Tak suka dengan non muslim. Tak suka wajah etnis ‘Toraja’. Tak suka dengan perempuan berkerudung. Tak nyaman dengan si mata sipit. Jadi, maunya apaaaa? hahahaha. Itulah gambaran saya ketika memasuki gerbang SMA :D.
***
“Menurut saya, memakai jilbab kurang bagus dalam kehidupan sehari-hari apalagi di depan umum. Apa gunanya? Biar kelihatan beda? Salah itu. Kita kan negara Pancasila.”
Siapa yang mengucapkan kalimat itu dengan lantang di depan kelas saat sesi diskusi di penataran P4 di sebuah SMU Negeri? Yang membuat seisi kelas terbungkam adalah seorang sis
wi SMU yang rambutnya dikuncir dua, dan sebelum berangkat ke sekolah marah-marah ke ibunya karena merasa roknya kepanjangan :D. Sok seksi sekali sih Mbak? :p.
Siswi SMA yang ikut-ikutan temannya melipat pinggang rok biar roknya pas selutut itu adalah… saya! *tutupMuka*. Kalimatnya kurang lebih seperti itu. Tidak ingat tepatnya seperti apa.
Biarpun bertahun-tahun bersekolah di sekolah Islam, saya tak biasa bergaul dengan perempuan berkerudung. Dulu, ada teman SD yang berkerudung, sih. Adiknya juga. Tapi saat bermain, kalau kegerahan kerudungnya dicopot, tuh. Hehehehe. Hanya dia seorang.
Waktu SMP apalagi. Mungkin ada. Tapi luput dari perhatian. Karena jumlahnya sangat minim.
Saya kurang suka dengan anak perempuan berkerudung yang jalannya lambat dan suka tunduk-tunduk. Belum lagi, maaf, karena cuaca panas, kalau bersebelahan dengan perempuan berjilbab, baunya itu, lho :(. Biarpun tidak selalu. Tidak bermaksud menggeneralisir, ya. Mayoritas yang saya temui dulu begitu.
Ucapan saya mungkin menyinggung teman-teman yang berkerudung. Menjelang SMU, biarpun belum seramai sekarang, siswi berkerudung ada saja di tiap kelas.
Selepas penataran, ternyata ada rotasi ulang. Saya pindah ke kelas 1-5 dan berkenalan dengan teman berkerudung yang tidak lamban, malah mudah akrab dengan siapa pun. Anaknya ramah dan suka berbicara dengan siapa saja. Penampilannya rapi, bersih, dan…tidak apek! Hehehehe.
Biarpun malas bertanya pada orang, yang menurut saya kala itu = fanatik gak jelas, saya iseng saja bertanya padanya di suatu hari, “kenapa pakai jilbab?”
Tanggapannya biasa-biasa saja, “oh, nanti besok dibawain bukunya, ya. Panjang disitu penjelasannya. Gak hapal.” Dia menjawab dengan santai.
Dan memang, besoknya buku bersampul kuning yang saya lupa judulnya apa berpindah tangan ke saya. Hanya butuh beberapa jam untuk menuntaskan isinya dan sumpah saya baru tahu… kalau pakai jilbab itu (katanya) wajib. Ayat-ayat yang ditunjukkan tidak aneh-aneh. Meskipun memang deskripsinya ekstrim sekali kalau diingat-ingat sekarang.
Yang jelas, saat itu tanpa pikir panjang, malamnya saya bilang ke Mama, “Mama, saya mau pakai jilbab?”
Mama melongo. Tapi cuma berujar pendek, “kapan?”
“Ya, kalau bisa besok.”
Hahaha. Segitunya :p. Terus saya menyerahkan buku sampul kuning itu ke Mama. Entah dibaca atau tidak.
Lalu, Mama mulai bercerita ke kerabat. Kala itu, memang belum umum perempuan seusia kami berkerudung. Sebagian besar keluarga menentang. “Masuk aliran sesat anakmu, tuh. Makanya belajar saja yang benar. Macam-macam saja yang dibaca.”
Waktu itu pasrah saja. Biarlah kalau memang belum waktunya.
Tapi, hanya beberapa malam setelah saya utarakan niat itu, Mama menyerahkan sebuah bungkusan pada saya, “itu rok panjang ada 2. Lengan panjang juga 2. Jilbab putih ada 2. Coba pakai, pas tidak?”
Masya Allah.Malam itu, bantal saya basah karena saya menangis hampir sepanjang malam. Hehehe.
Tahun 1995, dimana banyak teman menghadapi banyak ‘drama’ untuk memakai penutup kepala, jalan saya begitu mudah :). TUhan menganugerahi seorang Ibu istimewa. Bahkan, beliau pun belum mengenakan kerudung saat itu :).
***
Hanya beberapa bulan setelah duduk di bangku SMA, saya mulai berkerudung. Punya sahabat orang Toraja. Pelan-pelan saya menyadari, kalau sudah berteman, kita akan lebih fokus ke persamaan. Sama-sama membaca majalah remaja. Cekikikan lihat cowok cakep. Bahkan jajan bakso di kantin yang sama, duduk berjejalan di kursi kayu terbatas yang ramai dirubung anak sekolah.
Saya tak tahu dalam hati mereka terucap apa tentang saya. Tapi yang penting, mereka santun dalam keseharian, jadi itulah yang prinsip yang terpatok dalam kepala. Memangnya saya peramal, bisa baca isi hati tiap orang :D.
Kelas 2 SMA, kelas saya ada beberapa orang dari etnis Tionghoa. Awalnya pasti canggung. Entah ya, mungkin karena pikiran sudah ‘kotor’ duluan, saya was-was dekat mereka.
Dua orang anak perempuan bermata sipit duduk sebangku. Yang satunya pendiam. Yang satunya lagi jago basket, tinggi semampai, dan amat seru diajak ngobrol ^_^. Terheran-heran juga saya, hanya beberapa hari sekelas, saat jam istirahat, saya suka berdiri berdua dengannya di teras kelas, ngobrol ngalor ngidul hingga lonceng berbunyi.
Yang paling berkesan adalah anak laki-laki berinisial S. Anak baru di kelas. Dia sering bercerita tentang komputer. Maklum ya, kota kelahiran saya, biarpun termasuk salah satu kota metropolitan di belahan Indonesia Timur, belum terlalu familiar dengan barang canggih satu ini hehehe.
Nekad lah saya main ke rumahnya di suatu hari libur. Penasaran saya dengan seluk beluk komputer yang dia ceritakan. Di rumahnya, agak takut-takut juga pas mau masuk. Mereka tinggal di ruko. Lantai bawah dijadikan toko. Tapi keluarganya biasa-biasa saja, tuh.
Di lantai atas, saya dengan khusyuk mendengar penjelasannya tentang barang hebat satu itu, sembari dia mencontohkan hal-hal yang ‘luar biasa’ di mata saya kala itu, yang bisa dilakukan dengan benda ini 😀 Katroooo… ahahahahaha.
Disitulah pertama kali, tekad kuat yang sudah belasan tahun mengikat cita-cita saya menjadi seorang dokter, terkikis perlahan. Si S ini yang berceramah panjang lebar tentang di era tahun 2000, komputer akan menjadi barang utama dan akan berkembang makin pesat. Dia pula yang bercerita penuh semangat, “ini ada jurusannya lho kalau mau kuliah.”
Wah, ada, ya? hihihihihi.
Siapa sangka, dia yang bermata sipit itu, orang-orang yang dulu selalu menghadirkan rasa was-was dalam hati, malah menjadi orang yang membawa saya membuat salah satu keputusan terbaik dalam hidup saya : menuliskan Fakultas Ilmu Komputer sebagai pilihan pertama saat UMPTN di tahun 1998.
Biarpun saat lulus UMPTN, guru-guru banyak yang mencibir, dan teman-teman banyak yang bertanya-tanya, “kok masuk komputer? kenapa gak kursus saja?” Hahaha. Mohon dimaafkan, tahun segitu, jurusan informatika di daerah kami masih dipandang sebelah mata ;).
Alasan lain saya tak memilih cita-cita kecil menjadi dokter itu karena tak ingin terlalu lama menjadi beban keluarga. Situasi saya kurang tepat untuk ‘memburu’ impian yang itu. Dan pas sekali memilih jurusan informatika :D.
Sebelum 4 tahun, di bulan April 2002, saya sudah diterima bekerja dengan gaji lumayan. Dan tentu saja… meneruskan tongkat estafet sebagai salah satu tulang punggung keluarga ^_^.
Tahun-tahun kelulusan itu adalah masa-masa emas bagi para pekerja IT seperti kami.
Baca : People We Haven’t Met Yet (3)
***
Kebalikanku, Mak, berarti yah. Yaiyalah :)))
Aku sedari kecil biasa bergaul sama yang sipit-sipit. 80% temanku sipit. Baru kenal yang berkerudung di SMA 😀
Tapi ah indahnya, bisa kenal banyak orang. Iya kan?