Beberapa tahun terakhir harga minyak dunia terjun bebas dalam tempo singkat dan sampai sekarang masih goyang-goyang.
Di bawah kepemimpinan Hugo Chavez dengan jargon “sosialisme abad 21”, Venezuela pernah sangat berjaya.
Di Venezuela kini, inflasi gila-gilaan, kejahatan makin mengerikan, dan angka kemiskinan membubung tinggi. Di kepemimpinan Chavez, Venezuela pernah membabat kemiskinan, turun hingga 30%.
Arab Saudi, negara minyak yang paling mencolok di Timur Tengah.
Arab Saudi sekarang juga mengalami guncangan. Masalah politik internal walau tidak separah Venezuela. Penetapan pajak sana sini padahal sebelumnya pajak benar-benar 0% di sana. Harga-harga barang pun tiada seindah dulu lagi.
Norwegia, walau peringkatnya tidak sebagus Venezuela dan Arab Saudi, dimasukkan sebagai perbandingan khusus.
Berbeda dengan Venezuela-Arab Saudi yang memanjakan rakyatnya dengan subsidi konsumsi sana sini berkat limpahan minyak, harga BBM di Norwegia justru tergolong mahal banget dari dulu.
Di Venezuela, Chavez menjanjikan kesempatan kerja yang merata kepada rakyat sebagai salah satu upaya mengatasi kemiskinan. Caranya? Dengan memasukkan sebanyak-banyaknya karyawan ke perusahaan-perusahaan negara (semacam PNS), termasuk perusahaan minyak negara.
Nasionalisasi besar-besaran di berbagai sektor. Hampir semua sektor swasta dinasionalisasi.
Dengan pegawai yang membludak tapi produksi minyak begitu-begitu saja tentu membebani biaya produksi. Belum lagi basis teknologinya memang belum secanggih negara-negara lain.
Saat itu mereka tetap berjaya karena tertolong oleh harga minyak dunia yang lagi tinggi-tingginya dan cenderung naik terus. Marjinnya masih kuat untuk menutupi ongkos produksi.
Begitu harga minyak dunia terjun bebas, di mana negara ini andalannya ya bisa dibilang minyak tok, langsung ikut terjun bebas.
Pemerintah tak mungkin menempuh cara-cara standar misalnya naikin pajak, lah sektor usaha ibaratnya sudah BUMN semua, siapa yang mau diandelin bayar pajak???
Ini belum ngomongin ketidakstabilan politik internal dan maraknya korupsi di pemerintahan.
Jadi ingat sindiran Margareth Thatcher yang sering digunakan untuk menyindir sosialisme, “The trouble with Socialism is that eventually you run out of other people’s money.”
Niatnya sih mulia. Keseteraan dan pemerataan. Indah nian kedengarannya. Alih-alih memiliki seorang pemimpin berhati emas yang berjuang buat rakyat seumur hidup seringnya malah diktator yang rentan korupsi .
Sosialisme agak berat di praktik karena ya itu tadi, melawan human nature . Lemah di sustainability.
Disangka semua manusia pasti ulet dan mau bekerja sama kerasnya?
Sorry to say ya, PNS vs karyawan swasta ya pasti naturenya beda. Yang satu dibiayai negara no matter what, satunya lagi mengandalkan kinerja sendiri + koneksi/keberuntungan untuk bertahan.
Itulah kenapa manusia memang perlu sedikit kompetisi untuk memacu produktivitas. Kita ini manusia biasa toh ya. Rentan manja dan mau enaknya sendiri apalagi kalau serba difasilitasi. Kalian boleh tidak setuju .
Arab Saudi walau terkena imbas yang besar juga tapi lumayan tertolong oleh efisiensi biaya produksi minyak. Saudi Aramco, salah satu perusahaan minyak dengan biaya paling efisien. Kira-kira biaya produksi di Saudi : Venezuela selisihnya hampir 100%.
Saudi tidak ujug-ujug mengusir vendor mereka di awal masa booming minyak (Amerika Serikat) demi nasionalisme yadda-yadda-yadda. Saudi mengambil alih Aramco SETELAH waktunya dirasa tepat.
Lesson learned, tidak selamanya anti aseng-asing itu tepat 100%. Kenapa harus anti-anti sih. Bekerja sama saja bagaimana? Tentu yang menguntungkan kedua belah pihak .
Soal nasionalisasi minyak di Saudi ini juga banyak teori konspirasinya. Termasuk terbunuhnya Raja Faisal di tahun 1975.
Monarki absolut menyelamatkan Saudi dari gonjang-ganjing politik yang parah. Kalau pun berantem ya sesama mereka-mereka juga. Rakyat bisa apa wong demo apa pun dilarang hehehe.
Saudi ya korupsi juga. Cuma Saudi ini sekorup-korupnya sungguh saya salut … bahkan kalau kita menjelajahi Saudi sampai ke pedalaman yang jaraknya ratusan kilo dari kota-kota besar seperti Riyadh dan Jeddah, bukan main infrastruktur transportasinya! Mantep abis.
Jalanan lebar dan mulus beratus-ratus kilo dibangun sampai ke atas perbukitan batu. Warbyasak. Nih raja-raja Saudi kek Firaun juga gak nih? #kikirKuku
Kalau mau bawa-bawa impor sih, kedua negara ini impornya sama-sama tinggi, kok . Keduanya juga royal subsidi.
Norwegia yang memang spesial. Pasti ada dampaknya juga penurunan harga minyak di sana. Tapi yah, tidak setajam di Venezuela dan Arab Saudi.
Banyak yang mengira negara-negara Nordic ini sosialis? Sebenarnya bukan, sih. Mereka condong ke welfare-state. Welfare state ya kenal pasar bebas juga. Pasar bebas ini yang paling sering dikritik oleh aktivis sosialis sebagai neo-kolonialisme.
Norwegia dan negara-negara Nordic lainnya sebisa mungkin menghindari subsidi konsumsi. Mereka lebih fokus ke pemerataan kesempatan. Ini lebih masuk akal dan ternyata bisa diterapkan walau tentu tidak sempurna 100%.
Di negara welfare state tidak ada jaminan situ pasti dapat kerja, situ kagak perlu ngapa-ngapain pasti hidupnya terjamin 100%. Jebakan ini sebenarnya yang sering bikin buntu. Karena seperti yang saya bilang tadi, ya kaleeeee 100% rakyatnya rajin semua, saleh dan salehah semua dst dst dst.
Yang ditawarkan oleh welfare state adalah pemerataan kesempatan dan pemenuhan kebutuhan dasar. Akses sekolah gratis untuk semua kalangan di mana pun berada, sampai daerah terpencil sekali pun.
Masih nyolot kenapa infrastruktur transportasi itu penting? Masiiihhhh???? #pasangMataSuzanna.
Akses terhadap jaminan kesehatan yang ditanggung sama-sama secara proporsional.
Tunjangan-tunjangan buat kalangan tertentu, tidak semua orang dapat. Itu juga secukupnya banget. Enggak bakal bisa dipakai bermewah-mewah.
Sisanya? Ya silakan perjuangkan sendiri. Silakan bersaing. Toh “modal”nya sudah dibagikan seadil mungkin . Modal pendidikan dan jaminan kesehatan tadi misalnya.
Kasus di Venezuela dan Arab Saudi mudah-mudahan bisa mengajarkan konsep berdikari untuk suatu negara.
Saya suka dengan penjelasan Ibu Sri Mulyani, salah satu ekonom nasional yang sering dituduh antek NEOLIB , mengenai konsep berdikari.
Bahwa kita ini sering terjebak dengan romantisme bahwa berdikari itu adalah kita bisa sendiri tanpa BUTUH siapa-siapa.
Konsep BUTUH itu tidak selalu berarti lemah. BUTUH itu adalah interaksi. Saling ekspor dan saling impor, pertukaran ilmu dan teknologi, kehadiran swasta sebagai penyeimbang usaha negara dan kompetitor untuk mencegah monopoli dst dst … semua itu yang menyebabkan ekonomi dunia tumbuh .
“To argue against the global economy is like stating opposition to the weather – it continues whether you like it or not.” -John McCain-
Berat ya topiknya hahahaha. Sekali-sekali, yes? 😀