Tulisannya didedikasikan buat Ibu Susi Pudjiastuti ;). Menteri kelautan yang lagi hits karena prestasi dan gebrakan positifinya :).
Dulu, jarang-jarang saya diajak Ibu berbelanja ke Paotere’. Paotere’ = pasar ikan, bahasa Makassar.
Saya sendiri walau lahir dan besar di Kota Makassar tidak lancar berbahasa Makassar. Jadi, saya bingung kalau ditanya artinya lagu Anging Mammiri itu apa? Hahahahhaaha :p. Kalau lagu Indo’ Logo saya tahu ^_^.
Iya teman-teman, di Sulawesi Selatan ada 4 suku besar yang hidup berdampingan.Plus banyak suku-suku imut-imut lainnya. Agak beda kondisinya dengan wilayah Sumatera Barat misalnya.
Kalau kata suami saya yang asli Minang, di seluruh wilayah Sumbar, apa pun sukunya ya bahasanya pasti bahasa Minang hehehe. Beda dengan kami di SulSel. Bahasa Makassar dan Bahasa Bugis itu beda banget. Belum lagi Bahasa Toraja atau Bahasa Mandar. Btw, sebagian wilayah Mandar sudah memisahkan diri dan berdiri menjadi satu propinsi khusus, Sulawesi Barat :).
Itu baru intermezzo :p.
Kali ini mau cerita soal ikan yang kalau di Sulsel sering di-okkots-kan menjadi ikang hahahaha. Hanya orang sulawesi yang ngerti arti “okkots” :D.
Jam 5 pagi, ibu sudah bisik-bisik di telinga saya, “Temanika’ dulue, Nak, pi Paotere’.”
Duh, males banget. Tapi bisikan keduanya yang membuat akhirnya saya bangun juga. “Nanti kita makan pisang epek abis itu.” Cih, murahan bener. Diimingin pisang epek langsung angkat tangan! Hahahaha.
Habis salat subuh, pasang jilbab terus ikut ke pantai.
Saya kelas 3 SMA waktu itu. Tinggal di rumah salah satu kerabat yang kebetulan tinggalnya dekat banget dari kawasan Pantai Losari, Kota Makassar.
Di Paotere’ ternyata sudah ramai banget. Padahal langit belum lagi sepenuhnya pulih dari gulita malam. Sudah rusuh orang-orang lalu lalang. Baunya itu lho booooo huhuhu. Demi pisang epek, marilah kita mendampingi ibunda tercinta beli-beli ikang eh…ikan :p *benerinSendalJepit*.
Lantainya jelas becek. Yang kadang bikin lama, lagi nangkring depan dagangan seorang daeng (abang/mas/kang/aa’ dalam bahasa Makassar/Bugis), penjualnya malah enggak ada.
“Sebentar Bu, sebentar dulu kasiang.” Begitu ada gelagat ibu mau hengkang ke penjual lain, tahu-tahu ada daeng-daeng berteriak dari kejauhan. Kayaknya ibu kasihan juga. Ditunggui deh tuh si Daeng.
Ngapain sih dia? Lagi ngebakso? hihihi. Enggak lah. Dia, seorang laki-laki yang kalau dari penampilan kayaknya udah tua tapi kan orang-orang yang ‘garis hidup’nya keras memang gitu ya. Dikira udah 50 tapi ternyata masih 40. Dia, seorang diri susah payah menyeret sebuah keranjang besar yang isinya penuh dengan ikan.
Tak jauh dari tempat berjualan memang ada lokasi pelabuhan kecil. Disitulah mungkin para nelayan berlabuh setelah semalaman sibuk memancing. Karena banyak perahu-perahu kecil bersandar di sana.
Asumsi saya, si daeng ini adalah nelayan yang memasarkan sendiri ikan-ikannya. Dia yang memancing, dia yang mengangkat ikan-ikannya sendiri menuju lokasi pasar, sambil melayani pembeli yang mulai ramai jam segitu. Jadi dicicil-cicil. Mungkin tadi pembeli sepi, dia buru-buru ke arah perahu mengangkut hasil tangkapannya.
Nah, model penjual kayak gini banyak. Sambil jualan sambil bolak balik sendiri mengangkut dagangannya.si
Di Paotere’, apalagi kalau beli langsung dari bapak nelayannya, murah bingiitsss. Segar-segar pula. Tapi satu hal terpuji yang selalu saya perhatikan dari ibu saya. Kalau membeli dari pedagang-pedagang kecil macam si daeng tadi, ibu nyaris tidak pernah menawar. Soalnya istri mantan pedagang eceran juga kali ya :D. Jadi paham banget kalau pedagang-pedagang kecil ini ngambil untungnya paling seberapa. Yang dikejar adalah sebanyak-banyaknya yang bisa laku.
Padahal Ibu saya ini… kalau nawar kain di kios-kios besar Tanah Abang, beuh! Galak, Euy! Hahahahahahha :p.
Hasil tangkapannya banyak lho. Saya sampai bingung, itu ikan segitu banyak apa habis dibeli? Soalnya nelayannya banyaaaaakkk. Pembeli juga banyak sih. Tapi kebanyakan mungkin yang model-model kayak ibu saya. Seorang janda tanpa penghasilan yang paling kuat belinya cuma sekantong plastik saja hihihi.
Ibu saya, walau belinya tidak banyak, udah kayak Jokowi aja gayanya. Blusukan ke sana sini hahahhahaha. Kalau menemani ibu belanja mah, betis mendadak atletis.
Sementara anak gadisnya ini sudah gelisah walau akhirnya daripada bosan, ya saya lihat-lihat saja suasana sekeliling. Sambil observasi enggak jelas. Ternyata, 17 tahun kemudian, tidak menyangka kalau akan datang juga kesempatan untuk mendayagunakan kisah ke Paotere’ itu di tulisan ini ^_^.
Berkali-kali ibu bergumam sambil mengangguk-angguk, “Dekke sempo, dekke kanja’ balena. Dekke loppo urang na. Iyoro cumi’na, dekke kanja’ dekke kanja’, sempona kesi’ … ” (Murah sekali, bagus sekali. Besar sekali udangnya. Itu cuminya, bagus sekali, bagus sekali, murah pula harganya).
Selepas SMA, saya pindah ke Depok. Nasib baik membawa salah satu embak bugis yang kece dan “produksi” asli Pantai Losari ini merantau ke Pulau Jawa *benerinJaketKuning* :p.
Terasa banget oleh saya bahwa harga-harga ikan dan produk-produk laut di tempat tinggal baru ini relatif lebih mahal. Sementara saya datang dari daerah yang kaya hasil laut.
Jenis-jenis ikan yang menjadi makanan sehari-hari di Makassar dulu, padahal saya pun bukan dari keluarga berada, ternyata di Jakarta harganya dahsyat.
Otomatis saja saat itu saya berpikir, “Ya kenapa enggak ambil saja ikan-ikan dari Sulawesi untuk di Jawa. Mungkin harganya tidak akan semahal itu. Wong ikan dan hasil laut di Makassar saja berlimpah ruah luar biasa.”
Lucu saja rasanya, di sana ikan melimpah harga murah. Di Jakarta ikan laut segar tidak sebanyak di Makassar wajar harganya mahal. Kan kalau bisa distribusi merata, hidup para nelayan enggak akan melarat amat-amat. Sampai-sampai harus menyeret keranjang ikan sendiri di area pasar pelabuhan setelah semalaman lelah bertarung di tengah laut.
Taraf hidup nelayan tak begitu bagus ditambah lagi, konsumennya di Paotere’ ya ibu-ibu rumah tangga serba nge-pas kayak ibu saya :p. Produksi berlimpah, tapi konsumen megap-megap. Tidak ada gunanya juga.
Coba ini ibu-ibu ekonomi menengah di Jakarta dikirim ke Paotere’, bisa kalap kali ya hahahahaha.
Disitulah asal mulanya menjadi cinta mati sama tahu-tempe hahaha. Di Makassar juga sering makan tahu-tempe tapi masih lebih cinta ikan dkk :D. Daging dari hewan berkaki empat dari dulu saya enggak terbiasa. Makanya suka diledekin suami karena saya enggak terbiasa makan steak dan teman-temannnya hahahaha.
Biarin! :p. Tak akan lupa kacang pada kulitnya dong. Ikang mana ikang :v :v.
Jawabannya ternyata ketemunya pas mendapatkan kesempatan bekerja di sebuah perusahaan consumer goods besar di tanah air. Kebetulan juga nyangkut di divisi Supply Chain-Distribusi. Kerjaan saya dulu ya kelayapan di gudang atau meeting dengan customer-customer. Gayanya doang mah hahahaha.
Saya seringnya malah sibuk merhatiin perwakilan Key Account Manager berdebat dengan tim CSOG di mobil dalam perjalanan menuju kantor customer. Nanti di customer berdebat lagi dengan orang salesnya Customer. Hihihihi. Siapa bilang jadi “sales” itu gampang ^_^.
Saya juga pernah bolak balik ke Surabaya. Ke Rungkut atau ke Waru.
Kalau di Gudang atau di Pabrik terus terang saya takut hahahahaha. Gudangnya gede banget gilak! :p. Tapi kalau mood lagi bagus dan posisinya ada di pintu gerbang gudang, saya senang juga ngobrol-ngobrol dengan orang gudangnya. Kepo-kepo sana sini.
Saya pernah terlibat penuh dalam pembuatan sistem “Transportation Cost”. Bekerja sama dengan tim Finance di Supply Chain-Customer Service.
Ternyata baru paham segala keruwetan di dunia nyata. Sumpah, enakan ngoding di komputer ini mah hahahahaha. Saya memang kaget melihat harga jual barang yang bisa melonjak luar biasa di beberapa wilayah tertentu. Pabrik barang jadi memang masih terpusat di Jakarta dan sekitarnya. Pabrik pengolahan juga mayoritas masih di tanah Jawa.
Saya suka marah-marah kenapa ada order yang manual yang sangat rentan dengan kesalahan karena ya di lapangan memang kondisinya begitu. Jadi malu suka nyinyirin mbak-mbak operator di gudang atau di MBAU :p. Sungkem dulu, sungkem lagi :v :v.
Betapa ruwetnya proses distribusi barang di Indonesia. Itulah mengapa, khusus di perusahaan saya ini di cabang Indonesia, Distribusi ini sempat dijadikan ‘agak terpisah’ dengan proses Supply Chain. Malah Distribusi dulu jadi satu dengan Sales. Tapi kalau gak salah terakhir Distribusi sudah kembali ke kodrat sejatinya, yaitu bagian dari Supply Chain :D.
Distribusi sangat khas dan menantang di Indonesia karena wilayah kepulauan di dunia memang ada berapa? ;).
Memang rumit. Apalagi untuk pengiriman barang yang sifatnya “makanan”. Berpacu dengan waktu/expired data dan harus menghadapi infrastruktur yang pas-pasan. Belum lagi kalau sudah ke wilayah Timur Indonesia. Sebagai orang asli Sulawesi, sakit hati juga saya melihat bedanya harga barang di wilayah Timur. Tapi setelah meraba-raba kondisi di lapangan, baru saya paham. Masalah distribusi di kepulauan Nusantara memang sangat challenging.
Belum lagi masalah keamanan. Jalan darat untuk pengiriman barang dari Jawa ke Sumatera sering ditempuh untuk menekan biaya transportasi jika harus menempuh jalan udara. Jalan daratnya ngeri juga, Bo. Banyak perampok huhuhu. Saya salut luar biasalah dengan teman-teman sesama trainee yang diterjunkan di daerah-daerah pedalaman. Sementara saya banyakan duduk-duduk cantik di kantor pusat hihihi :p.
Konon, perusahaan saya sempat harus melepas sebuah produk makanan ringan salah satu alasannya karena tidak kuasa lagi menyeimbangkan antara ongkos produksi dan ongkos distribusi yang akan berimbas ke harga jual. Seperti kasus ikan tadi. Tapi ini terbalik. Produsennya ada di Jawa tapi konsumennya malah ramai di luar Jawa.
Itulah mungkin jawabannya mengapa ikan yang berlimpah di wilayah-wilayah pedalaman sulit berjodoh dengan konsumennya di kota-kota besar. Masalah transportasi dan distribusi.
Sebagian besar kita mungkin hanya bisa seperti saya. Mentok di sebatas tahu saja tanpa tahu harus bagaimana :(. Sebatas bisa prihatin saja *tutupMuka*.
Maka, bayangkan tertamparnya saya (saya lho ya, kalian ya belum tentu hehehehe), membaca riwayat hidup si Ibu Susi Pudjiastuti yang penuh kontroversi itu. Terpikir lho dia untuk menerbangkan produksi ikan berlimpah itu dengan pesawat! Kapal terbang dan nelayan, 2 hal yang mungkin sangat tidak terbayangkan.
Ibu Susi Pudjiastuti paham betul kalau mengandalkan maskapai besar nan komersil itu ya jelas bubar lah. Dia pun menawarkan solusi maskapai penerbangan perintis.
Ide yang sangat brilian. Lebih brilian lagi karena beliau tidak mentok di ide. She’s a DO-ER! (DOER bukan dower ya Kaaaaa hahahhahaha :p). Dia benar-benar mengawal idenya sampai ke tahap aplikasi. Sesuatu yang sangat langka di dunia ini. Sudah pakemnya kan manusia itu, omongnya gede, semangat berkorbannya tipis *tertundukMalu*.
Tidak berhenti di masalah pemasaran ikan, Ibu Susi Pudjiastuti terus mengembangkan maskapai penerbangan perintisnya untuk “menolong” daerah-daerah pedalaman yang nyaris tak terjangkau teknologi nun jauh di wilayah tertimur Indonesia sana. Sudah nonton “The Worst Places to be a Pilot” belum?
Sebenarnya jujur saja, apakah tidak ada ahli yang mampu mengurai masalah ini? Pastilah ada. Bahkan banyak. Tapi mungkin berteori itu jauh lebih mudah daripada terjun langsung ke lapangan. Tidak hanya terjun, tapi datang membawa solusi dan mengawal solusi tersebut hingga menjadi kenyataan. Seberapa banyak sih dari kita yang sanggup kayak gitu? *sodorinKaca*.
Yang dibantunya orang-orang kecil pula. Para nelayan dan mereka yang hidup di tempat-tempat terpencil. Berapa memangnya keuntungan yang didapatkan oleh maskapai perintis yang berbisnis di pedalaman???? Jelas lebih untung berbisnis di maskapai penerbangan massal sekalian :D.
Tidak banyak orang-orang berhati emas seperti Ibu Susi Pudjiastuti :). Kalau yang “bacotnya emas” mungkin gampang nemunya hahahahaha.
Memang masuk akal juga jika ada pakar kelautan yang mencemooh ide Jokowi mengangkat Ibu Susi Pudjiastuti jadi menteri. Kelautan dan maritim itu bukan hanya masalah ikan, ikan dan nelayan. Banyak sekali aspeknya. Bu Susi itu apa sanggup?
Tapi balik lagi, yang milih dia kan Jokowi. Sementara Jokowi sudah kenyang kali dimaki-maki, “Solo itu cuma kampung kecil. Bisa apa lo di Jakarta?” –> “Jakarta itu cuma satu kota. Bisa apa lo ngurus seluruh Indonesia? Punya modal apa? Modal blusukan doang?”
Jokowi milihnya pasti yang setipe lah biar cocok jadi rekan kerja kali hehehe.
Nah, jangan lebay juga ngebelainnya. Biarkan saja. Biarkan Jokowi, Bu Susi, dan seluruh tim kabinet membuktikan kepiawaian mereka. Kita lihat saja apakah para pekerja keras yang katanya minim pengetahuan teoritis dan hanya punya pengalaman lapangan di area lebih kecil bisa membawa negeri ini ke arah yang lebih baik?
Sembari menunggu, kalau tak sanggup berkontribusi langsung nan positif, kita doakan saja yang baik-baik yuk ^_^. Walau kontribusi positif ini sangat debatable. Kan mengkritisi negatif-negatif juga tujuannya bisa positif yaaaaa *uhuk Uhuk*.
Semoga Ibu Susi Pudjiastuti bisa dimampukan untuk berhenti merokok. Biar kesehatannya terus terjaga. Karena Indonesia sangat butuh para pemberani seperti beliau ini ^_^.
Semoga Koh Ahok juga bisa dikurangi marah-marahnya karena takut kena darah tinggi. Kita maunya Koh Ahok sehat terus ^_^. Untuk membasmi yang bandel-bandel itu karena kayaknya dinasehatin udah enggak pada mempan hehehe.
“Orang-orang baik itu banyak. Tapi yang berani itu sedikit.” -Ahok-
Orang baik dan para pemberani ini harus kita doakan supaya umurnya panjang toh ya ;).
Kalau ada yang bawa-bawa agama ya terserah saja. Untuk saya, agama saya selalu menganjurkan untuk beriman dan berbuat baik. Sementara saya tahu, keimanan itu letaknya dalam hati. Saya robek-robek dadanya juga belum tentu saya tahu sedalam apa imannya. Tapi perbuatan baiknya secara muamalah tentu sangat mudah untuk diukur secara kasat mata manusia biasa.
Kecuali situ malaikat lho, ya. Saya mengaku saja. Saya ini manusia biasa walau kadang suka khilaf dan mengaku sebagai bidadari #eaaaaaa :v :v.
Anda boleh beda pendapatnya ;).
Selamat berjuang Bu Susi Pudjiastuti, jelajahilah samudera nusantara dan selamatkan lautan Indonesia dan simpan rapat-rapat niat baik dalam hatimu untuk Yang Maha Mengetahui saja.
Dalamnya lautan bisa diterka, dalamnya hati siapa yang tahu ;).
Jujur, sy semakin terbuka wawasan ini setelah mendapat pencerahan soal seluk beluk kelautan, terutama soal perdagangan ikan dan ibu Susi dari sudut pandan mbak Jihan. Tulisannya selalu membuat sy mendapat wawasan2 baru. Sungguh! 🙂
kalau ada bu Susi lain di makassar, itu ikang2 bisa cepat terbang ke Jawa. harganya lebih mahal dan nelayan pun ikut senang 🙂
kalau ada bu susi di makassar, itu ikang2 bisa cepat terbang ke jawa. harganya mahal, nelayan pun ikut senang 🙂
berarti kerjanya dipepsodent yaaaa mak.. 😀
aku juga dari madura mak/..disana ikan masih lebih murah dibanding jakarta… jakarta oh jakarta…disulawesi tambah murah lagi ya xD pastinya…
semoga solusi-solusi ibu susi bisa memurahkan xixix
Hi mbak terharu bacanya
Gemes liat yg nyinyirin dan belain bu susi berlebihan, sante aja napa yhaaa.. Mbok ya didoain yg baik2 kaya di tulisan mba jihan.. Amiiin utk indonesia yg lbh baik
Btw gerakan petrus bs disamain kaya broken window theory ga yaa.. Eh ekstrim deng ya menghilangkan nyawa manusia, tp idenya sama ngilangin trivial thing kaya tato utk menghilangkan crime yg gede bahahaha sotoy ngasal bgt gweeee
Waduh, terlepas dari apakah cocok dengan Broken Windows apa enggak, “gerakan Petrus” itu bertentangan dengan moralitas kali ah hehehehe. Ingat contoh di NYC, enggak ada kekerasan balasan lho kepada para pelakunya. Soalnya mereka tahu, cara terbaik untuk “menyakiti” para corat-er itu (istilah opo iniiii) justru dengan menghapus hasil karya mereka ;). Digebukin mah gak ngaruh hahahahahaha.
Behehhee bener gitu denggg
Ayoookk bikin mbak aplikasi si teori itu buat di indonesia.. Aku suka sebhel sama diri sendiri seringnya level prihatin doang huhuhu
jangan jauh2 jawa sulawesi mbak, istrinya ade iparku yang asli sukabumi antah berantah (jauh betul rumahnya dari hiruk pikuk kota) dan keseharian bertani, pas dateng ke jakarta langsung emosi sendiri pas tau harga sayur di jakarta, katanya pengen balik ke kampung aja bertani jadi dapet gratisan daripada bayar sayur mahal hehehe
Konon, perusahaan saya sempat harus melepas sebuah produk makanan ringan salah satu alasannya karena tidak kuasa lagi menyeimbangkan antara ongkos produksi dan ongkos distribusi yang akan berimbas ke harga jual <—- ini snack Megumi Minori bukan mbak maksudnya?