If a picture paints a thousand words
Then why can’t I paint you?
The words will never show
The you I’ve come to know
Sebait lirik pembuka dari lagu berjudul “IF”.
Lagu “If’ sebenarnya gombalan-gombalan klasik gitu-gitulah . Coba saja cari lirik lengkapnya via Google.
Tapi bagian “A picture paints a thousand words” adalah bagian penting untuk memahami mengapa setiap berita kudu banget atuhlah pakai foto-foto endebre-endebre walau HOAX sekali pun!
Yoih teman-teman, mau bahas hoaks lagi nih. Jangan capek yaaaaa. Harus rajin karena produsen hoax ini, makin ke sini makin giat aja kerjanya -___-.
Foto memang berefek cetaaaar. Seringnya, sebuah foto yang punya “pesan kuat” tanpa caption satu huruf pun sudah bisa menyulut respons bertubi-tubi. Respons yang kini bisa menjelma menjadi jumlah komentar + like + share.
Sialnya, yang begini-begini, di era digital yang makin berlari, bisa berkembang menjadi duit. Sementara ada yang memang dengan khusyuk mengetik amin plus share dengan niat “membela agama” apalah-apalah, si pembuat hoax cengar-cengir menikmati komentar + like + share yang mengalir deras.
Yang selalu ramai, misalnya kasus Rohingya. Ini bukan pertama kalinya Rohingya ramai. Sudah kesekian kalinya. Dan seberapa gencar pun kita melawan hoax, saya takjub foto-fotonya masih yang itu-itu juga yang dipakai.
Lebih takjub lagi, masih banyak (bahkan mungkin lebih banyak lagi) yang tersulut. Jangan disalahartikan bahwa saya dan teman-teman yang kayaknya reweeeeel banget urusan beginian hendak menafikan masalah Rohingya.
Tapi gencar dan viralnya foto-foto tipu muslihat nan “busuk” itu yang justru memancing amarah yang salah arah!
Coba yaaaaa, sekumpulan biksu yang lagi bantuin korban bencana alam di mana, masa ujug-ujug dibilang “membantai” kaum muslim. Waduh, terbayang enggak tuh beratnya fitnah yang kalian share, teman-teman .
Versi lokal tidak kalah serunya. Beberapa bulan lalu ada foto nenek-nenek yang sudah sangat berumur dan badannya kurus banget lagi duduk di samping jualan sayurnya. Penampakan nenek sangat memprihatinkan.
Diunggahlah foto itu, mungkin oleh orang yang kebetulan lewat dan melihat si Nenek kok ya nelangsa banget duduknya sambil jualan pula. Foto pun viral dengan caption yang tidak kalah ngeheknya, “Ke mana pemerintah kita?”
Ada kenalan si keluarga Nenek yang mengenali foto itu dan melaporkan ke keluarganya. Ternyata si Nenek sama sekali bukan orang yang tidak mampu. Beliau punya anak dan menantu tapi memilih tinggal di rumah sendiri. Rumahnya juga bukan rumah biasa-biasa. Lumayan banget kondisinya secara ekonomi.
Itu anak dan menantunya sampai sebal banget dan meminta foto tersebut tidak disebarkan lagi. Para kerabat dekat yang mengenal baik keluarga ini juga ikut memberikan klarifikasi.
Keluarga baik-baik kalian ganggu ketenangannya walau pakai alasan, “Kan tidak tahu. Kirain anu.” Ya makanya jangan asal shareeeeeee *gemes*.
Hoax urusan politik lokal ya apalagi zzzzz -_-. Dah kehabisan kata-kata, deh.
Balik lagi ke hoax isu internesyenel tapi citarasa lokal.
Familiar tidak dengan foto demo di Big Ben-London. Sebuah foto yang memotret Big Ben dari ketinggian di mana jalanan yang berada di sisi kanan Big Ben penuh oleh lautan manusia.
Foto tersebut adalah foto protes massa di tahun 2003 atas serangan terhadap Irak. Jumlah orang yang berdemo di sekitaran Big Ben saat itu diperkirakan lebih dari 10 juta orang!
Foto demo Big Ben yang epik ini sekaligus mementahkan hoax si Abang Horas yang menuduh dunia tidak pernah peduli dengan kejadian/perang/penderitaan yang terjadi di negara mayoritas muslim. Sudah pernah saya tulis ya di sini –> “Katanya, Dunia Tidak Peduli?”
Foto tersebut lagi-lagi dipakai sebagai hoax juga dengan tuduhan yang berkebalikan. Katanya, “Terjadi demo besar-besaran protes penyerangan Perancis terhadap Suriah tapi media bungkam!”
Yoih, menuduhnya suka-suka mereka saja. Kadang media-media mainstream yang dituduh bungkam. Kadang masyarakatnya yang dituduh tidak punya empati. Suka enggak sinkron emang *ngelapKeringat*.
Yang bikin saya takjub. Foto hoax demo Big Ben ini malah muncul di timeline teman-teman saya dari golongan “anak sekolahan”. Yang tingkat pendidikannya satu atau dua level di atas saya. Terkenal cerdas pula secara akademis.
Itulah yang bikin saya makin keliyengan. Betapa memang hoax ini tidak kenal SARAP (suku agama ras dan IPK hahahaha). Emosi kita yang dipermainkannya .
Kita kan suka bertanya-tanya ya, “Ya udah sih, kalau tidak ketemu foto beneran atau sudah tahu fotonya hoax, mbok ya share info atau berita apa adanya saja. Gak usah pakai foto-fotoan.”
Ilustrasinya mungkin begini.
Kita pasang berita, “Ada penganiayaan terhadap etnis minoritas Rohingya di Myanmar.” Rohingnya siapa sih? Minimal dari sini orang akan googling dulu lah. Yang tidak punya banyak waktu dan tidak terpancing ya lewat saja.
Kurang efeknya. Diubah dikit, “Ada penganiayaan terhadap umat muslim oleh umat Budha di Myanmar.” Ini sudah mulai bergejolak. “Wah, umat muslim ditindas!!!!” Mulai dah kalap .
Tapi tentunya sekadar barisan kata-kata masih memancing tanya untuk beberapa yang kadar emosinya masih lebih “stabil”, “Dianiaya macam apa sih? Korbannya berapa dan bagaimana kondisinya?”
Kalau mereka memang kepo ya mulailah mereka mencari-cari beritanya. Yang “pemalas” mah ya langsung lewat saja ogah mencari tahu .
Makanyaaaaaa, beritanya harus mampu membakar amarah dalam hitungan detik. Tanpa perlu googling, tanpa perlu banyak tanya-tanya. Apalagi ini era serba instan. Orang mah maunya serba cepat saji. Termasuk berita.
Gimana caranya memengaruhi orang dengan caption seadanya tapi yang melihat bisa langsung murka sambil memaki di kolom komentar plus pencet tombol share sambil memengaruhi orang lain di timelinenya untuk juga marah-marah?
YA PAKAI FOTOOOOOOOOOO!
Foto mah, digoogling sebentar juga dapat. Resize kalau perlu biar gampang diupload. Kasih kata-kata seadanya. Satu kalimat juga cukup. Malah ada yang cuma ditambahi satu kata, “Lawan!”
Paham kan sekarang makna, “A picture paints a thousand words” .
Kabar baiknya, foto gampang didapatkan maka sebaliknya gampang pula ditelusuri jejaknya. Salah satu cara tercepat adalah dengan melakukan “drag and drop” terhadap foto tersebut ke dalam kolom pencarian di situs “Google Images”.
Mesin pencari Google makin ke sini sudah makin canggih. Kalau pun tidak ketemu foto yang persis, akan keluar foto-foto sejenis yang bisa dikenali dari latar dan kesamaan “suasana” dll.
Hasil pencarian juga akan memberikan kita informasi di mana foto aslinya dimuat dan terkait peristiwa apa. Hati-hati kadang situs hoaxnya keluar duluan hahahaha. Pokoknya susuri dengan teliti.
Efek dari sharing hoax ini tidak kecil. Iya sih, kalian bisa saja berpikir kalau salah kan tinggal hapus. Masalahnya, kita tidak pernah tahu ke mana berita tersebut akan bermuara. Sekali dishare di media sosial yang berbasis internet, viralnya akan susah dikontrol .
Ada fakta nyata bahwa bad news akan menyebar jauuuuuh lebih cepat daripada good news. Tidak heran, klarifikasi biasaya kalah tenar dibanding hoaxnya .
Sanggup kalian lacak satu-satu orang yang sudah terpengaruh oleh kebencian yang kalian share? Memang bisa berlindung di balik alasan macam-macam. Alasan agama lah yang paling klasik .
Tapi apa mungkin kita memimpikan kebaikan atas dasar kebencian? Bisakah kita mendirikan bangunan yang kuat dari batu bata murahan, semen yang sudah dimanipulasi bahannya dengan air, bahkan cor-corannya sudah diganti dengan gelas aqua plastik?
Kalian pasti tahulah jawabannya .
***