Mama mencubit lengan saya keras-keras di atas becak karena saya berteriak “Cina Loleeeeeeng…” saat melewati salah satu rumah yang penghuninya beretnis Tionghoa.
Mama membentak, “Ndak boleh teriaki orang begitu. Ana’ dara’ dekke lowang sumpanna.” (Enggak boleh berteriak begitu. Anak gadis kok lebar bener mulutnya).
“Cina Loleng” adalah makian khas di Sulawesi Selatan yang sudah biasa kami lontarkan terhadap orang-orang beretnis Tionghoa yang hidup di sekitar kami.
Marahkah mereka? Enggak bakal berani. Mereka jumlahnya sedikit. Walau sebagian tinggal di rumah mewah, percayalah, sekeras apa pun kami meneriaki mereka, mereka enggak bakal melawan dalam bentuk apa pun.
Saya jadi ingat ini saat membaca komentar salah satu akun di wallnya Mas Ainun Najib. Seorang perempuan beretnis Tionghoa yang berkisah soal “Unspoken Rules” yang diterimanya sejak kecil. Jadi malu bacanya :(.
Bahwa orang tuanya mengajarkan dia untuk tidak melawan terhadap apa pun bentuk penghinaan yang diterima. Jika dia bertanya mengapa saat Natal tidak satu pun yang bertamu kecuali satu keluarga sementara saat lebaran mereka harus ngider-ngider keliling bahkan harus ikut menyumbang saat ada acara-acara keagamaan Islam.
Untuk etnis Tionghoa dari keluarga berada, orang tua mereka banyak yang mengirim mereka ke luar negeri. Untuk mempersiapkan masa-depan-plan-B, menjadi global citizen. Agar kelak, mereka bisa memilih tinggal di tempat lain di luar Indonesia.
Banyak juga yang memilih jalur pengusaha. Pantas ya, tidak banyak teman saya yang beretnis Tionghoa yang bertahan di jalur non-bisnis. Tidak banyak tapi ada . Kalau pun ada ujung-ujungnya pada ke luar negeri.
Saya mengumpulkan memori masa kecil saya. Sebenarnya etos kerja dan kedisiplinan etnis Tionghoa mungkin terbentuk dari keterbatasan dari lingkungan yang mereka terima.
Walau tidak tertulis jelas, ada aturan buat mereka, “Bahwa kita harus bekerja lebih keras, lebih giat, lebih rajin, dan lebih segala-galanya untuk menjamin hidup yang lebih baik. That’s the only way to live ‘normal’ in this country.”
Toko-toko Cina di sekitar rumah saya memang buka lebih pagi. Mereka jarang mempekerjakan pegawai. Ance’ dan Aci’ nya sendiri yang jaga toko.
Di depan kios Bapak di Penampungan Pasar Sentral dulu ada penjual kain yang namanya Sayong. Sempat beberapa hari saat libur sekolah saya sering diajak ke pasar. Saya sih gengsi banget hahahaha.
Ketakutan saya yang terbesar kalau ke pasar itu, ketemu teman sekolah saya yang rata-rata berasal dari keluarga menengah ke atas. Tapi karena diiming-imingi jajanan ini-itu makanya saya ikut saja naik becak bersama Mama menuju kios. Urusan perut bisa meruntuhkan gengsi .
Sayong tidak punya pegawai. Tapi selalu buka lebih pagi karena Bapak sering nitip kunci ke dia. Dengan lincah dia membongkar gulungan kain, sangat fasih menerangkan seluruh jenis kain, lihai membujuk pembeli.
Sesekali menggoda ibu-ibu dengan lontaran, “Ibu Haji coco’ sekali mi ini. Ini kainnya lembut, tida’ gampang keringat gang… Lihatki’ motifnya. Canti’ betul.”
Makan siang pun dese bawa dari rumah. Hemat sekali. Jarang jajan di pasar walau kiosnya termasuk yang lumayan besar dan barang jualannya berkualitas bagus.
Sama seperti Aci’ yang berjualan di Rumah Makan Pelangi di daerah Jakarta Pusat. Teman-teman dari Makassar pernah ke sini gak? Enak betul gang itu Mie Titi’ sama Nasgor Merahnya.
Di suatu malam, pengunjung tiba-tiba bersuit melihat Aci’ melintas dekat kami berpakaian pesta kayaknya mau kondangan. “Cantiknya gang.” Puji kakak saya. Aci’ melet-melet.
Aci’ memang kece. Padahal usianya mungkin sudah mendekat kepala 4 saat itu. Tapi sehari-harinya, walau berstatus pemilik, saya sering melihat Aci’ berpakaian kaos oblong + celana selutut ikut motong-motongin daging di dapur luar sambil melayani pembeli.
Cantik dan tajir tapi gesit bener si Aci’ mengaduk kuah coto sambil menghitung di kasir, sesekali menyiram kuah mie ke dalam mangkok sambil berteriak, “Itu tauwa yang di meja ujung lamanya mo. Cepakko layani!”
Orang Cina ini etos kerjanya memang luar biasa. Tapi tak jarang kita menganggap kesuksesan mereka tak lebih dari buah konspirasi . Gagal kita meneropong lebih dekat betapa ketatnya mereka dididik sejak kecil yang berbuah kedisiplinan dan mental kerja keras yang mumpuni .
Kita dilanda ketakutan yang mungkin berasal dari ketidakberdayaan kita sehingga lebih nyaman mengarahkan telunjuk kepada orang lain. Kita ini hanya korban. Namanya korban ya kita bisa apa. Pokoknya pasti orang lain yang salah.
Mungkin sama seperti kejadian di wilayah Sumatera saat banyak kebun-kebun sawit berdiri dan orang lokal ogah menjadi buruh kebun. Datanglah pendatang dari Jawa yang hendak mengadu nasib di sana. Membangun mimpi dari kebun sawit dengan kerja keras.
Sebagian dari mereka sukses dan mulai menikmati hasil kerja, punya motor sendiri misalnya. Akhirnya bisa membangun rumah. Pelan-pelan jadi banyak, orang lokal pun mendadak iri. Rasa iri menjelma menjadi ketakutan dan seterusnya.
Di Kalimantan juga pernah ada kasus yang sama. Orang Madura yang terkenal gesit dan lincah berbisnis pelan-pelan membangun komunitas di sana. Kecemburuan masyarakat lokal pun muncul. Cemburu berbuah ketakutan akan dominasi para pendatang.
Dan mungkin begitulah seterusnya isu diramu bercampur dengan isu yang lebih cetar misalnya … isu agama .
Jawa dan Madura di daerah asal mereka yang padat sudah terbiasa dengan kompetisi ketat sejak kecil. Saat merantau, disiplin kompetisi inilah yang mereka pegang untuk bisa bertahan di daerah rantau.
Ini bukan hanya perkara lokal. Secara internasional pun begitu.
Kita, orang Asia, berbondong-bondong meretas jalan ke negara-negara maju di Eropa-Kanada-Amerika Serikat-dan Australia. Awalnya mungkin mereka hanya memandang kita warga dunia kelas 2.
Tapi anak-anak kita yang lahir dan besar di negeri mereka mewarisi kesantunan dan kedisplinan khas negara maju berpadu dengan semangat kompetisi dan didika khas Tiger Mom (hahaha) ala negara Asia. Bayangkan para homegrown asal Asia di Eropa-USA dll ini.
Awalnya mungkin banyak orang tua pendatang yang bekerja asal-asalan atau pekerjaan kasar yang tidak sudi dilakukan oleh orang lokal. Tapi anak-anak mereka kelak lebih sukses dan begitu seterusnya.
Tekanan ini yang membuat akhirnya negara maju melakukan pembatasan terhadap para pendatang . Lagi-lagi atas nama ketakutan .
Apalagi sekarang-sekarang ini, situasi ekonomi secara global lagi surut. Timur tengah gelisah dengan harga minyak yang stagnan. Eropa tak kunjung keluar dari krisis besarnya.
Brexit adalah perwujudan nyata dari ketakutan ini. Sebelumnya sudah dipicu oleh beberapa kali kejadian di Paris, ledakan bom di Brussel, hampir bersamaan dengan meningkatnya terjangan dari pengungsi Suriah yang berusaha menembus Eropa Barat .
Cina mengendorkan industri karena mereka sudah bertahun-tahun mencapai pertumbuhan ekonomi sangat tinggi. Pasti ada titik baliknya kan?
Trump memanfaatkan situasi ini dengan mengeksploitasi ketakutan warganya. Shame on him.
But shame on us too, karena di situasi politik lokal pun, ketakutan model begini disetir dengan gas penuh oleh segelintir elit yang hendak memuncaki kekuasaan dengan jalan pintas .
We are scared. Kita panik. Duh, gimana ini. Dalam kepanikan ya muncullah penghiburan semacam, “Ini bukan salah kita. Ini salah mereka tauk. Kita ini hanya korban. Yuk kita eratkan tangan kita bersatu usir mereka.”
Siapa yang ingin diusir Trump? Pendatang? Pendatang dari mana? Tanah Amerika aslinya dihuni oleh Suku Indian. Kalian semua juga kalau dirunut-runut ya pendatang juga.
Sudah 2 minggu saya tinggal di Texas, yang mana sih penduduk asli? Sepanjang penglihatan mata saya, saban ke Walmart, probabilitas ketemu ras “orang bule” itu mungkin hanya 40%. 60% orang yang wara wiri di Walmart, yang menyetir di jalan itu ya orang India-Mexico-Cina-Arab-Afrika.
Beda sekali dengan Irlandia. Texas, khususnya sekitaran Dallas ini, benar-benar kumpulan dari berbagai ras di dunia. 90% pegawai yang wara wiri di apartemen ini orang Afrika atau orang Meksiko. Saya sudah 2 bulanan belajar bahasa Spanyol di Duolingo walau gak rutin-rutin amat hihihi. Kemampuan berbahasa Spanyol saya secara teori sudah 35% .
Kita menyayangkan sikap Trump tapi tanpa sadar menerapkan hal sama di lingkungan sendiri .
Apakah kita pada dasarnya diciptakan rasis? Tidak lah. Fitrah perbedaan itu bukan kuasa manusia . Di Irlandia maupun di Texas, anak-anak saya bersekolah di lingkungan yang sangat heterogen dalam banyak hal.
Saya bisa melihat mereka mendeskripsikan teman-temannya tidak pernah berdasarkan ciri fisik . Sepertinya mereka bahkan tidak sadar. Sampai-sampai anak saya pernah bilang ke saya, “Wow Mom, you are so great. How do you know that ABC is Indian? It’s true. I asked him and he said yes. How do you know, Mom?”
Ya iyalah gue tauk hahahaha. Pan kelihatan dari logat emaknya plus ciri fisiknya . But kids never know that until we teach them to .
Semua itu dimulai dari ketakutan. Analogi paling pas mungkin ada di film Star Wars. Ini film popular jadi gampang di googling ya walau saya sama sekali bukan fansnya Star Wars .
Tapi terus terang saya menganggap Yoda rese’ karena sejak Anakin kecil, Yoda sudah ogah-ogahan mengangkat Anakin menjadi Jedi. Simply because I thought that Hayden Christensen itu kan super cute pakai banget hahahaha *ngakakCentil*.
Sejak Anakin kecil, Yoda sudah melihat potensi Anakin yang kurang cocok untuk menjadi Jedi.
Yoda: How feel you?
Anakin: Cold, sir.
Yoda: Afraid are you?
Anakin: No, sir.
Yoda: See through you we can.
Mace Windu: Be mindful of your feelings.
Ki-Adi-Mundi: Your thoughts dwell on your mother.
Anakin: I miss her.
Yoda: Afraid to lose her I think, hmm?
Anakin: What has that got to do with anything?
Yoda: Everything! Fear is the path to the dark side. Fear leads to anger. Anger leads to hate. Hate leads to suffering. I sense much fear in you.
Buat kaum muslim sendiri, ketakutan ini sudah disebut pula dalam ayat-ayat suci.
Saya jadi ingat salah satu penggalan tulisan Pak Hasanuddin Abdurakhman,
“Kau hanya perlu menghidupkan pesan-pesan intinya. “Wa man tabi’a hudayya falaa khaufun ‘alaihim walaahum yahzanuun.” Siapa yang mengikuti petunjuk, maka tak ada ketakutan padanya, tidak pula ada kesedihan.”
Sayangnya, justru kalimat yang sama, “Wa man tabi’a hudayya falaa khaufun ‘alaihim walaahum yahzanuun” juga digunakan untuk menyulut semangat para so called “mujahid” di kalangan Islam-ekstrmis. Dipakai untuk membakar nyali mereka menebar kebencian kepada kaum non muslim salah satunya dengan cara meledakkan bom bunuh diri .
Refleksi ketakutan justru dibalik untuk membuat orang tidak takut untuk menyakiti, atas nama Tuhan katanya .
Tapi kutipan tulisan Kang Hasan itu sebenarnya diawali dengan,
“Janganlah engkau mencoba membuktikan bahwa Quran itu pembawa damai dengan membunuhi orang-orang yang tidak pecaya padanya. Karena engkau sedang membuktikan sebaliknya.
Engkau tak perlu mencari bukti-bukti, tapi kau harus membuatnya. Engkaulah bukti itu. Engkaulah yang membuktikan. Seperti sains tadi, kau tak perlu menemukan kebenaran mutlak dalam setiap huruf ayat Quran. ”
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, semoga kita semua bisa mengontrol diri dari ketakutan-ketakutan seperti ini ya . Mengendalikan bukan menghilangkan. Ya kita kan manusia biasa.
Siapa bilang saya tidak takut dengan kondisi di sini? Takut juga huhuhu. But I won’t let it consume me, insya Allah. Saya akan berusaha keras untuk tidak menjadikan ketakutan ini menjadi rasa marah. Seperti pesan Yoda tadi.
Mungkin ini saatnya menyadari betapa tidak nyamannya kehilangan privilege hanya karena menjadi minoritas. Then, don’t do that to others .
People with bad behaviour only exists to remind us to NOT to do the same . Jangan lakukan hal yang kita tidak ingin orang lain lakukan terhadap kita.
Have a nice day, teman-teman semua .