini (y).
Ternyata, Chairil Anwar berasal dari keluarga terpandang. Beliau juga keponakan dari Si Bung Kecil, Sutan Sjahrir.
Syair-syairnya bukan hanya tentang pergolakan di masa pendudukan Jepang dan agresi militer Belanda (1947/48). Sebagian besar masyarakat mungkin tahunya Karawang Bekasi, Diponegoro, dan Aku.
Tapi ternyata Chairil juga punya puisi-puisi yang berkisah tentang cinta-cintaan. Asyik-asyik puisinya ya ampun, bukan yang model jadul-jadul begitu. Kurasa generasi sekarang pun bisa dibikin baper sama puisi-puisi beliau ;).
Inspirasi dari kemampuan Chairil Anwar merangkai kata yang lumayan ‘eksentrik’ di masanya ini yang menjadi salah satu penyebab utama lahirnya Angkatan 45, melepaskan diri dari era sebelumnya, Angkatan Pujangga Baru.
Di buku ini ada beberapa puisi-puisi beliau selain yang 3 judul yang sudah terkenal itu :D. Nanti baca sendiri aja, yes? 😉
Beberapa kali penyair ini juga mengalami masalah percintaan. Ish, yang kek begini pasti naksirnya banyak cewe dah hahahaha :p. Sebagian diabadikan dalam puisi.
Tipe-tipenya gitu kan, kesannya cuek, acak-acakan, pandai menulis puisi (pandai bermain kata), perokok berat pula. Ck ck ck bener-bener daku kagak pernah dah naksir sama yang model begini :p.
Dulu kusebel banget sama tokoh Arya Dwipangga (dan Nari Ratih!) di Tutur Tinurlar. Kalian udah lahir belom pas era sandiwara radio gini-gini, Gaeesss? 😝😝
Tidak habis pikir sama ciwi-ciwi yang bisa naksir lakik gara-gara jago bikin puisi doang zzzzz -_-. Sorry, no offense :p.
Salah satu kisah patah hati Chairil yang kandas gara-gara tiada restu dari orang tua sang kekasih muncul dalam salah satu puisinya, “Yang Terampas dan Yang Putus”. Judulnya aja udah sedih begitu ya :(.
Chairil ternyata pernah menikah (walau kemudian bercerai) dan punya anak perempuan.
Beliau meninggal di usia yang sangat belia, 27 tahun :(. Komplikasi dari banyak penyakit akibat hidup yang tidak teratur, keuangan juga selalu bermasalah karena beliau tidak suka kerja kantoran yang mengikat, dan tentunya … perokok kelas berat.
Andai hidup di masa sekarang, beliau mungkin sukses jadi penulis lepas di berbagai situs online :D. Atau punya blog sendiri ato bikin fanpage atau posting puisi di IG terus jadi endorser? Hihihi.
Hayoooo, yang suka menuduh era digital ini banyakan sisi negatifnya? :p.
Yang menarik, Chairil berpendapat menulis puisi itu tidak boleh berdasarkan mood semata. Harus ada kerjasama pikiran yang logis dst dst. Jadi puisi pun juga berproses, beliau suka mengedit puisi-puisinya jadi bukan yang sekali jadi gitu.
Saya bingung kok masih ada saja yang memperdebatkan peranan beliau dalam masa kemerdekaan? Ayolah, perjuangan tidak harus di jalur pedang dan diplomasi. Kontribusi beliau pun tidak boleh dipinggirkan hanya karena dianggap “nulis doang” :(.
Overall, 3 bintang (out of 5) dari saya untuk buku ini. Still worth a try, kok (y). Bukunya tidak tebal, tergolong bacaan ringan.
Selamat membaca 😊.