For this whole week, I’ve been discussing about this with my husband. Dese kan orangnya memang pragmatis vs saya yang menurutnya terlalu ‘utopis’ hehehe.
Menurut suami, at some points, kita masing-masing pastilah memimpikan Dunia Utopis. Tapi sekaligus harus paham, dalam praktiknya, yang mana melibatkan banyak sekali manusia biasa (manusia yaaaaa bukan malaikat), itu adalah hal yang mustahil 🙂
Kita ngobrolin (dan kadang-kadang sampai berantem hahaha) soal penggusuran, spesifik soal Luar Batang, dan gaya kepemimpinan Ahok selama ini.
Kalau menurut suami, “Baca lebih banyak lagi sejarah. Pembangunan itu mustahil tanpa pengorbanan. There’s no such thing : maju bersama-sama. Itu mimpi lo aja.”
“Gak adil amat.”
“That’s life, Dear.”
Lalu mulailah dia mengoceh tentang Restorasi Meiji yang diiringi dengan berakhirnya era Samurai.
“Ya harusnya yang pro kekaisaran ngomong baik-baik aja ke Para Samurai untuk join jadi tentara Jepang.”
“Ngerti gak sih Samurai itu apa? Posisi mereka di masa shogun berkuasa itu kayak apa?”
Iya sih saya enggak terlalu tahu hahahaha. Mulai lagi dah dese dongeng sejarah kayak biasa.
Ternyata kaum Samurai itu semacam kalangan bangsawan ala militer. Mereka punya kedudukan penting dalam struktur sosial bermasyarakat.
Di masa sebelum reformasi berlangsung, Jepang adalah bangsa yang terkungkung dan terbelakang. Kedatangan banyak orang asing malah menimbulkan kegelisahan dan penolakan. Standar lah, orang lokal Jepang takut perubahan ;). Kita juga sering kan berada di dalam posisi yang sama.
Namun, orang asing datang tak terbendung hingga akhirnya menimbulkan konflik sosial dan ekonomi bla bla bla. Kaum Shogun pun terdesak oleh banyak konfrontasi.
Singkat cerita akhirnya muncul pemikiran untuk mengembalikan Jepang kepada pemerintahan “satu komando” di bawah satu kekaisaran yang sah dan berdaulat. Kaisar mah dari dulu juga ada, tapi cuma simbol saja. Dalam keseharian, para shogun ini yang menyebar di banyak daerah dan masing-masing punya wilayah kekuasaan sendiri-sendiri.
Nah, para Samurai yang jadi “tangan kanan” para Shogun itchuuu. Kalau diibaratkan kasta, Shogun = Kasta Bangsawan/warlord, Samurai = Ksatria. Sisanya ya rakyat jelata nan tidak terlalu penting.
Singkat cerita, Meiji lah yang akhirnya berusaha mewujudkan ide ini. Salah satu konsekuensi yang terjadi ya terhapusnya para Shogun dan kelas Samurai.
Tentu tidak segampang itu kaum Samurai takluk setelah selama ini mereka sudah mencicipi kemegahan hidup ala “Kasta Ksatria”. Namanya manusia biasa. Harga diri terinjak lah yaow. Jadilah mereka melawan habis-habisan. Dari sini suami menutup, “Nah dulu inget kan kita nonton The Last Samurai. Inget-inget aja lagi filmnya, kira-kira begitulah ending perlawanan Samurai.”
Tapi aslinya sih tidak semua kaum samurai nyolot. Ada juga yang akhirnya bersedia bergabung dengan kekaisaran atau minimal tidak menolak jika kelas Samurai pada akhirnya dihapuskan.
Yang tidak siap dengan perubahan pun tentu tidak sedikit. Dan begitulah hingga akhirnya Si Negeri Matahari Terbit mengawali kiprahnya sebagai raksasa ekonomi Asia. Roda pun terus berputar, nampaknya jatah “Matahari Asia” bentar lagi akan menjadi milik Si Negeri Tirai Bambu :D.
Saya sempat bilang, “Ya mbok sabar aja. Bujukin aja dulu satu-satu biar mau gabung baik-baik, gak perlu pakai kekerasan sama sekali.”
Suami saya malah ngakak.
Ya begitulah mungkin beratnya menjadi pemimpin. Keterbatasan sebagai manusia akan selalu mungkin dikonfrontasikan dengan situasi dan kondisi. Sementara…waktu akan terus berlari.
Mungkin, hampir semua keputusan akan seperti buah simalakama.
Ya karena itu juga kali tidak semua kita dilahirkan menjadi pemimpin 🙂
Leadership, adalah salah satu dari sekian banyak hal terpuji nan terhormat yang tidak begitu saja terprogram otomatis dalam sanubari setiap kita.
Berapa orang yang punya nyali berdiri di garis terdepan, menjadi eksekutor bagi begitu banyak keinginan diantara keterbatasan waktu dan sumber daya? Memangnya kita semua sanggup mengambil keputusan besar yang tidak mudah diantara banyak pilihan sulit?
Beberapa diantaranya mungkin akan terus menerus menjadi perdebatan moral yang takkan ada habisnya.
Human progress is neither automatic nor inevitable… Every step toward the goal of justice requires sacrifice, suffering, and struggle; the tireless exertions and passionate concern of dedicated individuals.
-Martin Luther King, Jr-
Siapa pun pemimpin Jakarta terpilih di 2017 nanti, terus berbenah Jakarta-ku <3