What’s Your Hajj Story (4), Biaya Naik Haji

Sekadar info awal, biaya naik haji untuk perjalanan dari Jeddah tahun 2012 itu sekitar 4500 riyal per orang. Kami berangkat dari Jeddah karena memang saat itu sedang bermukim di sana.

Bagian 1, bagian 2, bagian 3

Jam setengah tujuh meninggalkan tenda Arafah. Tiba di tenda Mina sekitar jam 10 malam. Langsung memandikan si kecil, mengganti bajunya, dan membiarkannya tidur nyaman di atas kasur. Pahlawan kecilnya Mama :).

Teman sebelah menawarkan untuk menjaga si kecilĀ dan mempersilakan saya mandi. Senangnya. Untung juga pas kamar mandi sedang sepi. Mungkin banyak orang masih ‘berjuang’ di jalan dalam perjalanan pulang dari Arafah.

Mandi sekedarnya lalu langsung pulas di sebelah si kecil.

***

Keesokan paginya, subuh-subuh sudah heboh. Orang-orang saling berjabat tangan dan berpelukan. Sempat bengong sebentar. Hingga akhirnya Eyma, salah satu penghuni tenda yang sama, menghampiri saya, “Happy Ied, Jihan.”

Ya ampun, 10 Dzuhijjah, ya. Hari raya qurban. Yayyyy. Kemeriahannya berlangsung hingga ke kamar mandi. Tiap orang berpelukan dan mengucapkan selamat. Saya ikut-ikutan deh hehehehe. Ikut meluk-meluk dan jabat tangan dengan siapa saja yang melintas :D.

Aduh, senangnya. Rasa keki karena peristiwa semalam, terkurung antrian selama 3 jam menuju kereta, menguap tak berbekas di pagi itu ^_^.

Siapa bilang merayakan hari raya di negeri orang tidak seru? Ingat ya rumusnya “Bunda of Arabia” :D. Happiness is not given…it is made ;).

***

Sebagian besar penghuni tenda saya melontar jumrah hari pertama itu di waktu fajar. Jam 6 pagi mereka sudah menenteng anak-masing-masing (dari 16 orang, 9 perempuan di tenda saya membawa balita), bersama para suami, bergegas menuju stasiun kereta.

Biaya naik haji
Bareng Ibu Hajjah Indira šŸ˜€

Oiya, melontar jumrah ini pun sejak hari pertama tidak mendapat bimbingan apa pun dari hamla. Berangkat sendiri-sendiri saja. Toh, stasiun keretanya (Mina 1) dekat sekali dari tenda ;).

“Kita juga berangkat, yuk.” Kata saya pada suami.

“Kasihan si kecil. Belum bangun, kan? Abis dia sarapan saja, ya.”

Sebenarnya sudah gelisah, ya. Penginnya pagi. Apalagi ketika rombongan melontar jumrah itu sudah kembali ke tenda jam 8! Wah, sementara kami belum beranjak sedkit pun :(.

Akhirnya setelah anak kamiĀ bangun dan sarapan, jam setengah 9 kami bertiga berjalan menuju stasiun.

Ternyata…kereta menuju Jumarat-Place dihentikan sebentar. Katanya 4 jam lagi baru ‘on’. Tapi dari arah sebaliknya, orang-orang dari Jumarat masih bebas lalu lalang. Masa mau balik ke tenda?

Jadinya di hari pertama itu, kami jalan kaki dari tenda Mina menuju Jumarat. Jaraknya sekitar 4 km. Rasa kesal sudah mulai menghantui. Kenapa gak berangkat lebih pagi, sih? Dari awal saya sudah uring-uringan.

Benar saja. Kesabaran runtuh setelah hampir sejam menempuh perjalanan yang cenderung mendaki di bawah panggangan matahari. Aduh, malu ih kalau ingat *blushing*. Lupa sama semuanya. Pundung tidak karuan saat itu.

Padahal suami dan anak saya biasa-biasa saja. Seperti biasa, anak kamiĀ malah sering ketiduran. Dasar mamak-mamak pemarah :P. Waktu mogok jalan dan duduk di pinggiran, banyak lho perempuan paruh baya yang melintas. Berjalan penuh semangat sambil tak putus-putusnya bertalbiyah.

Tapi emosi masih membakar, saya malah meracau tidak jelas. Marah-marah ke suami. Suami saya diam saja :'(. Jadi, saya nyap-nyap sendiri kayak orang gila :P.

Akhirnya setelah 1.5 jam berjalan kaki, tibalah kami di tempat melontar jumrah. Kami memilih lantai 4. Cukup lengang. Tidak ada istilah berdesak-desakan sama sekali. Rasa pundung berangsur menghilang.

Apalagi pas pulangnya naik kereta. Hehehe. Jarak stasiun Jumarat (Mina 3) dekat banget. Cuma 10 menit berjalan kaki santai.

Tiba di tenda Mina, tukang cukur sudah ada dimana-mana. Lantunan talbiyah mulai tenggelam berganti dengan gema takbir, “Allahuakbar, allahuakbar, allahuakbar, walillaahilham…”

Suami langsung mencukur rambut. Bayar 10 riyal, dalam tempo semenit langsung plontos. Usai sudah masa berihram :). Pulang ke tenda, suami mandi, melepas kostum ihram dengan baju biasa.

Karena kelelahan, diputuskan tawaf ifada besok saja.

***

Malamnya agak santai. Saya bermain-main dengan anak-anak kecil dalam tenda saya. Aneh juga, ya. Terus terang saya memang bukan pencinta anak kecil. Dengan anak sendiri saja maunya hehehe. Di kalangan teman-teman Indonesia disini, sudah terkenal deh, Tante Jihan yang galak ala ‘ibu tiri’ ahahahaha.

Si bayi populer, Sultan, paling emoh digendong ama saya. Padahal orang tuanya, Raiz dan Nira, adalah salah satu teman-teman paling akrab saya dan suami :P.

Nah, si anak-anak kecil Arab itu malah gelendotan melulu ke saya. Tangan kiri dipeluk si kecil Joseph, tangan kanan menggendong si kriwil Hamzah. Kata ibu-ibu mereka, pengasuh mereka itu orang Filipina. Wajarlah mereka demen dengan tampang Asia ;).

Jadi, 2 malam terakhir di Mina itu, si nenek sihir menjelma menjadi nanny :P. Hehehe.

***

Belajar dari pengalaman tanggal 10 kemarinnya, tanggal 11 kami bergerak lebih pagi. Jam 6 sudah siap dan sudah sarapan. anak yang masih tidur digotong saja.

Kami berjalan ke arah Musdalifah mencari angkutan menuju Mekkah. Cuma 5 menit menunggu di tepi jalan, datang deh sebuah mobil omprengan tujuan Mekkah. Ongkosnya cuma 30 riyal per orang.

Kota Mekkah masih sunyi sekali di pagi itu. Turunnya dekat masjidil Haram. Kami mampir sebentar membeli sarapan buat si kecil+ dua gelas teh hangat.

Masuk ke masjidil haram pun masih relatif sepi. Tapi tawaf di lantai 1 sudah sangat sesak. Tapi kami tetap nekad menembus masuk.

Sekitar 30 detik terkurung di himpitan orang-orang dan tidak bergerak maju sedikit pun, suami langsung memberi instruksi tegas, “Keluar! Keluar! Kita tawaf di lantai 2 saja.”

Suami langsung sadar kalau terpanggang sinar matahari, saya bisa ‘kumat’, ngomel gak karuan ahahahahahaha :P.

Keputusan yang sangat tepat tawaf di lantai 2. Kami pikir, kepadatan di tanggal 11 harusnya sudah berkurang. Ternyata padat juga.

Lantai 2 adem banget. Full AC dan kipas angin dimana-mana. Sejuknya. Biarpun rada keder saat mengedarkan pandangan dan menyadari betapa panjangnya jarak tempuh di lantai 2 ini *ngelapKeringat*.

3 putaran pertama relatif nyaman. Memasuki putaran ke-4, bottle neck nya mulai memanjang. Tapi masih lebih banyak rute yang ‘lengang’. Mulai deh senggol-senggolan, dorong-dorongan, dan saling menghardik :'(.

Akhirnya tawaf ifada tuntas dalam tempo 2.5 jam non stop. Boro-boro deh mau mampir istirahat. Usai putaran ke-7, sakit-sakit badan berusaha menembus keluar dari jalur tawaf. Di lantai 2, jalur tawaf sudah bercampur dengan rombongan sa’i.

Salut juga sama suami. Membawa beban hampir 11 kilo selama 7 putaran penuh, 2.5 jam tanpa henti, tidak mengurangi rasa khusyuk membaca doa. Proud of you, Haji Dani hehehehe.

Selesai tawaf masih harus segera lanjut sa’i. Terlebih dahulu salat 2 rakaat, pokoknya begitu ketemu tempat kosong, langsung salat saja. Suami ngantri ngambilin air zam-zam sebentar. Antriannya sesak, tapi gesit juga suami hehehe. 5 menit sudah datang membawa 2 botol air dan 2 gelas air zam-zam.

Duduk sebentar di wilayah Safa, sedikit mengatur nafas. Suami memperkirakan kalau Sa’i waktunya harusnya mirip-mirip dengan periode Sa’i normal karena jarak tempuhnya sama dan lurus-lurus saja.

Gak berlama-lama duduk, karena takut keburu makin sesak, kami langsung bergegas melaksanakan Sa’i. Benar kata suami, cuma butuh 1 jam saja. Normalnya sih, saat bukan musim haji dan ramadan, kami sa’i sekitar 40 menit.

Tapi keluar dari masjidil haram pun mesti mengerahkan kekuatan penuh. Sempat melihat tempat sa’i di lantai 1. Subhanallah, penuhnya luar biasa! Seperti tidak bergerak sama sekali.

Kaki sudah kebas benar rasanya. Tapi ritual haji di hari itu belum berakhir. Masih harus melontar jumrah. Mengingat si kecil, kami menuju supermarket “Bin Dawood” dulu. Ramainya susasana di luar haram.

Di Bin Dawood membeli biskuit, wafer, susu, dsb. Untungnya anak saya yang nomor 2Ā ini, selain sabar, apa aja mudah dilahap. Roti-rotian Arab saja dia doyan. Nasi ok, biskuit boleh, wafer juga demen :P.

Lalu menuju Kudai dengan bis Saptco. Tiba di Kudai, berusaha mencari taksi menuju stasiun Musdalifah 3. Tarif taksinya 100 riyal. Ya sudahlah.

Gak antri sama sekali di stasiun dan kereta pun segera datang. Alhamdulillah. Setelah 25 menit, tiba di stasiun Mina 3 (Jumarat). Lagi-lagi kami ke lantai 4. Gak ramai-ramai banget, lho. Lancar saja tidak pakai antri.

Tempat jumarat memang sudah jauh berbeda sekarang ini. Selain sudah dibuat 4 lantai, tugunya pun diperlebar semua.

Setelah melontar jumrah, langsung balik ke stasiun kereta lagi. Tiba di tenda Mina, tidak ada istilah santai-santai. Buru-buru memandikan si kecil, ganti baju, dan titip ke suami sebentar. Biarpun badan sudah rontok, tetap harus makan dulu sebelum tidur.

Orang Arab jadwal makan malamnya jam 9 malam. Hadeuhhh, dah gak kuat nungguin. Jadinya habis mandi, makan indomie gelas + satu butir telur rebus sisa sarapan. Lumayan lah.

Setelah itu tepar di atas kasur berdua anak saya. Sekitar jam setengah sepuluh malam, kaki saya ditepuk-tepuk. Makan malam sudah datang. Naimee, teman satu tenda, menaruh satu kotak Al Baik di dekat kaki saya. Tadinya sih mata sudah ingin terpejam lagi, tapi aroma nugget ayam bikin perut yang memang tidak diisi dengan semestinya di hari itu langsung memberontak.

Dengan mata setengah mengantuk, setengah porsi Al Baik itu ludes dalam tempo 10 menit saja. Hehehehehe. Laper ni yeeeee :P.

***

(bersambung ke bagian terakhir di sini :D)