Cerpen Majalah Femina, edisi no.24/2012
Namanya Aryana. Tetangga baru, persis depan rumahku. Seorang perempuan muda yang di suatu sore datang mengendarai sedan mewah seorang diri. Turun dengan anggun dari dalam mobil. Memasuki pintu rumahnya pertama kali dengan membawa beberapa buah koper besar seorang diri.
“Saya Aryana, Mbak. Penyewa baru di rumah depan.” Sapanya dengan manis saat mengantarkan sebuah kotak kardus berisi kue tar yang bersematkan nama sebuah toko kue yang mahal.
VERSI VLOGnya sudah ada ya buat yang mau baca pakai background music dan gambar 😉
“Terima kasih Mbak Aryana. Aduh repot sekali. Mari, silakan masuk.” Aku menerima hantarannya dengan gelagapan. Dia cantik sekali. Meskipun hanya mengenakan blus sederhana berwarna merah marun dengan dandanan seadanya. Sementara aku, yang mengira pintu rumah diketuk oleh seorang kurir, muncul di hadapannya dengan daster harian dan rambut digelung keatas seadanya.
“Terima kasih, Mbak. Saya sekalian ada perlu mau pergi tadi. Ini mau nganterin ini aja. Mari Mbak, saya permisi dulu.” Dia mengangguk sopan dan melangkah pergi.
***
Rumah di depan rumahku sudah lama kosong. Hanya sesekali pemiliknya, seorang pria tua perlente yang berpostur tinggi besar, datang menengok. Sampai sekarang aku pun tidak mengenal bapak itu sama sekali.
Sebulan pertama dia tinggal, aku sudah mulai hapal. Dia berangkat kerja jam 8 pagi. Menyetir sendiri. Bunyi deru mesin mobilnya akan terdengar lagi pukul 7 atau 8 malam. Bahkan di jumat sore pun, dia nyaris tidak pernah terlambat tiba di rumah. Selalu seorang diri.
Sabtu pagi dia akan pergi. Entah kemana. Dan mobil yang sama akan membawanya kembali di hari minggu sore. Tanpa seorang pun pernah terlihat menemaninya.
Beberapa bulan berlalu. Aku mulai terbiasa dan tidak terlalu menggubris apa saja yang dikerjakannya. Setiap pagi kami biasanya saling menyapa saat aku akan mengantarkan kedua anakku ke sekolah.
Dia biasanya asyik berkutat di taman kecil di halaman rumahnya. Saat aku memarkir mobilku kembali dari sekolah, dia pun sudah duduk di belakang kemudi siap ke kantor. Klakson mobil kadang menjadi pengganti sapaan rutin kami.
“Wah, hari ini gak mendung. Cuaca bagus. Yang pinter ya di sekolah.” Kadang dia menyapa dengan sangat ramah. Atau sekedar melambaikan tangannya beberapa kali. Atau mengangkat jempol sambil mengedipkan mata pada anak-anakku. Pokoknya tidak pernah terlihat tidak acuh.
Tapi tak pernah berkembang lebih jauh. Kadang aku ingin mengundangnya ke rumah. Atau aku yang ingin duduk ngobrol bertamu di rumahnya. Tapi kapan, ya?
Tetangga yang lain pun tidak terlalu peduli dengannya. Hidup di kompleks kecil di tengah kota pun tak punya banyak waktu untuk saling menyapa.
Paling pernah sekali tetangga samping berbisik-bisik padaku saat di suatu akhir pekan, “Eh Mbak Mala, itu tetangga depanmu siapa namanya? Andina, ya? Gadis apa janda, sih?”
Aku cuma tersenyum dan menjawab singkat, “Namanya Aryana, Mbak.”
***
Dengan dua anak yang berusia 6 tahun dan 3 tahun, waktuku banyak tersita untuk mereka. Awalnya berhenti bekerja kantoran membuatku sedikit iri pada kebanyakan penghuni perempuan kompleks kecil kami yang masih berstatus sebagai pekerja kantoran.
Dari 12 keluarga di pemukiman yang dikenal dengan istilah townhouse ini, hanya perempuan depan rumahku itu yang terlihat tinggal sendiri.
Aku senang dia cukup ramah dan rajin menyapa. Ingin juga rasanya punya sahabat untuk berakrab-akrab di dalam kompleks. Repot juga rasanya kalau tiap kali ingin mengobrol santai harus menelepon sahabat-sahabatku, yang selain tempat tinggalnya cukup jauh, mereka pun rata-rata masih kerja kantoran
Tapi sepertinya perempuan yang selalu berpenampilan rapi itu sudah punya jadwal sendiri. Rutinitasnya tak membukakan kesempatan untukku agar bisa mengenalnya lebih jauh lagi.
***
“Mbak Mala, Mbak Mala, bentar, deh.” Seorang Ibu, yang tinggal di rumah paling pojok, memanggilku dari teras rumahnya.
“Iya, Mbak Rina. Ada apa?,” aku menghentikan mobil di depan rumahnya dan membuka kaca jendela.
“Itu, Mbak. Tetangga depanmu. Arina siapa gitu namanya, ya? Dia itu ternyata perempuan simpanan, lho. Tau Pak Hendy, kan?”
“Pak hendy?”
“Pak Hendy, yang udah tua tapi masih keren itu, lho.” Mbak Rina cekikikan sebentar. “Pak Hendy yang punya rumah itu. Masa Mbak Mala gak tahu, sih.”
“Oh, namanya Pak Hendy.” Aku menggumam pelan.
“Eh, masa Mbak Mala gak pernah lihat. Seminggu terakhir ini kan, Pak Hendy suka dateng ke sana. Satpam kompleks yang cerita. Terus ada juga satu laki-laki yang mudaan. Ganteng juga. Duh, cantik-cantik kok gitu, ya. Dua lho sekaligus. Ampun, deh. Ternyata, ya. Kelihatannya sempurna, tapi…” Mbak Rina mencibirkan bibirnya setelah bercerita penuh semangat.
Aku terdiam sesaat. Dengan wajah kebingungan, aku hanya menjawab pendek. “Oh, begitu”
“Ya udah, Mbak Mala nanti perhatiin, deh. Baru-baru ini aja kok dia sering kedatangan tamu. Perhatiin deh kalau malam. Dan katanya sih, sekarang dia agak kurusan. Mungkin stres. Pusing mau putusin yang mana.” Mbak Rina tertawa sinis.
Aku masih bingung mau menjawab apa. “Ya udah, kalau begitu, Mbak Rina. Terima kasih infonya. Saya permisi dulu.” Aku berusaha menanggapi sesopan mungkin. “Oiya, namanya Aryana.” tukasku pendek sebelum menaikkan kembali kaca mobil dan berlalu dari hadapannya.
***
Dua minggu terakhir ini memang aku tidak lagi berdiam di rumah. Aku diterima menjadi tutor di sebuah lembaga bahasa inggris yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Lumayan, pikirku. Anak-anak ke sekolah dengan bus antar jemput sekarang.
Aku sendiri tiap pagi sibuk depan laptop. Menyiapkan atau mempelajari materi kursus. Saat sore atau malam tiba, sudah malas mengintip lewat jendela yang sering aku lakukan saat masih banyak waktu luang tersisa.
Ternyata memang ada yang berubah. Malam itu, aku mendengar deru mesin mobil menjelang pukul 10 malam. Tergesa aku menyibak perlahan gorden di kamar tidurku. Kisah dari Mbak Rina tadi mendorongku untuk kembali mematai-matai gerak gerik si tetangga depan ini.
Seorang pria paruh baya yang sudah kukenal turun dari mobil. Betul, dialah pemilik rumah depan itu. Jadi, apa benar?
Bukan itu satu-satunya perubahan yang bisa aku tangkap. Perempuan itu muncul di teras rumah dengan potongan rambut berbeda. Dia memangkas rambutnya. Sangat pendek. Wah, padahal aku tergila-gila dengan rambut panjangnya yang hitam legam dan lebat. Tapi, dengan bantuan cahaya lampu terasnya yang benderang, aku bisa melihat…dia tetap cantik. Masih sangat cantik. Dan dia juga terlihat lebih kurus. Apa pengaruh potongan rambutnya, ya?
Pagi itu, aku mendadak kangen ingin berbasa basi dengan perempuan itu. Aku menemani anak-anakku menunggu jemputan mereka datang. Dia muncul. Bukan cuma rambut pendeknya yang menyita perhatianku, mukanya lebih pucat.
Dia hanya tersenyum datar saat aku melambai ke arahnya. Oh, sikapnya pun sudah berubah.
Aku kecewa dan seketika mengurungkan niatku untuk menghampiri dan menyapanya. Dia langsung membuka pintu mobil dan melesat pergi. Dia berangkat lebih pagi. Dia tampil kasual dengan celana jeans dan kaos berwarna putih. Biasanya selalu mengenakan setelan kantoran yang chic yang sering membuatku berpikir untuk bertanya dimana dia membelinya. Dan iya, dia memang tampak lebih kurus.
Jangan-jangan dia sudah tahu
bila dirinya sedang menjadi omongan tetangga. Apa dia merana? Entahlah, aku tak pandai menilai orang. Tapi hati kecilku merasa omongan Mbak Rina tempo hari tidak benar. Setidaknya itulah yang aku harapkan.
Seiring dengan perubahan drastis pada sikapnya padaku dan penampilan fisiknya, dia mulai terlihat jarang di rumah. Akhir pekan rumah depan pasti kosong.
Kadang tetap menyetir seorang diri dengan sedan mewah yang sama. Kadang diantar oleh si Bapak pemilik rumah yang diduga kekasih gelapnya. Tapi sering juga dia dituntun turun oleh seorang lelaki yang terlihat seumuran dengannya. Seorang pria ganteng, seperti celoteh Mbak Rina tempo hari.
Dia tidak segesit biasanya. Dia masih sering terlihat turun sendiri dari mobil. Tapi kadang pria muda itu yang membukakan pintu mobil dan menuntunnya turun. Sakitkah dia? Aku merasa iba. Tapi jika mengingat kabar tak sedap tentangnya yang berhembus makin kuat, aku jadi bingung lagi.
Akhir-akhir ini dia terlihat lebih sering mengenakan tutup kepala. Suasana malam yang gelap dan teras rumahnya yang sering dibiarkan tanpa cahaya lampu membuatku agak sulit melihat dengan jelas.
Saat aku bercerita pada suamiku, suamiku hanya memberi nasihat pendek. “Sudahlah, gak usah ikut-ikutan. Belum tentu benar, kan? Kalau penasaran, sana, tanya langsung ke orangnya. Tapi yang sopan.”
Berhari-hari aku mulai mengumpulkan keberanian untuk mencoba mengobrol dengannya. Aku menyesal. Dulu aku punya lebih banyak kesempatan. Sayangnya, saat keberanian itu sudah mulai terbentuk, dia mendadak jarang terlihat lagi. Sebulan terakhir ini, rumah depan seperti rumah kosong lagi.
Sampai pada suatu sore, pria muda yang sering terlihat datang bersamanya, muncul tiba-tiba di depan pintu rumahku.
“Mbak Mala?” ujarnya sopan saat aku membuka pintu. Aku bengong.
Dia tersenyum sambil menyerahkan sebuah bungkusan padaku. “Ini dari Mbak Aryana, kakak saya. Katanya udah lama mau ngasih, tapi lupa terus.”
“Mbak Aryananya emang kemana? Kok jarang kelihatan?” Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Sekarang sudah dirawat di rumah sakit, Mbak. Mbak Aryana sakit. Selama ini hanya berobat jalan, sekarang sudah berat mau bolak balik.”
Aku sempat terpaku tapi buru-buru tersadar. “Oh, begitu. Wah, berarti kontrakannya udah selesai dong.” Aku menjawab canggung dan merasa kalimatku barusan tidak nyambung.
“Rumah depan kan rumah Ayah kami, Mbak. Iya, sepertinya abis ini mau dikontrakin ke orang lain saja. Mbak Aryana sudah tidak akan tinggal disini lagi.”
Sebelum aku sempat merespons, pria muda itu langsung pamit.
[catatan : INI ADALAH CONTOH CERPEN MAJALAH FEMINA]
“Maaf Mbak, saya perlu mengambil barang-barang Mbak Aryana. Permisi, Mbak. Terima kasih, ya. Salam katanya buat anak-anaknya Mbak Mala. Raka dan Falisha, ya? Disebut-sebut terus sama kakak saya, jadi ingat.” Dia menerangkan panjang lebar sebelum beranjak pergi meninggalkanku yang diterpa kebingungan.
Aku meletakkan begitu saja bungkusan yang aku terima barusan. Terduduk dengan perasaan campur aduk di sofa ruang tamu. Aku lega, ternyata dia bukan perempuan simpanan seperti sangkaan orang-orang selama ini. Tapi sekaligus sedih. Ternyata benar, kondisi fisiknya akhir-akhir ini memperlihatkan dengan jelas. Dia memang sakit. Bodohnya aku.
Ketika aku merasa perlu memberitahu Mbak Rina dan penghuni kompleks lain mengenai kedatangan si pria muda itu ke rumahku, aku dikagetkan oleh hal lain. Aku bukan satu-satunya orang yang mengetahui soal kebenaran si penghuni rumah depan itu. Bahkan, ada banyak fakta lain yang aku baru tahu. Lagi-lagi dari Mbak Rina.
“Si Marina itu ternyata anaknya Pak Hendy. Laki-laki yang satu lagi itu saudaranya ternyata. Itu yang cerita supirnya Pak Hendy. Dia suka ngobrol ama satpam kita. Supirnya itu udah kerja lama di sana. Denger-denger udah 20 tahunan lebih.”
“Namanya Aryana,” potongku.
Mbak Rina mengibaskan tangannya. “Ya, siapa lah. Ada yang lebih hot, nih.” Mbak Rina merapatkan duduknya ke arahku. “Dia itu kanker kata supirnya. Si Andina, eh siapa tadi, Arini, ya? Dulu dia itu SMA ampe kuliah di Australia. Bandel katanya. Sekitar 3 tahun lalu dia pulang, udah sakit waktu itu. Mamanya stres, gak kuat. Terus meninggal setahun lalu. Makanya bapaknya kesel jadi si Maryana itu diusir dari rumahnya.”
“Kanker?” Aku bergidik.
“Iya, Mbak Mala. Kata supirnya sih, dia ngaku ke orang tuanya kalau dia pernah aborsi ampe 5 kali gitu, deh. Idih, kanker rahim itu kayaknya, sih. Makanya jadi orang jangan macam-macam, deh. Sayang punya wajah cantik, anak orang kaya, gak pinter bersyukur. Kualat deh hidupnya.”
Mungkin memang benar cerita-cerita itu. Konon kata bapak satpam kompleks kami, si supir ini tahu lengkap ceritanya. Bahwa bapak pemilik rumah di depanku itu murka karena istrinya memendam sakit hati yang teramat dalam karena kelakuan putrinya. Sampai akhirnya meninggal dunia. Masih untung, si bapak mengizinkan putrinya tinggal di salah satu rumah kontrakannya.
Ketika mengetahui putrinya sudah sekarat dan mulai menjalani kemoterapi yang intensif, si bapak melunak. Bergantian dengan anak laki-lakinya, dia sering mengantar putrinya berobat. Kemarahannya belum sepenuhnya sirna karena dia masih belum mengizinkan putrinya kembali ke rumah. Entah sekarang bagaimana.
Hanya sekitar setahun dia tinggal beberapa meter di depan rumahku. Tak adil aku menghakimi tahun-tahun kehidupannya yang lain. Bukan urusanku bagaimana dia menjalani kehidupannya sebelum muncul dan memperkenalkan diri di pintu rumahku.
Kalau aku yang berada di posisinya, mungkin aku sudah lama gantung diri. Malu aku sering mengeluh dengan bosannya kehidupan yang aku jalani sehari-hari. Sungguh tak mengerti bagaimana dia tetap mampu menyisihkan perhatian untuk kami.
Airmataku menitik jatuh di atas bingkai foto yang sedang aku pegang. Itu bingkai foto yang aku temukan saat membuka bungkusan yang aku terima beberapa hari lalu. Dari pria itu. Pria yang mengaku adik Aryana.
Sebuah fotoku dan anak-anakku. Nampaknya diambil dari jendela rumahnya. Dia memotret kami diam-diam. Aku lagi berjalan ke arah mobil, menggendong anak bungsuku dengan satu tangan dan mendekap anak sulungku dengan tangan satunya lagi. Aku tidak ingat kapan foto itu diambil.
Namanya Aryana. Sosok yang menyadarkan aku bahwa hidup memang tidak sesempurna yang terlihat.. We don’t judge others, for often, we don’t know the whole story. Biarlah kabar burung yang menyita perhatian kami semua menjadi urusannya dengan Tuhan. Terserah seperti apa buruknya dia di mata orang lain, aku cuma tahu satu hal yang pasti, namanya Aryana.
Cerpen Majalah Femina, edisi 24/2012
Judul : Namanya Aryana
Oleh : Jihan Davincka
Cerpen Majalah Femina lainnya –> Cerpen “Tiga Rahasia” (by : Jihan Davincka)
***
ih bagussss….
kerenn…
bagusssss….hi jihan…apa kabar, sy teman smp jihan dulu di smp 6 makassar…pastinya jihan tdk tau soale kita ndak sekelas….cuman sy tau jihan….cewek paling pintar di angkatan
pd saat itu….*hati hati ada yg gd kepala* wk wk wk
Yang namanya Ani banyak sekali, gang hehehehe. Ada Ani di 3E (Andryani), ada Ani 3D (Asriyani), ada juga Ani 3B (lupa ka’ nama panjangnya). Kita’ ini Ani yang mana? 😀
idiiiihhh bagus banget…jd ngefens nih..tulisannya bagus2 ya
Idiiiiihhhh jadi geer banget…jadi seneng nih hehehehe 😀
🙂 pernah baca di majalah femina. Suka sekali. tapi gak ngeh nama pengarangnya.
Eh mbak Jihan toh :). Bagus mbak .
Terima kasih :).
Kereennn mbak …setuju,, kita tak berhak menghakimi kehidupan orang lain,ya 🙂
Aah,..
lagi2 si mbak satu ini membius_ku dg tulisan’y..(y)
love it mba..
salam eknal
Terima kasih. Salam kenal juga ^_*
Selamat mbak Jihan
Jangan pernah menilai/menghakimi orang lain kalau kita tidak tahu cerita sebenarnya. Begitu kan yah mba… 🙂
btw, salam kenal …
dibuat ftv keren nih..
mantap banget
Ceritanya hebat
cerpen yang indah…
Baru bacaaa,dan bagus banget,mba.
Hiks, nampol banget untuk memberi batas jelas antara hidup kita dan hidup orang lain yg baru dikenal dan jangan saling menghakimi
Makasii mba Jihan untuk tulisannya..
Asiikkk bgt..keren mbak jihan.. Mm btw sy dr dl pengen bgt bs nulis cerpen mbak..tp kebanyakan ga pe de nya..udh pernah nulis sampe puluhan lembar lebih,tp tulisanya berakhir d tong sampah..hehehehe pengen bgt bs nulis kyk mbak jihan.. 🙂
Bagus banget, keren n inspiratif.
Duh, pengen nangis bacanya mbak :'(
bagus cerpennya…
Terima kash ya 🙂
Sumpah mbak kerennnnnn banget. Jatuh cinta sama cerpennya. Jadi makin semangat nulis, walaupun masih pemula heheheh
Thanks ya 🙂
Cerpennya keren banget mbak, makasih banyak ya, info syarat cerpen femina/kartini dan contoh cerpennya. Kebetulan saya punya beberapa cerpen bertema rumah tangga dan ingin dikirim ke Femina. Cerpen mbak Jihan ini bisa saya jadikan referensi. Salam kenal.
Ayo dikirim kirim :D. Good luck ya Mbak :).
Keren kak! Aku suka bgtt! Aku baru aja ngirim nih, mudah2an cerpen ku keterima yaa. Akhir2 ini aku mulai nyoba nulis. Dan aku pikir2 dari pada cuman disimpen di laptop, kenapa ga nyoba ngirim ke majalah2 aja hihi. Oke deh kakk, suksed terus kak! 😀
Good luck ya ^_^
Good luck ya ^_^
Akhir cerita bikin hatiku sesak, love it 😀
Salam kenal mba Jihan
ceritanya bagus, sampe merinding bacanya