Saat Irlandia dilanda bencana kelaparan yang mengerikan di pertengahan abad ke-19, tidak sedikit orang tergopoh-gopoh menuju tepian laut. Berhimpitan dalam kapal membawa barang seadanya dan segenap keluarga yang masih hidup.
Hendak melabuhkan harapan baru saat situasi tidak lagi mungkin bisa dihadapi di negeri asal. Beramai-ramai menuju Amerika Serikat.
Makanya tuh, di belahan Utara Amerika Serikat banyak pendatang asal Irlandia . Film Far and Away yang jadi tempat cinloknya Tom Cruise dan Nicole Kidman, salah satu yang menggambarkan perjuangan para pendatang asal Irlandia di US.
Di Boston, perayaan St Patrick’s Day yang merupakan perayaan utama Bangsa Irlandia juga dirayakan besar-besaran .
Mundur ke belakang pun, saat isu anti Yahudi terus menggeliat, banyak kaum Yahudi yang terusir ke sana. Mereka dibujuk agar mau meninggalkan Eropa dan memulai hidup di benua baru.
Saat perpecahan Protestan dan Katolik pun, sebagian terusir dan meninggalkan daratan Eropa menuju Amerika.
Terus berlanjut hingga abad ke-20. Dari biografi Pamela Mountbatten, sepupu dari Ratu Elizabeth II, saat perang Dunia ke-2 memanas dan kembali sentimen anti Yahudi dihembuskan, dia bersama kakak perempuannya diungsikan ke Amerika Serikat.
Pamela ditengarai masih punya darah Yahudi dan ditakutkan akan menjadi sasaran isu SARA imbas Perang Dunia II.
Jadi Amerika Serikat memang sering menjadi “tempat buangan” hahaha . Orang-orang terbuang inilah yang bekerja keras menaklukkan tanah baru dan terbilang sukses. Suksesnya menular ke mana-mana dan menginspirasi “The American Dream”.
Eropa, terutama wilayah barat, memang berbeda dengan Amerika Serikat. Eropa dalam beberapa hal lebih ‘kaku’. Sementara di Amerika Serikat, apa pun bisa saja terjadi. Konon, siapa pun yang bekerja keras, akan punya kesempatan yang sama menaklukkan kerasnya hidup.
Sementara di Eropa, keinginan begini mustahil terwujud. Eropa sangat ketat urusan beginian. Amerika Serikat lebih “cair.”
Tidak heran, pendatang asal Asia Selatan banyak yang menjadikan Irlandia sebagai batu loncatan saja. Begitu mereka sukses memilliki paspor Irlandia, mereka akan segera berlayar kembali, menuju sasaran utama mereka, Amerika Serikat.
Kata salah satu teman saya, “Hidup di India sangat berat. Tapi itu tanah asal kita. Saya bahagia di India meskipun repot. Tapi terus ingat anak dan masa depannya. Jadi, kami pindah ke sini. Selesai dapat paspor kami ingin pindah ke US. Di sana nanti, kami akan membawa orang tua kami untuk tinggal bersama kami.”
Mendapatkan paspor Irlandia memang tergolong mudah untuk ukuran Eropa. Enggak pakai tes segala macam. Mungkin karena bahasanya bahasa Inggris ya jadi cincay lah semua pasti bisa hehehe.
Merantau itu seperti 2 sisi mata uang. Kita bahagia bertemu orang baru punya teman-teman yang berbeda bertukar pikiran dan sekadar ocip-ocip ringan hehehe. Tapi hati pun galau meninggalkan keluarga di tanah kelahiran. Makanya banyak yang terpikir memboyong orang tua dan segenap handai taulan. Di US, hal itu sangat mungkin .
Rata-rata ya, pendatang ini hadir dengan semangat full tank. Tentu meninggalkan tanah kelahiran bukan hal yang mudah, lho. Walau sudah dicita-citakan tetap saja berat pas menjalani.
Apalagi memang merantaunya karena sebab yang lebih krusial. Misalnya mereka yang berasal dari negara-negara yang kurang beruntung secara ekonomi, politik dan sosial. Mereka mati-matian akan bertahan. APalagi yang lagi perang. Terbayang kan traumanya.
Di situlah konflik mulai muncul. Para pendatang yang mungkin sebagian sudah bertekad, “Sukses atau mati di negeri orang!” akan melakukan apa saja untuk berjuang di negeri impian.
Bekerja jauh lebih keras dengan gaji minimal misalnya. Kok mau, ya? Mereka mengejar harapan dan kesetaraan hal yang mungkin tergolong mustahil di negeri asal. Di negara-negara “maju”, fasilitas umum dan publik sangat bagus dan cukup merata. Apalagi di Eropa Barat, Kanada, Australia yang memang menganut sistem “welfare state/kesejahteraan bersama”.
Mereka yang “terhina” di negara asal ya pasti betah di negara maju. Eropa Barat misalnya, kalian pasti susah menilai mana yang miskin mana yang kaya hehehe. Pemerataan di banyak hal hampir sempurna . Tukang ngepel di mal saja bisa punya mobil sendiri, booooooo .
Warga lokal yang sudah terbiasa santai dan dari kecil mungkin kurang diperkenalkan dengan “situasi yang kompetitif” lambat laun akan kaget dan merasa terdesak.
Sementara perusahaan dan pemilik modal ya sesuai prinsip ekonomi sederhana, “Pengorbanan sekecil mungkin untuk hasil semaksimal mungkin.”
Ngapain bayar pegawai lokal mahal-mahal kalau bisa mendapatkan pegawai pendatang yang etos kerja lebih mumpuni malah kadang … kemampuannya juga lebih bagus.
Kata siapa orang Asia lebih bodoh? . Kurang disiplin mungkin iya hihihi.
Dari kecil, kita orang Asia sudah ditempa dengan pendidikan keras nan kompetitif. Kita terbiasa memberikan effort maksmal dalam berbagai hal. Kita merasa wajar bekerja lebih keras untuk hasil yang lebih baik.
Di sinilah masalah makin membesar. Orang lokal (Eropa dan mungkin US) dari kecil sekolahnya santai, kelak mereka bekerja apa pun juga ya tidak merasa terpengaruh.
SEmentara pendatang, dari kecil hidup mungkin sudah keras. Rata-rata mereka punya mimpi di atas rata-rata. Kalau pun orang tuanya hanya sanggup bekerja “informal” misalnya, nah nanti anak-anaknya digembleng biar lebih sukses.
Kombinasi dari sistem pendidikan mumpuni ala “western countries” dan didikan khas “Tiger Moms” dari emak-emak di rumah masing-masing hahaha.
Mereka mengadopsi perilaku santun orang lokal tapi tetap memiliki kemampuan akademis yang tinggi . Ini yang sebenarnya menakutkan buat orang lokal. Pendatang yang mungkin awalnya dicibir tidak punya manner ternyata bisa beradaptasi dengan budaya disiplin masyarakat lokal.
Ini beneran, lho. Di sekolah sini biasanya terbagi 3 kelompok di tiap jenjang kelas : Advanced, intermediate, basic. Hampir semua anak Asia berada di kelas Advanced hahahaha. Sementara orang lokal tidak terbiasa dan tidak terlalu peduli .
Pendatang generasi “home grown” tidak hanya berjaya di bidang informal. Mereka akan terus merangsek ke wilayah profesional.
Dari sini pembatasan terhadap kaum pendatang mulai dilakukan. Dianggap sebagai ketidakadilan. Karena memang sih, misalnya status refugee, itu hanya dianggap solusi sementara. Diharapkan kalau negara asal membaik mereka akan pulang.
Tapi manaaaaaaaa… Pakistan sudah puluhan tahun didera pertikaian internal. Not mention kasus korupsi yang merajalela di banyak negara berkembang . Alih-alih melawan, korupsi termasuk kejahatan yang makin ke sini tidak lagi dianggap tabu.
Sudah mati rasa, Cuy. Kita saja di Indonesia saban ada kasus korupsi, ya udah. Udah ditangkap. Sudahlah. Sabar saja, bla bla bla. Besok juga sudah pada lupa . Nanti terpilih lagi malah. Kalau enggak, anaknya, suaminya, istrinya, iparnya, atau keponakannya atau adiknya atau siapanya yang menggantikan.
Masyarakat di negara berkembang, dengan tingkat pendidikan kurang merata bahkan sangat minim, sangat labil secara emosional. Jangankan negara berkembang, negara maju pun yang kini menjadi bagian dari masalah ekonomi global juga sudah mulai panik, kan? .
Apalagi kalau kebutuhan dasarnya belum terpenuhi. Kemiskinan dan kesengsaraan sebagai akibat panjang dari ulah koruptor menjadi penguat ketidakstabilan di banyak negara berkembang. Lingkaran setan tak berujung.
Dodolnya, banyak negara maju malah mengail di air keruh. Untuk mencari uang banyak dalam waktu singkat, mereka itu ya, alih-alih mendamaikan malah jualan senjata cobak! .
Pemerintah resmi berdalih perdagangan senjata terjadi “di bawah tangan” alias ilegal. Omong kosong! .
Akibatnya ya lingkaran setan tadi. Perbuatan jahat ya akan berbalik ke diri sendiri. Lihatlah kini, limpahan imigran yang rata-rata datang dengan maksud permanen mulai mendatangkan sentimen sosial dalam masyarakat setempat .
Pemboman di Brussel tempo hari membahas masalah ini. Brexit adalah salah satu puncaknya. Dan makin disempurnakan dengan fenomena … Trump!
Saya percaya, pada dasarnya mayoritas manusia di muka bumi ini, mau suku, agama, warna kulit, asal, dan ras mana pun, menginginkan kedamaian dan kesejahteraan sosial.
Masalahnya, kita ini manusia yang secara default memang pakemnya sudah begitu. Tidak sempurna. Tiap saat kita harus bertempur dengan diri sendiri melawan hal-hal yang sering diistilahkan dengan 7 sins :
1. Kebanggaan
2. Ketamakan
3. Iri hati
4. Kemarahan
5. Hawa nafsu
6. Kerakusan
7. Kemalasan
Makanya, musuh paling berat untuk SEMUA manusia itu justru diri kita sendiri.
Tapi sekali kita percaya bahwa ada sesuatu di luar sana yang tidak terkalahkan yang akan menghancurkan kita semua tanpa mampu kita cegah, entahlah semacam monster atau apalah hehehe, kita tidak akan pernah ke mana-mana .
Penggemar teori konspirasi mana suaranyaaaaaaa hahaha. Propaganda model begini yang akhirnya menghalangi kita berpikir ke arah kemajuan karena udah lemes duluan, “Udahlah. Gak mungkin. Kita pasti kalah. Pasti! Pasti! Ada kekuatan besar tak terlihat nganu-nganu…”
Pada kenyataannya, banyak negara maju sudah hopeless karena seberapa besar pun uang yang digelontorkan untuk bantuan kepada negara bermasalah, ternyata terbukti 80% nya masuk ke kantong para koruptor. Ini kasus di Afghanistan .
Di Pakistan, para pejabat korup ini kabur membawa lari uang negara dan hidup nyaman di negara lain . Di Afrika lebih ngeri lagi. Karena isu perbedaan suku pun masih bisa diramu untuk kepentingan para penguasa nan tamak. Sudah nonton Hotel Rwanda? Itu kisah nyata ya btw.
Selama negara-negara maju menutup mata dan malah ambil kesempatan dalam kesempitan dan gejolak dalam negeri di wilayah negara lain, ya selama itu pula lingkaran setannya enggak akan kelar-kelar.
Coba saja. Kalian halangi negara lain untuk maju karena ketamakan dan kebanggaan ingin menjadi “penguasa dunia”, kelak akan berbalik ke diri sendiri. Betul begitu, wahai US dan Eropa? .
Penduduk di negara yang kalian “kerjain” suatu hari akan berbondong-bondong pergi meninggalkan negara mereka dan malah nyasar ke negara kalian hehehe.
Sebaliknya buat negara-negara berkembang dengan segabruk konflik internal, selama tidak pernah mampu mengurai persoalan utama dan terus menerus meributkan hal-hal kecil yang terus dipercikkan untuk membelokkan perhatian kita dari fokus masalah, ya kita akan begini-begini saja.
Terus terjebak dalam ketidakmampuan, kegagalan membangun, perasaan dizalimi sebagai korban, dan seterusnya.
Entahlah yang mana memengaruhi yang mana. Mumet, Cuy hehehe.
Ini belum masuk isu agama yang lebih sulit lagi. Karena dalam urusan agama, kadang rasionalitas sulit sekali dikedepankan. Asas “pokoknya” jauh lebih mudah akibat doktrin turun temurun dan propaganda “perasaan kalah” tadi.
Untuk agama Islam, Mas Khairun Fajri Arief punya tulisan bagus tentang bahayanya perasaan kalah ini.Β
Makanya, dalam kasus Trump, wait and see dulu sajalah. Kok belum apa-apa sudah ngeri duluan hehehe. Amerika Serikat bukan negara abal-abal. Mereka sudah berkali-kali membuktikan diri sanggup keluar dari kemelut besar di sama lalu .
Bukan cuma US kok ya. Jangan sedih. Semua negara punya kesempatan sama untuk maju dan berkembang. Asalkan…fokus .
Tetap tenang ya, teman-teman hehehe. Jangan biarkan ketakutan menguasai kita. Karena rasa takut itulah yang menjadi sumber dari berbagai malapetaka di dunia.
Does fear always work? Nope. It depends on you .
Back to the basic rule, musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Termasuk KEMALASAN mencerna berita dan situasi apa pun. Sifat tergesa-gesa karena dikuasai HAWA NAFSU dan KEMARAHAN. Chill out, Bro and Sis . Tetap waspada dengan segala bentuk provokasi .
βAn Idea is nothing but Information, It won’t do us any harm until we accept it as perception of truth in our mind, which in time will potentially evolve and construct major events in history.β
β Djayawarman Alamprabu, Feared Intellectualism
Wait and see .
Selama beberapa hari ini saya menikmati reaksi orang-orang yang panik, sebuah reaksi manusiawi yang menarik. Tapi saya setuju, emang sebaiknya dilihat aja. Siapa tahu malah Trump eksekusinya lebih baik dari Hillarry (secara tante ini juga gak bersih-bersih amat). Kalaupun gak bagus, saya mah nonton dari jauh aja, sambil ngunyah kacang.