Banyak sindiran terhadap hasil penelitian kejahatan seksual kepada perempuan di banyak negara. Lho kok hasilnya malah negara-negara maju yang di peringkat teratas?
Terus jadi jumawa, “Ih katanya kesetaraan. Manaaaaa, kok banyak laporan kejahatan seksualnya?”
Itu masalahnya. DIHITUNG BERDASARKAN LAPORAN.
Di Indonesia sendiri, masih ingat tidak ada berita seorang perempuan diperkosa oleh kakak iparnya sendiri. AKhirnya dia berani melaporkan ke polisi setelah 3x kejadian.
Boro-boro dibelain, komen-komennya ampun deh .
Mayoritas (yang juga sesama perempuan lho) menyalahkan perempuan. “Masa udah 3x baru lapor. Itu doyan kali.”
Tentu kulangsung mengamuk di thread yang bersangkutan!
Di Hollywood sendiri heboh skandal besar tahun lalu soal seorang produser ternama yang dilaporkan oleh banyak perempuan terkait pelecehan seksual?
Bahkan selevel negara Amerika Serikat pun warbyasak komen-komen netijen . Tidak sedikit orang yang menuduh para pelapor yang kebetulan mayoritas sekuter (selebriti kurang terkenal) hanya ingin cari sensasi.
Ada juga yang menuduh ini adalah konspirasi untuk menjatuhkan perusahaan si pelaku yang emang lagi jaya-jayanya.
Ternyata, ada juga seleb perempuan papan atas yang menjadi korban dan akhirnya mau mengaku. Walau beberapa memilih “memaafkan” dan tidak mau nama mereka dibawa-bawa lagi .
Salah seorang teman saya (perempuan) berkomentar, “Kok ya ndak malu ya tu perempuan lapor-lapor kayak gitu? Kan kasihan orang tua kita, keluarga kita, mereka pasti malu, kan?”
Saya kaget juga. Yang berkomentar ini tergolong punya pendidikan tinggi dan gaya hidupnya cukup “modern”. Orang “kota” pendidikan tinggi saja mikirnya masih begini.
Perempuan tidak ditempatkan sebagai “korban” . Malah dianggap hilang kehormatan dan bikin malu keluarga.
Saya pernah mengalami pelecehan seksual di KRL Ekonomi. Masih gadis, masih bekerja kantoran.
Sebagai software developer, kadang memang perlu pulang malam apalagi kami ini in-house developer, internal user. Tunggu user bubaran dulu baru bisa utak atik.
Waktu itu pulang sendiri. Sering sih memang pulang sendiri.
Kereta lewat Cikini pukul 19.30, enggak malam-malam banget lah. Saya pernah pulang subuh lho gara-gara kerjaan.
Kalau lagi sendiri, saya malas duduk di dalam takut ketiduran. Jadi berdiri dekat pintu. Biasanya memang orang berjubel di pintu walau di dalam lowong.
Kayak hari biasa saja. Samar-samar ingat ada laki-laki di belakang yang entah kenapa selalu berusaha lihat muka. Saya geser saja. Nah, mungkin dese ngikutin terus. Soalnya saya malas nengok-nengok lagi.
Kalau ditempelin dari belakang juga sudah biasa kalau naik KRL Ekonomi. Baru nyadar pas turun, enggak sengaja menyentuh celana bagian belakang. Kok basah? Kirain air tapi kok lengket.
Karena sudah lapar banget ya mampir makan dulu. Tiba di kos baru saya cek benar-benar. Aduh! Panik sendiri. Celananya saya lempar ke tempat sampah.
Waktu itu kesal dengan diri sendiri. Kok bisa lho digituin orang enggak nyadar sama sekali .
Besoknya langsung curhat ke teman-teman dekat. Responsnya asoy sekali. “Lo lagi ngapain waktu itu? Baju lo kali? Lo senyumin kali jadi dia geer? Makanya jangan pulang malam-malam. Nyetir sendiri aja, beli mobil, gue udah bilang bahaya naik kereta. Resign aja say cari kerjaan lain atau lo pindah kos.”
Nobody asked about who could that be. How I felt . Hopeless banget mana saya sama sekali tidak lihat siapa orangnya. Tidak habis pikir kok sempat-sempatnya ya tu anj*ng .
Solusinya juga zzzzz .
Memilih enggak cerita ke Mama dan kakak-kakak. Jauh semua. Ya apa juga gunanya. Nanti malah khawatir terus disuruh berhenti kerja. Lah terus bayar kosnya pakai apa? Pakai daun? Haeeeee sobat misqueenque *menyapaDiriSendir* .
Ya waktu itu bisa apa, sih. Berusaha dilawan saja traumanya. Toh besok-besok tetap harus naik KRL Ekonomi juga. Cuma sejak itu, kecuali emergency, saya selalu nyari teman kalau pulang kantor.
Terus baca kasus pelecehan seksual di kampus yang lagi ramai beberapa hari terakhir saat tulisan ini dimuat. Di kampus saja penanganannya berat, ya. Apalagi cuma pelecehan selevel dimuncratin sperma di kereta .
Makanya jangan geer kalau ternyata laporan pelecehan seksual di negeri sendiri tergolong rendah.
Ya lihat saja respons lingkungan belum lagi dari sisi penegakan hukum. SIAPA YANG MAU MELAPOR KALO KAYAK GINI MAH? . Bukannya dihibur, dikasih semangat, dibantu, malah disalah-salahin, dianggap bikin malu dst dst dst.
Perempuan bukan gender kelas dua.
Bahkan tantangannya justru dari sesama perempuan sendiri kadang-kadang. When are we gonna learn?
Shi**y commentators and shi**ier pelaku. Suka kesel sama benar2 gak habis pikir kalo korban selalu disalahkan. APalagi bagian ituh tuh mba baju kita, dll. Erghh…
Hugs.