Spesialnya lagi, mereka sekeluarga tinggal di apartemen yang sama dengan kami saat kami masih di Jeddah dulu hihihi.
Serba kebetulan. Sama-sama penghuni Mushrifah lantai 6 nomor sekian-sekian. Sama-sama hengkang ke Eropa dari sana.
I believe what she (and perhaps her family) felt was quite the same with the one I had back then, more than 3 years ago.
Bedanya dia (dan mungkin mayoritas teman saya di sana yang juga pindah) dengan saya adalah saat packing-packing barang.
Kalau mereka rata-rata pusing dengan banyaknya barang. Saya malah cemas karena barang saya dikit banget! Hahaha.
Awalnya galau karena kalau dibawa sendiri ya overweight tapi kalau dikirim via kargo ada angka minimal. Akhirnya diputuskan untuk membabi buta beli oleh-oleh hihihi.
This one funny thing, waktu akhir-akhir ada teman yang mungkin baru pertama datang ke apartemen saya ngomong gini, “Rumahmu udah kosong aja, Mbak? Barang-barang sudah dikirim separuh ya?”
Duh, gimana jawabnya ya. Karena saat itu belum satu pun barang saya sentuh buat diberesin! Hahahaha.
Di apartemen Jeddah, paling berkesan adalah ruang tengah. Karena dibiarkan kosong melompong. Gorden pun ogah saya pasang. Karena saya senang kalau cahaya matahari menembus masuk tanpa penghalang sedikit pun.
Suasana di Saudi sungguh berbeda dengan tanah air. Serba tertutup. Jangankan interaksi sehari-hari, bahkan kaca jendela apartemen pun rata-rata dibikin buram! -_-.
Ya tidak ada pemandangan juga sih yang dilihat. Tapi menurut suami itu karena privasi hal yang sangat penting di Saudi. Jadi, jendela pun dibuat seperti itu.
Saya ingat, hari pertama mendarat di Jeddah. Optimis banget rasanya. Karena modal pernah tinggal di Teheran. Dulu kan sebelum ke Teheran juga saya takut tapi malah keren banget kotanya. Nah, harapan saya ke Jeddah juga sama.
Unfortunately, baru masuk apartemen, saya sudah tercekat sendiri.
Apartemennya terbagi dari banyak sekali ruangan. Bahkan dapur pun dikasih pintu khusus. Di Teheran dulu apartemennya bagus banget dan dapurnya model bar gitu. Jadi tembus sampai ke ruang tengah.
Di Teheran, ruang tengah punya jendela kaca raksasa. Modelnya seperti kaca rayban. Jadi kita leluasa melihat ke luar tapi yang di luar enggak bisa lihat ke dalam.
Pemandangan cantik dari pegunungan yang mengelilingi Teheran yang masih menyisakan sisa-sisa salju musim dingin bikin saya geer, “Alhamdulillah akhirnya lihat salju”. Dari jarak ratusan meter!! hahaha :p.
Apartemen Mushrifah-Jeddah, alamak! Penuh dinding. Padahal apartemennya lumayan luas, lho. Tapi ya gitu, dinding-dinding-dinding membatasi semua ruangan dalam rumah.
Jendelanya kecil-kecil, buram pula.
Saya tidak tega mau mengeluh ngeliat suami asyik peluk-pelukan dengan anak sulung (anak masih satu waktu itu). It took him almost 1 year untuk membawa saya dan anak saya ke Jeddah. Setengah mati mengurus surat dan visa agar kami berkumpul kembali.
Iya gitu hari pertama kita cekikikan bertiga dalam kamar, finally together again, saya malah mengeluh, “Apartemennya cupu amat” :'(.
Saya pikir mensugesti diri sendiri salah satu cara tepat untuk mudah beradaptasi. Saya pun menulis di notes di FB di blog (waktu itu masih multiply) betapa optimisnya saya dengan hari-hari baru di Jeddah hihihi. Tidak saya hapus kok sampai sekarang hahaha.
Akhirnya pun fokus mau punya anak lagi. Which is sebulan kemudian memang langsung hamil lagi ;). I kept talking to my self, “Happy, happy, happy as a hippo!” :D.
That magic really works ^_^ *tepukTangan*.
Tinggal di rantau jadi ketemu banyak teman baru. Walau jujur, pertama kenal banyak korslet, namanya juga adaptasi. Di masa sekolah, kuliah, dan bekerja, pergaulan saya lebih homogen. Nah di Jeddah ketemu macam-macam teman dengan berbagai latar belakang.
Kan gengges juga yak hahahaha. Mau “humble” kok ya saya merasa direndahkan. Mau nyolot kok ya saya enggak tega sendiri karena ya gitu lah. I can’t be too detail.
Suami nih yang berperan banyak membuat saya lebih “dewasa” dalam urusan pertemanan. Dia yang memberi banyak masukan dan menyadarkan saya, “Emang situ oke? Sok-sok an menuntut orang lain begini begitu ya coba ngaca ke diri sendiri deh!”
Lama-lama … voila! Beberapa sahabat terbaik dan terdekat saya sampai sekarang ya mamak-mamak Jeddah ituuuu hahahaha.
Having many good new and great friends melahirkan semangat positif yang lain. Saya sebenarnya anak rumahan banget. Tapi senang di rumah vs terkurung dalam rumah itu 2 hal yang berbeda huhuhu.
Jadi saya berusaha menciptakan kesibukan baru yang bisa saya nikmati sembari dalam rumah. Ketimbang terus-terusan melihat ke arah jendela yang ada malah tambah stres hahahaha.
That’s how I found blog Mama Sejagat dan blog Cerita Jeddah. Keduanya menjadi blog serius saya yang pertama. Dan saya buat dalam bentuk komunitas blog biar isinya ramai dan saya bisa sibuk lebih lama dan tidak ada waktu mengeluhkan yang sebenarnya tidak perlu dikeluhkan.
Di awal-awal Mama Sejagat saya bisa membuat 32 postingan dalam satu bulan! Hahaha. Cerita Jeddah datang, makin menggila *ngakak*.
And that’s how I realized how I really LOVE writing. Ke mana aja gue? :p.
Di Jeddah bikin buku pertama kali. Sesuatu yang selama ini tidak pernah terpikirkan lagi. Waktu kecil sih memang doyan menulis tapi kan tidak sejauh itu sampai terpikir mau punya buku segala. Diari aja mah modalnya dan beberapa fiksi di atas berlembar-lembar kertas dan buku buat iseng-iseng.
Awalnya sempat terpikir, mau jadi apa ya tinggal di Jeddah? Apalagi sebelum pindah saya sudah berniat melanjutkan S2 dan mendaftar di almamater saya dulu. Sudah ikut tes dan diterima. Tapi ya masa mau jauh-jauhan terus dengan suami? Toh situasi saya tidak mendesak?
Sudah saya pasrahkan dan saya pikir yang penting tidak stres aja dah hehe. Boro-boro stres, ternyata banyak hal-hal terbaik dan pencapaian yang tercipta justru saat saya tinggal di Jeddah.
Makanya balik ke ruang tengah tadi. Kalian pasti sudah lupa deh :p. Ayok, scroll up, scroll up hahaha. Di ruang tengah ini yang ada hanya sebuah kursi + meja kecil tempat saya meletakkan laptop di atasnya.
Letaknya dekat dengan pintu dapur. Jadi, sambil masak bisa ketak ketik. No wonder, suami saya selalu nyinyirin keyboard laptop saya yang penuh cipratan bumbu dapur dan minyak :p. Sampai sekarang! Hahaha.
“Hopeless”, salah satu hal yang terlintas dalam pikiran sejak pertama tinggal di Jeddah.
Tapi Mbak Rihanna seolah mengingatkan saya dengan salah satu lirik lagunya yang berulang-ulang, “We found love in a hopeless place”
Indeed, we can always find love even in a “hopeless” place <3.
“Happiness can be found even in the darkest of times, if one only remembers to turn on the light.” -Dumbledore-
Tapiiiiiii … buat nyalain lampu di “rumah” yang baru kadang-kadang perlu waktu kan ya untuk menemukan “saklar”nya di mana ;). It’s not always easy to get in the mood. But it’s ok, as long as we DO not forget to TURN ON THE LIGHT.
How’s your Monday, Peeps? Have you turned on the light? ^_^
***
Sepertinya saya juga harus mulai berkemas-kemas. Karena sudah hampir waktunya pulang, hehehe… 🙂
Cuman bedanya, yang paling jago packing adalah istri saya. Saya mah pasrah aja deh, yang penting kalau mau mencari barang yang saya perlukan ada. Hihihi.. tipikal lelaki… 😆
heheheh, nice article mbak, as usual. Itulah manusia ya. Berasa hopeless, dan pas ketemu rejekinya di antara ke-hopeless-an itu….langsung deh mengalun ayat Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban… 🙂