“Kalo gue, lulus kuliah, langsung kawin! Terus punya anak.”
“Nikah.”
“Sialan lu! Ya kawin, ya nikah.”
“Kalo gue, mau kerja dulu. Mau puas-puasin dulu berkarir. Ke luar negeri kalau perlu.”
“Kalau sudah tua, susah cari suami.”
“Ah, bisa operasi plastik kalau punya banyak uang. Makanya kerja. Punya uang banyak.”
“Nikah cepat. Cepat punya anak. Umur 40, anak gue sudah 17 tahun. Gue jadi tante-tante yang masih cantik.”
“Hahahahaha. Kuliah capek-capek malah mau kawin.”
“Kuliah di tempat yang tepat untuk mendapatkan suami yang tepat.”
“Hahahahhaha. Tidak intelek.”
“Tapi cerdas.”
“Hahahahaha.”
Itu salah satu percakapan saya dengannya di suatu hari saat kami sedang makan siang di salah satu kantin kampus. Kantin balsem, balik semak. Selain harganya yang murah-murah, kami berdua suka melihat beragamnya mahasiswa dari fakultas lain yang ikut makan di sana.
Banyak juga mahasiswa yang sekedar datang dan duduk tanpa memesan makanan atau pun minuman.
Dia selalu menertawakan niat saya yang dulu begitu lulus kuliah ingin segera menikah.
“Lu gak punya pacar.”
“Tahun depan bakal punya.”
“Masa? Caranya?”
“Ya kalau berusaha pasti dapat. Tinggal bilang ke orangnya.”
“Nekad lu. Hahahaha. Lu mah yang itu-itu melulu.”
Benar saja, semester berikutnya saya beneran punya pacar. Dengan si dia, yang sudah diincar sejak pertama melihatnya di masa orientasi. Ihiy. Hehehehe.
Saya tidak tahu kenapa diantara sedikit orang-orang yang bisa saya akrabi, dia termasuk salah satunya. Pertama kali ngobrol di Balairung, saat latihan paduan suara untuk mahasiswa baru. Di bulan Agustus 1998.
Di dua semester awal, saya juga dekat dengan beberapa teman perempuan lainnya. Tak banyak mahasiswi di kampus saya, terlebih lagi di angkatan kami.
Salah satu persamaan kami adalah ketidaksukaan kami menghabiskan waktu berlama-lama di lab. Lab hanya kami kunjungi untuk mengerjakan tugas-tugas kampus.
Kalau teman-teman dekat saya yang lain sibuk men-download film-film kartun dan lain-lainnya, saya menunggu dengan bosan di salah satu sudut lab. Kala itu belum kenal search engine mana pun. Belum ada google yang bisa saya andalkan untuk mencari gosip-gosip artis terkini. Friendster pun belum ada.
Jadilah, lama kelamaan saya lebih sering pergi berdua dengannya.
Saat tak ada ujian, tak banyak tugas, kami duduk-duduk di balsem. Mengomentari orang-orang yang lalu lalang. Atau mencemooh dengan penuh dengki mahasiswi cantik yang berpenampilan keren yang nampak dikerubutin cowok-cowok.
“Genit sekali.”
“Tapi bajunya bagus, ya. Lihat deh, pinggulnya ramping banget.”
“Tapi genit, ah.”
“Iya, ketawanya dibuat-buat.”
Ahahahahaha. Sirik tanda tak mampu memang :D.
Dia jauh lebih santai dalam urusan belajar, dibanding saya. Tapi kami berdua wisuda bareng. Berfoto bersama dengan toga, tersenyum lebar-lebar dengan lipstik merah menyala, tepat di hari sabtu minggu ke-3 di bulan september 2002. Biarpun tak suka menghabiskan banyak waktu di depan komputer (ya nama pun kuliah di fakultas ilmu komputer), kami menepati janji kami untuk wisuda setelah 8 semester terlewati. Saya mau kawin. Dia mau kerja. Hahaha.
Tapi kenyataan memang lain. Bulan April tahun yang sama, saya sudah bekerja setelah terlebih dahulu menyelesaikan tugas akhir dan menyematkan S.Kom di belakang nama saya. Bukan sarjana kompor, yeee :P. Saya menunggu 6 bulan untuk pemasangan toga secara legal, gagal memenuhi ambisi wisuda di bulan februari.
Tak ada foto berdua dengan lelaki berjas yang menggenggam sekuntum mawar di sebelah kami. Kami sama-sama mengakhiri masa-masa di kampus dengan status jomblo.
Malah, dua tahun setelah lulus, saya masih melewatkan malam minggu dengan menonton apa saja yang bisa ditonton di dalam TV dalam kamar kos, dia sudah berbicara soal pernikahan. Iya, dia menikah dua tahun lebih dahulu daripada saya, yang bercita-cita memiliki anak berusia 17 tahun saat saya merakayakan ultah ke-40. Hehehe.
***
Kakak laki-laki saya ada empat orang. Semuanya menyenangkan. Yang pertama, sangat suka ilmu fisika. Fotonya paling banyak di album foto keluarga. Iyalah, anak pertama :D.
Yang ketiga sangat kocak. Kami semua bisa tertawa-tawa seperti orang gila dan nyaris pipis kalau mengobrol ada dia. Tapi anehnya, di depan orang lain, yang bukan lingkungan dekatnya, dia mendadak banyak diam. Gak pede lu, ye. Hehehe.
Yang nomor 4 tergila-gila fashion dari dulu. Memakai baju mesti serasa dari atas hingga ke bawah. Tak heran, sekarang dia sudah menapaki jalan kesuksesan sebagai seorang fashion stylist. Traktir dooonggg kalau gue ke Jakarta :P.
Yang kedua juga anak teknik elektro. Wajahnya persis wajah almarhum Bapak sewaktu masih muda. Paling alim dari dulu. Paling sering melihatnya beraktifitas di atas sajadah dari dulu.
Dan yang paling penting, dia yang mengongkosi kuliah saya sampai lulus. Ahahahahahaha *matreAlert*.
Di semester terakhir, saya ragu untuk meminta uang untuk membeli PC. Rasanya makin sulit mengandalkan lab untuk mengerjakan tugas-tugas akhir. Mau nebeng ke teman pun tak mudah, kami semua sedang berjuang bersama melewati masa-masa penghabisan di kampus. Mereka pun sama sibuknya.
Lagian aneh ya Ceu, anak komputer ya ndak punya komputer, hehehe. Tapi ternyata, dia tidak berpikir lama-lama untuk mengabulkan permintaan saya. Dalam waktu singkat, uang terkirim, dan seperangkat PC itu benar-benar nangkring di atas meja kamar kosan. Alhamdulillah, akhirnya.
Saat ribet mikirin ongkos kawin, tanpa banyak basa basi, beliau ikut mengulurkan tangan. Makanya benarlah jika rezeki anak-anak tidak sepenuhnya di tangan orang tua. Di tangan kakak juga bisa. Hehehe.
Saya suka berdiskusi dengannya. Orangnya kadang lucu juga tapi kalau berbicara maknanya bisa menancap dengan kuat.
***
Selain punya empat kakak laki-laki. Saya ada dua adik. Satu perempuan. Terlahir 2 tahun 5 bulan setelah saya.
Waktu kami kecil dulu, dia seperti dayang-dayang saya. Saya tega membangunkan dia yang sedang tidur siang untuk, “Dek, belikanka’ dulu gula-gula camba kodong. (Dek, beliin permen asem, dong).”
Kenapa tidak beli sendiri ke warung? Ya, karena saya selalu punya dia untuk disuruh-suruh. Hahaha. Kadang saya lebihkan uangnya. Jasanya pun dimanfaatkan oleh kakak-kakak saya yang lain. Tentu dengan imbalan uang. Dari kecil kelihatan sudah punya bakat bisnis :P.
Waktu kuliah juga begitu. Dia membuka jasa pengetikan. Tidur larut untuk mengerjakan ‘bisnis jasa’nya. Tak pernah malu menjajakan apa pun. Beda sekali dengan saya, yang selalu merasa risih kalau disuruh menjual apa pun. Untung jual buku sendiri masih mau :P.
Makanya, di akhir tahun 1995, saat begitu banyak hal yang terjadi dan dia pindah ke Jakarta, rasanya sungguh tak enak. Sudah terbiasa tidur dengannya. Terbiasa menyuruhnya ini itu, hehehe.
Kami tinggal bersama lagi di tahun 2001. Tinggal di dalam kamar kos yang sama. Masa awal kerja kantoran, hampir tiap pagi kami berdua berpikir keras harus memasak atau membeli apa agar bisa dijadikan sarapan sekaligus bisa buat bekal makan siang saya. Lumayan menghemat uang jajan di kantor :P.
Tahun 2002, setelah tanpa putus asa mencoba UMPTN untuk terakhir kalinya, dia lulus di Bandung. Ditinggal lagi, deh. Huhuhuhu.
Dia lebih ceria daripada saya. Dia itu sanguinis-phlegmatis. Temannya banyak sekali dari berbagai kalangan. Iri sekali dengannya. Tidak seperti say
a yang biarpun kelihatan cerewet dan suka bergaul tapi galaknya minta ampun. Tidak segan-segan menghardik siapa pun yang saya anggap ‘menyerang’ saya. Saya tidak pernah punya geng perempuan.
Dia lebih suka suasana ramai. Saya lebih suka berdiam diri dalam kamar atau rumah. Dia suka mengelompok, saya lebih menjaga jarak dengan orang lain. Padahal menurut orang-orang, sifat kami itu sama. Cerewet tiada terkira dan suka terbahak-bahak tanpa malu di depan umum. Ahahahaha.
Di hari wisudanya, malah saya yang menangis, bukan Mama. Dia menuntaskan kuliahnya dengan predikat cum laude, setelah gagal menembus UMPTN dua tahun berturut-turut.
***
Empat tahun lalu, saya menginap di rumah sakit beberapa hari untuk proses melahirkan dia. Anak pertama saya.
Dua hari kemudian kalau tidak salah, final piala Eropa 2008. Spanyol masuk final. Sejak mengidolakan Spanyol (apa Casillas? :P) di piala dunia 2002, tak pernah berhenti berharap melihatnya menggenggam predikat juara.
Dia menangis meraung setiap kali saya menyalakan televisi. Ah, rewelnya. Saya kecilkan volumenya pun dia masih menangis. Jadi benar-benar televisinya tak boleh dinyalakan.
Kesal juga, ketika di pagi hari melihat berita kalau Spanyol juara. Aaaarrggghhhh….
Anaknya cerewet sekali. Tak diragukan dia mewarisi darah ibunya :P. Kehadirannya membuat saya banyak mengambil keputusan penting yang tidak pernah saya duga akan saya ambil. Termasuk meletakkan karir dan mengakhiri masa-masa bekerja di kantor 3 tahun yang lalu.
Tempat saya menempa kesabaran. Dimana kadar kesabaran saya bisa dibilang sangat tipis :(. Tapi dengannya saya menyadari, bahwa pada dasarnya pikiran kebanyakan orang itu salah.
Orang banyak menganggap Ibu melakukan apa pun untuk kebahagiaan anaknya. Tapi buat saya, segala kepanikan saat dia sakit, tidak saya lakukan untuk kebahagiaannya. Dialah justru salah satu sumber kebahagiaan saya. Saya menjaganya sepenuh hati bukan karena dia butuh saya, tapi nyatanya…saya yang tak pernah berhenti membutuhkan dia sejak dia lahir!
Saya lakukan untuk kebahagiaan diri saya sendiri. Dia bisa dirawat dan disayangi oleh siapa saja. Tapi saya yang tak pernah berani membayangkan ketiadaannya dalam hidup saya. Sejak detik dia meraung keras di kamar persalinan dan dokter yang membantu proses kelahirannya berkata, “Selamat Bu, laki-laki. Putih..ganteng..”
Sekali lagi dalam hidup saya, tepat pukul 10.05 malam itu, Tuhan menganugerahkan seorang pria tampan :).
***
13 Juni, selamat ulang tahun, sahabatku tersayang, Tri Leniarti :).
14 Juni, selamat ulang tahun, adik terbaik di seantero dunia, Nasli.
22 Juni, selamat ulang tahun, Daeng Salman Alfaris.
28 Juni, selamat ulang tahun, ananda tercinta Adnan Nabil Rosyadi.
(Penuh Cinta dari Jeddah
– Sahabat, Kakak, Adik, dan Mama- )
suka sekali posting ini 🙂
Terima kasih, Mbak. VVIP ku yang ultah di bulan Juni memang banyak dan spesial semua :). My angels :).
Awalnya bingung, maksud cerita ini opo tooooo? :p
Tapi karena mba Jihan salah satu penulis yang gaya penulisannya (terutama idenya) saya kagumi, saya jadi melewati tiap baris dengan tenang, tidak terburu-buru ‘melompat’ ke paragraf berikutnya ataupun langsung terjun ke bagian epilog, seperti yang biasa saya lakukan tiap membaca cerita yang membosankan.
Ternyata keseluruhan artikelnya indah, Mba. Keren! 🙂
lg blogwalking ke blog nya mba jihan. ga tahan komentar sama kejadian pertama. diskusi yang sama (nikah setelah lulus vs kerja setelah lulus) di tempat yang sama (balsem). dan anehnya, saya dan teman yang pengennya kerja dulu sampe “sukses” malah married lebih dulu daripada teman2 yang ingin nikah setelah lulus. bener2 deh manusia cm bs berencana, tuhan yang menentukan 😀
Iya yah, seru kan kalau diingat-ingat? 😉