So You Wanna Fly?

Pasca serangan bom dan aksi terorisme di Kota Surabaya minggu lalu, pemeriksaan mendadak ketat seharusnya dianggap wajar saja. Sayang kok bisa jadi ramai ya? :(.

Yang disesali juga banyak diantara teman yang sama-sama diaspora dan sudah pernah ke mana-mana kok juga ikut mengkritisi dengan ucapan misalnya, “Ih, gimana cobak perasaan kita kalau digituin?”

Laaaaah, kelian-kelian sudah pasti ke sana sini naik pesawat mampir bandara dulu toh yaaaaa. Masa iya di bandara mau naik pesawat enggak pernah mengalami pemeriksaan ketat begini? Apalagi di level bandara, tempat lalu lalang segala manusia dari mana-mana mau ke mana-mana .

Jadi kita ngobrol santai soal pengalaman di bandara saja ^_^.

Naik pesawat

Pasca bom di Brussel, malah bandaranya ditutup selama beberapa hari. Istanbul yang lebih “berani”.

Saya mendarat di Istanbul, 28 Juni 2016 itu sekitar 2-3 jam sebelum bom meledak di salah satu sudut bandara di wilayah kedatangan. Turki termasuk sigap karena penerbangan kayaknya cuma delay dalam waktu 24 jam. Selanjutnya kembali normal senormal-normalnya .

Saya pulang 3 hari setelahnya kondisi sudah sangat kondusif. Hanya saja di Bandara Turki memang pemeriksaannya ketat. Kalau kita di Soetta-Jakarta, ceknya kan sebelum check in, di Istanbul, SEBELUM MASUK GEDUNG bandara sudah kudu copot-copot jaket-sepatu segala macam.

Suami saya pas ke Istanbul 2013 juga gitu.

Topkapi Palace, Istanbul 2016

 

Tapi paling ketat memang imigrasi Amerika Serikat.

Waktu menuju New York dari Dublin, kita melewati imigrasi lebih awal. Di Bandara Dublin untuk penumpang menuju US, ada Imigration Pre-Clearance. Jadi diperiksanya di Dublin. Mendarat di New York tinggal lenggang kangkung.

Paspor suami dan anak-anak cuma diperiksa sekilas. Punya saya diserahkan ke petugas lain dan diteliti lebih lama. Enggak usah baper. Paling cuma random-check kata suami. Soalnya saya sempat sebal sebentar, nunggu agak lama, karena paspor saya dicek gonta ganti oleh beberapa petugas.

Saya juga diperiksa agak lama terkait jilbab/scarf/pashmina di kepala. Karena banyak instruksi yang harus dipenuhi TANPA kita perlu membuka. Makanya agak lama.

Setelah check in, Bandara Dublin juga termasuk ketat, sih. Ke mana pun tujuan, ribet lah itu disuruh lepas-lepas sepatu. Bongkar-bongkar tas untuk ngeluarin gadget, bahan-bahan liquid dan segala macam tergantung aturan bandara terkait.

Nah, pas kemarin Maret saya mudik ke Jakarta kebetulan pakai jaket tapi di dalamnya lengan pendek. Gak bisa dilepas.

Saya minta dispensasi langsung dikasih, kok . Gak pakai berantem. Saya tidak perlu lepas jaket.

Tapi sepatu tetap harus buka. Karena cuma berduaan sama si bontot, anak saya dijagain sama penjaga perempuan while emaknya ribet bongkar isi tas segala macam. Ngelipet stroller dibantuin .

Penumpang lain juga sigap membantu biasanya kalau melihat ada penumpang ibu-ibu sorangan bawa batita kayak saya .

Maklum bawa anak kecil jadi banyak botol-botol an segala minyak-minyak an kan kudu bawa hihihihi. Itu harus dikeluarin dari tas. Kalau enggak nanti tas kita dibaliikin lagi untuk diperiksa ulang.

Salah satu petugas tahu-tahu bilang, “Assalamu alaikum”.

Saya tanya agak ragu, “Moslem?” (Soalnya dese laki-laki bule tanpa ada tanda-tanda campuran ras).

Transit di Bandara Abu Dhabi 2013, dari Jakarta menuju Dublin pertama kalinya :D. Anak masih 2 hahahaha.

 

Dia nyengir, “I’ve ever been in Malaysia for a while.” Dese pikir “Assalamu alaikum” itu “Hai, apa kabar” dalam bahasa Malaysia .

“Ooo I see. I’m from Indonesia anyway.”

“Wow Indonesia. Bandung, Bandung.”

Tuh enggak usah tegang. Tetap kita lakukan selama itu memang aturan setempat dan dilakukan sesuai juklak. Malah jadi mengobrol sambil promosi tipis-tipis soal Indonesia (kalau ada yang nanya ).

Di Abu Dhabi tergolong simpel. Biasanya tidak perlu buka sepatu malah. Saya lupa-lupa ingat yang dulu-dulu gimana. Maret kemarin tergolong rileks melewati imigrasi di Abu Dhabi.

Di Arab Saudi juga ketat. Pemeriksaan buat perempuan ada ruangan khusus. Jadi kita ke dalam nanti diperiksa lebih lanjut oleh petugas perempuan. Kondisi normal sekali pun pemeriksaannya tetap begini.

Kalau bareng suami, di Saudi saya santai saja. Dengan bentuk fisik suami yang mirip orang Arab, jarang lah dapat masalah berarti di tempat publik termasuk bandara. Paling banter yang bikin pedih karena eike sering disangka pembantunya hahahaha #remesAbaya.

Di Iran apalagi. Tapi waktu di Iran memang kami ada masalah dengan agen dan akhirnya suami sempat “diputihkan” karena melanggar aturan imigrasi terkait izin kerja. Ekstra tegang jadinya hahahaha.

Pengin sujud syukur rasanya waktu berhasil melewati imigrasi karena paspor dibolak balik agak lama huhuhu.

Bareng si sulung yang masih setahun hehehe (Teheran, 2009)

 

Tapi tetap tidak sebanding lah kerepotan yang harus kita hadapi sebelum benar-benar boarding dan “melihat dunia”, yes? . Anggap saja bersusah-susah dahulu, berpiknik-piknik kemudian. Apakah lantas benar kalau banyak terbang, banyak piknik, pola pikir bisa rileks?

Sayangnya, tidak begitu juga .

Intinya tetap sama, peace comes from within . Kalau pikiran banyak prasangka ya disuruh hal-hal simpel macam lepas sepatu saja mungkin bisa mendidih.

Kabar baiknya, we are the master of our mind .

So you wanna fly? Remember this,

““Though we travel the world over to find the beautiful, we must carry it with us, or we find it not.” ― Ralph Waldo Emerson