Lelah yaaaa, dengan tuduh-tuduhan keberpihakan dan teori konspirasi kala ada tragedi duka di mana saja. Tuduhan “selective empathy” misalnya.
Anehnya, sebagian mereka yang ngotot menuduh selective empathy remained silent di kasus Brussel dan tidak bersuara soal Pakistan. Tentunya bukan karena mereka tidak peduli. Mungkin saat beritanya ramai mereka tidak lagi online di FB :). Atau mereka terlalu sedih untuk ikut posting status.
See? Kita tidak harus membalas tuduhan yang sama kan? ^_^. Saya tidak suka jika dituduh bersikap “selective empathy” makanya, saya tidak akan menuduh orang lain dengan tuduhan yang sama ;).
Ini sempat saya “catat” beberapa tuduhan saat bom Istanbul yang kejadiannya sebelum Brussel. Padahal itu sudah bom ke-4 di Turki. Waktu bom Ankara malah agak sepi. Mungkin mereka juga tidak ngeh hehehehe. And for me … it’s oke ^_^.
Walau tak ada status di media sosial, mungkin saja ada doa-doa terucap dalam sembahyang yang mereka pilih untuk dituangkan dalam “ruang pribadi” saja. Tidak untuk dipertontonkan di status-status.
Coverage beritanya secara internasional sih baik-baik saja. Di situs-situs mainstream liputannya lengkap. Tidak ada usaha menutup-nutupi. Tapi respons masyarakat yang berbeda.
Waktu Brussel, makin marah. Sempat ada tuduhan Facebook bakal pasang bendera Belgia lagi. Tapi enggak tuh ;).
Yang luput diperbincangkan justru kejadian-kejadian di Afrika. Waktu kasus Boko Haram saya malah tahunya dari wall suami saya. Saya merasa bersalah, tragedinya sudah ngeri begitu kok bisa tumben enggak ribut.
Suami saya malah ngetawain saya, “Emang lo siape? Anggota PBB? Kok merasa harus ikut campur dalam semua konflik berdarah?”
Nah !!!
And so that you know, sebelum Brussel pun ada tragedi berdarah di Afrika, Ivory Cost. Dan saya pun baru tahu juga! *nangis*.
Pada dasarnya, saya tidak suka kita malah bertengkar soal aturan peristiwa mana yang harus kita pedulikan, membanding-bandingkan tragedi yang satu dengan yang lain, bahkan lebih jauh, menuduh konspirasi media mainstream yang menutup-nutupi beberapa kasus.
Tidak sih menurut saya. Di hampir semua kasus, media mainstream (setidaknya BBC yang secara “jarak” paling dekat dengan lokasi saya kini) rajin meliput peristiwa mana pun. Like I said before, respons penonton yang beda-beda.
Namanya media cari duit pun, berita yang kurang diminati ya umumnya lebih cepat hilang dari penyiaran. Mereka cari uang, bukan yayasan sosial kan ya. Walau tentu jurnalis yang idealis pasti akan bersuara terkait hal ini. But hey … we are not living on the heaven! Terima kenyataan itu :).
Kita tidak bisa menyempurnakan situasi seperti yang kita mau. Toh, kita juga bagian dari ketidaksempurnaan itu kan? Tentu saja, saya, kalian atau mereka punya kecenderungan masing-masing.
Kalau di-break down secara detail kenapa orang merespons luas terhadap kejadian tertentu dan sebagian tidak, itu bisa lebih panjang lagi. Saya tidak akan terasa capek kalau menuliskannya tapi saya khawatir kalian yang capek bacanya hahaha.
Setiap kita tentu harus berusaha bersikap adil. Tapi kita harus paham, kita tidak akan pernah bisa benar-benar netral. Tidak akan :).
Lah saya ini kalau menulis peristiwa-peristiwa itu ya lihatnya di media-media mainstream. Kalau Eropa ya saya lihat ke BBC. Pembandingnya AlJazeera. Demikian pula sebaliknya di banyak wilayah lain. Capek memang. Makanya enggak bisa reaktif, bom meledak langsung tergopoh-gopoh pasang belasungkawa sambil menuduh orang lain tidak peduli pula :p.
Enggak bisa gitu juga kan. Saya biasanya langsung googling. Lihat di beberapa media mainstream di beberapa wilayah. Ya, ya, ya, tuduhlah saya korban konspirasi. Tapi maaf yaaaaa, media mainstream saja tidak saya percayai 100% apalagi media-media kacrut bikinan “kalian”! :p. Yang sering pula pakai ancaman, “Sebarkan jika kalian peduli!”
Sudahlah sumber tidak jelas, judulnya rata-rata aduhai, nama wartawan kadang pakai nama “random”, isinya tebar kebencian pula. Tetap lebih baik media mainstream :p. At least, sesama media mainstream itu bisa saling berdebat dan mereka sering merangkum dari beberapa sisi. Walau tidak selalu :).
Ini seperti misalnya saya datang ke pemakaman salah satu teman saya. Di tengah kesedihan keluarga, ada orang mengamuk, “Kalilan semua munafik! Kok kalian tidak sedih waktu si anu yang meninggal.”
Perhaps, that man got his reason and perhaps…he is right. But remember, knowledge knows what to say, but wisdom will define WHEN to say it <3. Bukan kata saya. Itu kata-kata bijak yang mudah kalian temukan kalau kalian googling sendiri ;).
Dan ke mana golden rule yang konon adalah salah satu pesan penting dari metode dakwah rasulullah? Yang ternyata juga menjadi inti dari banyak keyakinan lain di dunia ini. Compassion. Jangan melakukan hal yang kita tidak ingin orang lain lakukan terhadap kita.
Kita marah jika “komunitas” kita ditimpa tragedi orang kok tidak peduli. But look what we’ve did (we means including me, myself). Kalau ada kesempatan yang sama, kita cenderung akan membalas dendam.
Contohnya? Ingat peristiwa jatuhnya Air France saat ternyata tersangkanya ternyata orang bule non muslim. Ingat respons kalian? –> “KOK DIA TIDAK DiTUDUH TERORIS?”
Kita cenderung membalas dendam. Kita ingin mereka merasakan sakit yan sama. Biar nyaho’, biar tahu rasa. Dan itu…manusiawi. Iya dong, manusiawi. Kita cenderung akan seperti itu. Tapi kita tahu kan kalau itu tidak benar. Sebisa mungkin, minimalkanlah :).
TIdak ikut mengutuk toh tidak berarti kita membela. Kita “mengutuk” dengan cara yang benar. Tuntutlah pengadilan yang adil. Hindari menyebut ras dan agama. Fokus pada peristiwa. Walau itu sulit, tapi mengusahakan adil adalah kewajiban kita. Tidak harus berhasil kok setiap saat, but once you remember, keep it on the right track as much as you can 🙂
Saya pun sering gagal kok ya . Apalagi bahas soal itu tuh#siAnakCebongGarisKeras hahhaha :p.
Tapi soal prinsip anak cebong ini saya punya pembelaan diri yang tidak mungkin saya tulis di sini karena bakal lebih panjang lagi hahahaha. I’ll wait the right time to defend my self regarding this ^_^. Meanwhile kalian boleh kok menuduh saya fanatik dan lain-lain hahaha. Kuterimakan keadaanku lah :p.
Omong-omong sepanjang ini, untuk kembali mengingatkan para penggemar teori konspirasi bahwa dunia ini tidaklah sejahat yang kalian pikirkan kok smile emoticon. Tidak secuek yang kalian tuduhkan.
Baca lagi : “Katanya, Dunia Tidak Peduli?”
Kita tidak suka digeneralisasi sebagai muslim yang sama jika ada tragedi berdarah yang mengatasnamakan Islam. Then, don’t do the same.
Saat menggunakan kalimat, “Dunia Tidak Peduli” ya hati-hatilah. Dunia yang mana yang kalian maksud? Dunia ini luas sekali. Sadarilah … saya, kalian, dan mereka juga adalah bagian dari dunia ini :).
Dunia yang tidak hitam putih ini. Bahkan dari film yang menurut saya salah satu yang paling ngeri yang pernah saya tonton (saya memang banyakan nonton drama ala Disney sih btw hahaha) tetap pula saya bisa ketemu quote yang mencerahkan.
Tahu film S7VEN? Nah quote penutup ini saya ambil dari ending film tersebut,
William Somerset: Hemingway once wrote, “The world’s a fine place and worth fighting for.” I agree with the second part.
Same with me. I agree with the second part. Don’t you? 🙂
That’s why kita harus menyempurnakannya dengan quote lain dari Gandhi, “Be the change you wish to see in this world”.
Quote melulu. Lah saya mah apalah, bisanya cuma ngutap ngutip doang hahahaha :p.
Have a nice thursday, World <3