by : Jihan Davincka
***
Terhenti di sudut jalan Burrenstrasse, mataku berbinar senang, “Hanami …”
“Iya, bunga Sakura.”
Aku berdiri di bawah rimbunan kembang merah muda yang memenuhi hampir semua pucuk di ranting pohon itu. Kukeluarkan kamera saku, “Cepatlah. Foto aku.”
“Kau akan terlihat aneh. Jangan lupa, kita di Bern. Ini Swiss. Bukan Jepang!”
Aku mengibaskan tanganku tidak peduli, “Ayolah … ”
Kita terus berbicara tentang bunga Sakura walau pohonnya sudah tertinggal jauh oleh langkah-langkah kita. Katamu, “Di Eropa, tak sulit menemukan bunga Sakura. Tapi rasanya biasa saja.”
Aku mengangguk, “Iya. Di Jepang, kalau sakura bermekaran, sudah kayak apa hebohnya turis.”
“Lucu, ya.”
“Tidak juga. Sakura bukan hal yang istimewa di Eropa. Lebih terkenal Tulip mungkin.”
“Tulip juga banyak di Istanbul.”
“Sudahlah, menurutku mau tumbuh di mana pun, Sakura tetap cantik kan?”
“Itulah. Menurutku orang-orang di sini kurang menghargai bunga Sakura.”
Aku mengernyitkan kening, ” Apa harus sama seperti Jepang? Jadi tempat wisata? Swiss punya banyak ciri khas yang lain. Tak harus tentang Sakura.”
“Di sini banyak gunung es. Di Jepang juga dan di sana gunung es pun dihargai sebagai tempat wisata.”
Aku tetap ngotot, “Swiss punya banyak danau, beda dengan Jepang.”
“Tapi kan … ”
“Ya ampun, kenapa jadi sensitif sekali dengan bunga Sakura? Santai sajalah. Apa kau ingin kupotret juga dengan pohon Sakura?”
“Bukan begitu …”
Aku tertawa menggoda, “Kenapa laki-laki takut sekali dengan bunga?”
Tak hanya tentang Sakura, kita kembali ribut soal burung Flamingo. Di suatu akhir pekan kita ke Tierpark, kebun binatang paling besar di Bern. Bersama kerumunan orang banyak yang tumpah ruah di sana. Ingin ikut merayakan teriknya matahari yang menandai datangnya musim semi.
“Wah, tempatnya gratis! Gratis! Gratis!” Aku memekik senang. Beberapa pandang mata langsung menatap ke arahku.
Kau berbisik, “Jangan norak. Gratis itu juga bahasa Jerman. Artinya sama.”
Aku terkikik. Buru-buru menutup mulut dengan sebelah tangan. Pantas saja orang-orang melihat ke arahku. Berlebihan betul tingkahku tadi.
Setelah melihat hewan-hewan ternak seperti kelinci, hamster kecil, keledai, kuda, yang dirubung anak-anak, kita jalan lebih jauh ke dalam. Sedikit mendaki, tibalah di sebuah kolam kecil. Kawanan burung flamingo langsung menarik perhatianku.
“Cantik sekali.”
Kuserahkan kamera saku padamu. Aku mengambil pose tepat di samping burung-burung berkaki panjang yang berwarna merah jambu yang berkerumun di salah satu sudut kolam.
Di deretan kursi kayu yang berjajar di hadapan kolam, kita terduduk. Memuaskan diri memandangi sekelompok unggas yang paruhnya ternyata berwarna hitam walau dominasi merah muda memenuhi sekujur bulunya.
Aku tercenung, “Apa tidak kesepian? Hanya berputar-putar di kolam ini?”
“Kenapa harus sepi? Lihat, mereka berkelompok-kelompok.”
Kuedarkan pandangan. Benar juga, di beberapa sudut danau, burung-burung merah jambu ini berdiri bergerombol. Tiap kawanan mungkin berjumlah belasan.
Tetap terpikir, “Apa mereka tidak ingin terbang melihat dunia luas?”
“Bagi mereka, tidak penting ada di mana. Asal selalu bersama orang-orang dekatnya. Dikelilingi oleh teman-teman dan mungkin…kekasihnya.”
Aku jadi ingin tertawa mendengar jawabanmu, “Kupikir mungkin mereka tidak bisa terbang. Kau sedang membahas apa, sih?”
Tapi kau tidak ikut tertawa. Malah menatapku bergeming, suaramu memelan, “Membahas tentang kita.”
Aku tidak siap dengan jawabanmu, “Tentang kita?”
“Sampai kapan kau mau begini? Terus-terusan meninggalkanku. Pulanglah. Ibuku sudah tanya-tanya terus.”
Aku makin tak siap, “Kita sudah kenal lama. Kau tahu ini pekerjaanku. Aku tidak mungkin pulang begitu saja. Kesempatanku di sini, bukan di sana.”
“Iya, sudah lama. 6 tahun. Apa kurang lama? Kalau hanya ingin melihat bunga Sakura, burung flamingo, aku pun sanggup membawamu nanti.”
Aku menggeleng cepat, “Kau seperti baru mengenalku. Kau tahu pekerjaan seperti ini sudah kutunggu-tunggu dari dulu.”
Tak ada respons. Aku memainkan kamera saku di tanganku. Kubuka-buka foto-foto hasil jalan-jalan beberapa hari terakhir ini. Layar kamera terasa macet. Jari-jariku berkeringat. Sebuah tanya memenuhi kepala, tak berani terlontar dari mulut, “Ada apa denganmu?”
Tahu-tahu kau kembali bersuara, “Jadi?”
“Apanya?”
“Pulanglah. Aku ingin … umm… Menetaplah bersamaku di Jakarta.”
Kamera sampai terjatuh dari tangan. Entah harus bahagia atau bagaimana. Kupikir ini kunjungan biasa. Memang, belum pernah selama ini kau sampai jauh-jauh datang menghampiri sejak aku pindah ke Eropa. Pekerjaan yang mengharuskanku sering-sering membenahi koper dan melancong ke banyak negara.
Dalam pesan singkatmu, kau bilang ingin bertemu saja. Kangen. Sudah setahun lebih aku tidak pulang. Sebelumnya, bisa 3x setahun aku menyempatkan pulang ke Jakarta. Akhir-akhir ini, jadwal traveling sehubungan tugas kantor begitu padat.
Kupungut kamera. Giliranku yang tidak bersuara. Suara-suara burung flamingo yang mendadak ribut bersahut-sahutan menyelamatkan keresahanku yang dipertajam lekatnya tatapanmu. Menuntut jawaban.
Perhatianmu teralih. Kuambil kesempatan, memecahkan percakapan yang buntu, “Wah, kenapa tuh? Mendadak berisik?”
Kau berdiri, melongokkan kepala. Mengalihkan pandangan ke tepian danau di seberang. “Oh, itu. Ada pengunjung yang melemparkan makanan.”
Aku berdiri, menunduk sambil mengibas celanaku yang sama sekali kutahu tidak kotor, “Sudah yuk, ayo ke tempat lain lagi.”
“Eh, tunggu …” Kau memanggilku yang sengaja melangkah cepat-cepat. Kuperlambat langkah biar segera tersusul.
Kau tersenyum kecil menengok kepadaku saat langkah kita telah sejajar, “Burung flamingo bisa terbang, kok.”
Aku mengerutkan kening sejenak. Membiarkanmu mempercepat langkah untuk kemudian mengejarmu kembali, “Oh kupikir tidak bisa. Ternyata bisa?”
“Iya, bisa. Tapi mereka memilih menetap di kolam.”
Hari itu, bunga Sakura bukan tujuan utama kita. Tier Park pun kita singgahi karena kebetulan salah naik tram. Aku ingin mengajakmu ke Zytglogge. Tempat yang pertama terpikir saat kau bertanya, “Apa tempat paling khas di Bern ini?”
Turun dari tram, kau langsung tahu harus ke mana. Kau jalan cepat-cepat, “Penasaran tentang jam besar yang semalam kulihat di situs tentang tempat ini.”
Aku berlari kecil mengimbangi, “Wah, kau sudah survey di internet, ya?”
Tak lama, kita berdua sudah bergabung bersama turis lain yang umumnya saat datang ke tempat ini pastilah berlama-lama di bawah sebuah bangunan jam besar yang menjadi semacam pintu gerbang di wilayah kota tua Zytglogge, Bern.
Kau nampak kecewa, “Ha? Cuma begini saja? Apa istimewanya?”
“Ini jam tertua di Swiss.”
“Tidak ada apa-apanya dibanding Big Ben.”
Aku menjawab panjang lebar, “Menara jam ini usianya jauh lebih tua daripada Big Ben. Soal megahnya mungkin kalah. Tapi sejarahnya lebih menarik. Modelnya juga klasik, tentu beda dengan Big Ben yang lebih modern.”
Dia tak menjawab. Kusentuh lengannya, “Kau tidak akan tahu megahnya Big Ben kalau kau tidak pernah melihat jam besar di Zytglogge ini bukan?”
Dia menggamit lenganku, “Tak sekalian kau datangi Timbuktu untuk memuaskan perbandinganmu terhadap banyak hal?”
Sontak kumenengok, nada suaramu agak tajam. Kau membalas tatapanku, terasa lebih sengit, “Apa belum cukup?”
“Apanya yang belum cukup?” Tak sadar kutarik lenganku darinya dengan cepat.
Suaramu melunak, “Sampai kapan? Kau tahu, aku tak selamanya bisa menunggu.”
Ah, soal itu lagi?
Tiba di apartemen setelah kuantar ke hotel tempatmu menginap, aku tercenung. Mengapa terasa mendadak? Ada sesuatukah? Sampai kau perlu jauh-jauh menghampiri ke Bern. Setelah agak lama aku tersenyum sendiri. Mungkin benar kau hanya kangen saja. Lama tak bertemu, kau terbawa suasana.
Besok … akan kuajak kau menjelajah di Bukit Gurten. Banyak tempat tracking yang seru di sekeliling perbukitan.
Benar saja, kau terlihat bersemangat. Kita tracking hampir 2 jam mengelilingi salah satu sisi bukit Gurten. Hingga lelah dan terduduk di salah satu sudut terbaik untuk sepuasnya memandang kota dari puncak tertinggi di Bern ini. Kukeluarkan bekal roti isi yang kupersiapkan dari apartemen.
“Kalau makan di kafe lumayan. Bawa bekal biar hemat.” Kusodorkan sebungkus kepadamu.
Hingga roti isi tinggal setengah di tangan masing-masing, kita asyik membahas letak-letak tempat yang sudah kita singgahi jika dilihat dari atas. “Itu yang garis coklat kayaknya Sungai Aare.”
Aku memicingkan mata, “Apa betul?”
“Nah, coba lihat, itu tuh jembatan layang di Burrenstrasse, dekat apartemenmu. Terus yang tinggi itu katedral yang depannya Tier Park. Mungkin yang gedung satunya lagi…”
Aku tidak terlalu menyimak. Diam-diam memandangimu dari samping. Soal beginian kau sangat ahli. Kemampuan visual yang sangat bagus. Membuatku nyaman ke mana-mana menemanimu. Padahal aku tak pandai mengenali jalan. Kurasa, kita memang cocok. Kira-kira, pembicaraan kemarin itu …
Seolah kau mampu membaca isi hatiku, kau menengok perlahan. Mata kita bertemu. Aku jadi tidak enak. Mungkin kau sadar aku tidak menyimak pembicaraan barusan.
“Aku masih menunggu jawaban dari pertanyaan kemarin.”
Ya ampun, harus dibahas lagi? Sekarang? Kujawab malas-malasan, “Harus dijawab sekarang?”
“Dan kenapa aku harus terus menunggu?”
“Aku tak memaksa untuk menunggu.”
“Jadi?”
“Jadi …”
“Sepertinya masih banyak yang ingin kau lihat. Aku suka dengan keinginanmu itu. Tapi …”
Lirih suaraku menyambut, “Tapi …”
Kutahu jawabannya, kau paham akan ke mana akhirnya. Saat kurasa angin perbukitan menerpa wajahku lebih keras, entah mengapa terasa lebih dingin daripada yang seharusnya. Tak banyak lagi yang bisa dibicarakan.
Hanya omongan lalu lalang tentang ranting-ranting pohon yang tak kunjung menghijau walau musim semi mungkin sudah mencapai puncaknya.
Hatiku terasa tertusuk mendengarmu setengah berbisik, “Kalau boleh memilih, kita lebih suka pepohonan rimbun jadi angin tidak terlalu kencang rasanya. Sekaligus tetap bisa menikmati pemandangan kota dari atas sini tanpa terhalangi oleh daun-daunnya. Tapi kau tahu … tak selamanya semua keinginan bisa terkabul. Seringnya, kita harus memilih. Atau … keadaan memaksa untuk melepaskan salah satunya.”
Kita turun lebih awal. Banyak membisu dalam funicular yang mengantarkan penumpang dari atas bukit kembali ke bawah. Kau ingin pulang ke hotel. Aku tak memaksa walau seharusnya, dari Gurten kuingin mengajakmu ke Rose Garten, tempat lain untuk melihat cantiknya Bern dari dataran tinggi di kebun bunga mawar di sana.
Di stasiun Wander, aku turun dari tram. Sendiri. Kembali ke apartemenku.
Dua tahun lalu, aku menemanimu berkeliling kota Bern. Kupikir, selain kangen, kau datang karena terpikat dengan kisahku tentang cantiknya ibukota Swiss ini. Ternyata ada maksud lain.
Kau ingin mengajakku pulang. Sesuatu yang belum terpikir olehku. Lebih jauh lagi. ada rencana yang lebih serius.
Di bahnhof Bern, sebelum naik ke kereta menuju bandara di Zurich, kau bilang, “Kau membuatku jadi berani.”
Sedihku belum sepenuhnya luntur, tak tahu harus jawab apa.
Kau melanjutkan, “Kata ibuku, mencintai itu harus berani. Berani melihat orang yang kita cintai bahagia walau kita tidak termasuk dalam kebahagiaan itu.”
Aku langsung menangis. Seperti orang bodoh, terisak-isak di tengah keramaian stasiun.
Kini, aku kembali duduk di tepian danau di Tierpark, Bern. Pekerjaan membuatku harus berada di kota ini sekali lagi. Memaksa untuk mengingat saat-saat terakhir kita bersama. Termasuk mengenang perdebatan tentang sekawanan flamingo merah jambu yang kini masih bergerombl di hadapanku, di kolam yang sama. Entah apakah mereka kawanan yang sama dengan yang dulu.
Masih tersisa sedikit perih di hatiku.
Aku sungguh ingin berdamai dengan diriku sendiri sebelum kuputuskan untuk berbagi kebahagiaan dengan siapa pun. Melihat dunia adalah inginku. Sejak dulu, sebelum kau datang. Walau bertemu denganmu membuat keinginanku yang lain muncul. Aku berharap bisa melihatnya bersamamu.
Tapi berkali-kali aku disadarkan. Seperti katamu di puncak bukit Gurten, kita tak mungkin bisa terus memenuhi segala harap. Diantara sekian banyak hal yang harus kupilih selama hidupku, melepaskanmu termasuk pilihan tersulit yang harus kubuat.
Untuk pilihan ini, keberanianku pun diuji. Saat beberapa bulan lalu kau kirimkan kabar tentang hari bahagiamu yang akan segera menjelang. Selembar undangan ikut menghiasi isi surat elektronik yang kau kirimkan. Kuberanikan diri mendoakan kebahagiaanmu walau aku tidak termasuk dalam kebahagiaan itu. Walau bukan namaku yang tertulis di sana.
Mungkin aku belum sebijak sang flamingo. Walau sanggup mengepakkan sayapnya terbang tinggi akhirnya memilih berdiam di kolam bersama kawanan yang disayanginya. Mungkin kelak akan kusudahi kepakan sayapku. Nanti, bukan sekarang.
Suka! 🙂