What’s Your Hajj Story (5) – FInale

Bagian 1, bagian 2, bagian 3, bagian 4

Tanggal 11 Dzulhijjah memang yang terberat buat kami. Tapi alhamdulillah semua rukun haji selesai di tanggal itu. Selepas Sa’i, secara rukun, kami resmi menyandang gelar haji. Insya Allah mabrur. Amin :).

Pas tidur malamnya terasa deh betis dan kaki mulai pegel. Tapi doa saya malam itu, “Ya Allah, beri kekuatan untuk melakukan tawaf
wada besok sore.” Menurut beberapa teman, boleh saja pemukim Jeddah tidak melakukan wada saat itu juga. Pulang dulu saja ke Jeddah, nanti balik lagi untuk melakukan tawaf wada.

Tapi ya, sudah kadung semangat masih membara hehehe. Toh, bis kami pasti mampir di Mekkah dulu. Daripada bengong di bis, sekalian saja ingin ikut tawaf wada.

Tanggal 12 hari terakhir di Mina. Karena mengambil nafar awal, sebelum senja tiba, kami sudah harus meninggalkan Mina.

Paginya saat di kamar mandi, kaget bukan kepalang. I got my period that morning. Saya sibuk menghitung hari. Seharusnya masih 3 hari lagi waktunya. Kok cepat banget, ya. Hampir tidak pernah jadwal mens saya kecepetan, kalau telat sih pernah.

Saya berpikir positif saja. Mungkin ini jawaban Tuhan atas doa semalam. Saya malah tidak diizinkan untuk ikut tawaf wada hari itu.

Tapi mohon diingat, satu-satunya ritual haji yang ‘terlarang’ bagi wanita yang sedang haid hanya tawaf saja. Sisanya tetap boleh. Wukuf boleh, melontar jumrah boleh. Jadi, menurut saya sih, pemakaian obat-obatan tertentu untuk mencegah jadwal mens itu tidak perlu. Tidak baik pula untuk kesehatan, kan?

Kami melontar jumrah terakhir di pagi hari. Jam 7 sudah menuju stasiun. Kereta kosong melompong. Baru deh kepikiran foto-foto hehehe. Kereta juga cepat datangnya.

Tempat lontar jumrah lantai 4 di hari ke-3 itu benar-benar sepi. Kami berjalan dari stasiun menuju Jumarat sambil mencari kerikil-kerikil kecil buat melontar. Karena sepi banget, cukup aman berjalan sambil sesekali jongkok mungutin kerikil.

Pulang ke tenda, mulai deh beres-beres isi tas segala macam. Beberapa teman mulai pamit. Mereka ke Mekkah sendiri lebih awal tanpa menunggu rombongan. Tapi sebagian besar teman satu tenda saya mengambil nafar akhir. Meninggalkan Mina-nya tanggal 13.

Terharu juga saat pamit. Teman-teman menyalami saya satu persatu. “We’re gonna miss you. Take care. Ma’assalamah. Wada’an.”

***

Bis tiba di Kudai jam setengah tiga sore. Supirnya memberi waktu 4 jam saja katanya. Jam setengah 7 sudah harus berangkat ke Jeddah.

Biarpun tidak ikut tawaf, ogah nunggu sendirian dalam bis. Saya ikut ke Masjidil Haram.

Begitu tiba sudah mulai deg-degan. Hampir semua pintu dikepung pria berseragam coklat. Sempat terjadi kehebohan di salah satu pintu. Beberapa orang mendobrak masuk dan mematahkan brikade para petugas. Tapi dengan sigap, para petugas itu kembali berdiri tegak menghalau orang yang ingin masuk.

Rupanya akses ke lantai 1 ditutup rapat. Kami berhasil menemukan pintu masuk yang cuma ada tanggal langsung menuju lantai 2. Suami sudah tidak berminat turun ke lantai 1. Langsung saja menuju tempat tawaf di lantai 2. Sementara saya dan si kecil menunggu di salah satu sudut masjid yang cukup lengang.

Tadinya ingin memanfaatkan waktu dengan kembali membaca ulang buku-buku doa yang masih tersimpan lengkap dalam tas. Apa daya, si kecil baterainya sedang full :D.

Dia berlarian kesana kemari. Ada bocah laki-laki Arab yang berusia sekitar 3 tahun yang tahu-tahu muncul dan mendorongnya hingga terjatuh. Dia bangkit, menangis, dan berlari kembali ke arah saya.

Saya pikir dia kapok. Salah besar. Dia bangkit lagi menuju ke tempat anak kecil tadi. Eh, mau ngapain tuh?

Anak saya berdiri tegak dengan tangan terkepal. Mukanya serius banget. Anak kecil tadi juga maju dan mulai menghentakkan kakinya. Anak saya diam saja. Anak kecil itu mulai mendorong. Saya masih penasaran jadi saya biarkan dulu.

Ternyata, sabar tidak berarti penakut ya, Nak. Dilabrak sedikit, anak saya sempat terdorong mundur, tapi tangannya masih terkepal dan dia tidak berlari menjauh. Tapi mukanya dong lucu banget. Sudah mewek hampir menangis. Hahahahahaha. Lembut bukan berarti tidak punya nyali ya, Nak. Ini baru orang bugis :p.

Ketika terlihat anak kecil tadi sudah akan mendorong lebih keras, saya langsung berdiri, berteriak tegas, “Laa. Hadza walad. No, don’t hit him!”

Akhirnya saya menghabiskan waktu duduk-duduk dengan pandangan penuh mengawasi si kecil yang berlarian kesana kemari. Dibujuk biar tidur enggak mempan juga.

***

Nyaris 4 jam menunggu, tak lama, suami muncul dengan langkah tertatih-tatih. “Aduh, penuhnya, Dek. Untung saja Adek lagi haid. Gak bisa bayangin kalau harus tawaf yang ini sambil gendong anak kecil.”

Ini rupanya hikmah kenapa jadwal menstruasi saya yang biasanya sangat teratur (kalaupun tidak pas, biasanya telat atau mundur) tiba-tiba dimajukan 3 hari :).

All out banget deh Pak Haji kita yang satu ini. Tawaf qudum 1.5 jam, tawaf ifada 2.5 jam, plus tawaf wada nyaris 4 jam, semuanya dibabat habis. Hehehe. Insya Allah mabrur ya, Haji Dani Rosyadi :).

Tadinya saya sudah rela menggendong si kecil balik lagi ke Kudai. Tapi ternyata… suasana di luar masjid sama ‘horor’nya. Super penuh. Suami yang tadinya jalannya agak pincang mendadak gesit lagi. Sambil gendong si kecil dan tangannya yang satu memegangi saya.

Benar-benar padat. Belum lagi yang tidak sabaran berteriak-teriak, “Yalla! Yalla! Imsi, Imsi. Rouh, Rouh!” Pasrah deh didorong sana-sini diantara lautan manusia segitu banyak.

Akhirnya tiba dengan sempoyongan di bus station. Naik bis, yang alhamdulillah belum terlalu padat, menuju Kudai. Di Kudai kita sudah setengah berlari menuju parkiran bis. Soalnya jam telah menunjukkan pukul 8.30 malam. Kami terlambat 2 jam!

Tapi begitu mencapai bis, kami termasuk jemaah pertama yang tiba. Hanya tampak sepasang suami istri dan si supir yang sudah tampak gelisah.

Baru duduk sebentar di kursi bis, suami tiba-tiba berseru, “Ya ampun, makan malamnya Narda gimana?” Rasa letihnya mendadak luntur, suami langsung melesat keluar bis, lari ke seberang jalan mencari baqala.

Tak lama datang membawa kresek, isinya jus kotak, air mineral, roti-roti, dan kue-kue. Masya Allah :'(. You’re the best, Pak Haji :D.

Satu persatu jemaah lain mulai datang. Wajah-wajah kelelahan, langkah terpincang-pincang, saling menyambut dengan ucapan, “Mabruk, mabruk. Hajj Mabruran Insya Allah.”

لاحول و لا قوه الا بالله العلي العظيم

Laa Hawla wa laa Quwwata Illa Billah

( “Tidak ada usaha, kekuatan dan upaya selain dengan kehendak Allah.”)

Hingga jam 10 malam, bis tak kunjung penuh. Menjelang pukul 11, akhirnya semua penumpang sudah duduk di kursi masing-masing. Jalanan macet luar biasa untuk keluar dari Mekkah. Pukul setengah dua dinihari barulah kami tiba di pelataran parkir hamla Al Mahabbah di Palestine Street, Jeddah.

Untung tempatnya sangat dekat dengan gedung apartemen kami, naik taksi 5 menit, tiba di rumah dengan selamat :).

Semoga menjadi haji yang mabrur. Terima kasih sudah diberi kekuatan untuk melewatkan semua ritual haji ini dengan cukup lancar, ya Allah.

Kalau mendengar cerita Tante suami yang kebetulan juga berhaji tahun ini, kami jauh lebih beruntung. Haji reguler dari Indonesia jalan kaki selama prosesi lontar jumrah, pulang pergi. Kami diberi kemudahan dengan fasilitas kereta.

Kata Tante juga, tenda di Mina cuma tidur diatas karpet. Isinya cukup padat sehingga agak sulit jika ingin meluruskan kaki saat tidur :(. Sementara kami tidur di atas tempat tidur yang sudah dilengkapi selimut + kasur. Kami juga membayar biaya yang jauh lebih murah (dengan fasilitas luar biasa) dengan durasi waktu yang jauh lebih pendek.

Mungkin ada seribu alasan untuk mengutuk Jeddah sebagai kota yang terasa sangat mengekang. Tapi ada sejuta alasan lain untuk melewati hari-hari di sini dengan senyum menyenangkan ;).

***

Jika Tuhan menghendaki dan memberi restu, (mungkin) tahun 2012 ini adalah tahun terakhir kami di Jeddah.Mudah-mudahan kali ini Allah berkenan :).

Setelah di bulan Juni kemarin, proses visa kami menuju salah satu kota di Negara Jantung Dunia terhambat. Quota visa imigran dinyatakan habis 2 minggu setelah kami mengirimkan dokumen untuk pengurusan visa.

Ini pun hikmah Allah untuk mengizinkan kami berhaji dulu di tahun ini. Sebelum melangkahkan kaki meninggalkan kota indah sarat kenangan yang berjarak hanya 40 menit dari Rumah Allah.

Terima kasih atas kesempatannya ya Allah. Izinkan kami untuk menikmati belahan bumiMu yang lain :). Dan tentu jika kau perkenankan kami ke sana, jangan tutup pintuMu agar kami bisa mengunjungi rumahMu di lain waktu.

Amin.

(Tamat)