Asap tebal membubung tinggi. Kilat-kilat api sesekali terlihat. Jam 3 dinihari, suasana yang biasanya sunyi karena ditinggal lelap oleh hampir semua penghuninya, mendadak hiruk pikuk.
Orang-orang berteriak di jalan. Pedagang-pedagang mendadak terjaga.
Berlomba dengan suara sirine mobil pemadam kebakaran, semua pedagang bergegas pergi. Tentu berharap menyelamatkan barang-barang yang masih bisa dibawa pergi. Termasuk almarhum bapak yang sudah melesat dengan Vespa hijau tuanya sebelum saya dan seluruh saudara saya terbangun karena kegaduhan di seputar rumah.
“Cepakko, cepakko … Sallonu! ” (Cepatlah, cepatlah … Lambat sekali!)
“Pepeeee … pepeeeee ….” (apiiii, apiiii).
1991, Pasar Sentral Makassar terbakar.
Saya tidak begitu ingat kakak-kakak saya pada ngapain, ya, waktu itu. Yang jelas saya dan adik perempuan saya memanjat di teras di lantai 3. Kami sama sekali tidak risau. Bahkan kegirangan melihat situasi saat itu. Curiosly watching, full of excitement. Namanya anak-anak, gampang senang kalau lihat situasi ramai 😀.
Orang-orang berlarian dengan heboh. Serba sibuk. Termasuk daeng-daeng becak yang mendadak menjadi rebutan subuh-subuh.
Rumah saya di Jalan Pajennekang waktu itu jaraknya mungkin hanya 100 m dari Pasar Sentral Makassar. Pemukiman menengah ke bawah. Rumahnya cukup padat. Suasananya ya tidak terlalu terawat gitu, deh. Bilang kumuh aja kaleeee biar lebih singkat. Hahaha *gengsiAtuh* –> *benerinPoni*.
Entah apa yang ada dalam pikiran bapak, ya, waktu itu. Tentu saja, kebakaran akan membuat para pedagang tak bisa berjualan minimal selama beberapa hari. Sumber penghasilan ya dari pasar saja. Ibu membantu dengan menjahit gorden tapi kan transaksinya juga di pasar, pelanggannya ya sesama pedagang di pasar yang sama.
Jangan dikata yang dijual seprei-seprei sekelas yang dijual di King Koil, yak . Kalau tak salah, sebagian besar dijual di harga 5-20 ribu rupiah saja per potong.
Kelambunya bukan model kelambu jepang yang keren kayak kemah mini itu. Bukaaaaaan. Hahaha. Kelambunya hanya kain biasa yang tidak punya tiang penyangga sama sekali. Sesuai harganya yang hanya berkisar dari 10 ribu hingga 30 ribu rupiah.
Baunya itu lho boooo. Hihihi. Masih inget saya peningnya kepala kalau rumah di penuhi kain kelambu yang baunya menyengat itu.
***
Beredar rumor pasar sengaja dibakar. Ini bukan kehebohan pertama kalinya. Sudah beberapa kali ada kebakaran. Tapi kecil-kecilan. Kali ini, api melalap hampir seluruh lantai 1.
Siapa yang tega membakar pasar?
Jadi begini, gosipnya sih, Pemda sudah beberapa kali berinisiatif membongkar bangunan pasar. Secara memang sudah mengenaskan dan joroknya minta ampun. Duh, paling ogah deh kalau disuruh mampir ke kios. Hihihi.
Kalau terpaksa ke kios, melihat saya jutek, ibu biasanya membujuk, “Kita makan pisang ijo nanti. Ato mau ko ikan bakarnya Daeng Salaji? Ato kita pi makan Sop Saudara di lantai 2. Ko suka to nasi campurnya?””
Makanannya sih enak, lalat dan bau tempatnya yang enggak tahan huhuhu. Belagu amat sih ini anak penjual seprei hahaha *nyengirTuanPuteri* 😀.
Tapi para pedagang ogah pindah ke penampungan. Pemda juga tidak pernah benar-benar jelas mengatur soal penampungan ini. Alasan klasik dari para pedagang, takut pelanggan pada lari.
Mungkin cara cepat untuk mengatasi kebawelan para pedagang-pedagang kecil tersebut ya dengan satu cara ampuh yang cukup mudah, bakar saja gedungnya! :'(
Mana ada cerita Bapak Walikota datang berkunjung dan bersilaturahmi. Ada juga preman-preman pasar wara wiri menebar ketakutan dan rumor-rumor.
Bapak saya itu termasuk pedagang eceran. Bukan grosiran. Sementara pedagang grosir biasanya adalah mereka dengan modal yang besar. Menjual grosiran ya pasti jatuhnya murah, kan? Dengan uang banyak, pedagang grosiran bisa ‘main mata’ agar bisa mendapatkan lokasi kios yang strategis.
Sementara yang modalnya pas-pasan seperti umumnya pedagang eceran ya harus banyak-banyak berdoa saja 😀.
Gedung baru tidak hanya mengganggu zona nyaman para pedagang kecil. Tapi ya namanya gedung baru yang rencananya dibangun secara modern itu pasti ongkos sewanya juga ‘baru’ alias mihil.
Pedagang eceran seperti bapak dan teman-temannya ya pasti khawatir bila pelanggan yang mungkin ‘bingung’ dengan kondisi pasar baru nanti akan mudah terjaring oleh pedagang grosiran. Pedagang grosir juga banyak yang ‘bandel’, dengan modal kuat, mereka berani menjual barang satuan dengan harga grosir.
Kalau sudah terbakar, ya enggak pakai banyak cing cong. Bapak dan teman-temannya ya cuma bisa bersyukur barang selamat semua dan mau tak mau terpaksa setuju kalau pasar direnovasi . Voila! Gampang kan 😀. Bakar saja pasarnya!
Logikanya ya masalah komunikasi saja, ya. Saya rasa bapak pun senang kok kalau pasar direnovasi. Saya ingat, bapak itu memamerkan denah pasar yang baru pada kami dengan bangga. Katanya nanti pasarnya bagus dan modern. Ada tangga jalan segala!
Padahal sebelum-sebelumnya suka mengeluh agak takut kalau diusir dari pasar lama untuk proses renovasi.
Yang dibutuhkan oleh pedagang kecil macam bapak saya ya adanya kepastian dan jaminan 🙂. Mereka hanya ingin didengarkan. Hanya ingin dimengerti apa sebenarnya kekhawatiran dan concern mereka bukan hanya dianggap keras kepala dan tidak peduli dengan rencana jangka panjang penataan kota.
Mereka berdagang kan bukan hanya sekadar hobi atau lucu-lucuan untuk mengisi waktu luang. Ya buat ngasih makan anak-anaknya. Anak 7 boooo hehehe. Berapa sih untungnya tiap hari? Untung per potong kelambu paling banter 5 ribu rupiah.
Pasar itu buka 7 hari dalam seminggu. Enggak ada liburnya. Hari minggu pun, pagi-pagi bapak sudah melesat pergi untuk mencari rezeki. Saingan banyak.
Makanya, saya suka sakit hati kalau dulu ada kenalan yang ngomel-ngomel karena supirnya tahu-tahu minta berhenti karena mau cari tempat kerja dengan gaji lebih besar. Supir mengaku, anaknya ada 3. Eh kenalan saya malah mengumpat, “Dasar gak punya otak. Sudah tahu miskin, punya anak banyak pula! Gitu deh kalau kurang berpendidikan.”
Puk-puk almarhum bapak dan mama *pelukSatuSatu*.
Kalau kata suami teman saya di Jeddah dulu saat kami jenguk di kelahiran anaknya yang ke-4, “Tuhan itu punya kalkulator sendiri. Ya kalau kita pakai kalkulator kita sebagai manusia biasa untuk memahami hitung-hitungan Tuhan ya enggak akan pernah cocok.”
Kadang, logika manusia ya jangan dipakai untuk memahami aturan Tuhan. Ketetapannya ya begitu, jangan membunuh anakmu hanya karena kamu takut mereka miskin. Akulah yang akan memberi rezeki 🙂.
Kok bahas ginian, soalnya saya tahu sebagian besar teman bapak itu kondisinya ya gitu. Anak segambreng dengan mata pencaharian hanya sebagai pedagang di pasar sentral . Hahahaha. Takutnya ada yang suka menyerang dan menuduh itu salah para pedagang kecil sendiri . Saya percayanya sama Tuhan saja. Rezeki dari Allah, orang tua cuma salah satu perantara 😉.
Singkat cerita, pedagang dialokasikan ke tempat penampungan. Namanya darurat, tempatnya jelek banget . Sembari bangunan baru diselesaikan, disitulah para pedagang berdesakan berbulan-bulan tetap berusaha mencari rezeki.
Bangunan baru pun jadi. Benar kata Bapak, ada tangga jalannya! Hahahaha. Sayang sekali, sebelum pasar rampung 100% dan siap digunakan, serangan jantung membawa beliau pergi untuk selama-lamanya. 5 menit doang di ruang emergency.
Sekitar bulan Juni 1992, pasar baru siap beroperasi.
Seperti yang bisa diduga, pedagang grosir dengan modal kuat menguasai semua pos strategis. Almarhum bapak kebagian tempat di belakang. Padahal beliau sudah sempat senang karena tepat di depan kios ada tangga jalan. Tangga jalannya akhirnya mati sendiri karena jarang dilewatin orang 🙁.
No wonder, cuma bertahan 3 tahun, mama yang memang tak terlalu punya bakat berdagang terpaksa menjual kios. Bangkrut ceritanya hehehe. Disusul dengan jual-jual yang lain-lainnya juga 😀.
But look at us now, like I’ve said before. Hidup seperti roda pedati. Kadang di atas kadang di bawah. Rezeki datangnya PASTI dari Allah . Anak penjual seprei kemaren abis jalan-jalan dari London tuh hahaha 😛.
***
Berbekal pengalaman pribadi itulah, saya benar-benar tersihir saat membaca artikel berjudul “Joko Widodo, Walikota Surakarta, Wali Kaki Lima” di Majalah Tempo tahun 2008 silam. Topiknya saat itu kalau gak salah tentang 10 pemimpin daerah berprestasi. Masih ada 9 nama lain selain Jokowi. Tapi yang melotok dalam pikiran ya si walikota kurus kering satu ini hihihi.
Terharu sekali membaca caranya memindahkan pedagang-pedagang dari lokasi tertentu. Diajak makan siang! Mimpi apa tuh pedagang-pedagang kecil diajak lunchdate sama Pak Walikota hehehe. Biasanya kalau pasar mau ‘diapa-apain’ yang datang ya petugas satpol atau preman untuk menebar ketakutan minimal.
Padahal kan si walkot gak usah capek-capek. Bakar saja pasarnya! Mau gak mau, suka gak suka, pasti pedagang pindah sendiri. Mereka ngomel juga paling cuma sebentar. Seperti almarhum bapak yang tadinya dongkol tapi lama-lama ya cuma pasrah dan seorang diri saja berusaha membangkitkan harapan untuk peruntungan di bangunan baru nanti. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa dan memberi termpat terbaik untuk salah satu pencari nafkah terhebat yang pernah saya kenal ini 🙂.
Ingat betul saya diceritakan di artikelnya, acara pemindahan pasar alih-alih penuh gontokan dan amarah, malah menjadi seperti festival seni ^_^. Para pedagang bikin arak-arakan dan diiringi tarian dan lain-lain saat berjalan bersama menuju lokasi pasar yang baru :).
Makanya, tahun 2012 tahu ada Jokowi di Pilkada DKI, enggak pikir panjang langsung memberikan dukungan penuh! . 4 tahun berlalu, enggak lupa saya sama beliau 🙂. Malah makin bangga begitu tahu, di tahun 2010, periode ke-2 kepemimpinannya, Jokowi memperoleh sekitar 90% perolehan suara 😉.
Kala itu, saat hater dan lover belum tercipta. Agar kita tidak lupa karena apa dulu beliau bisa begitu cepat merebut simpati banyak orang 😉.
Tempo hari saya membaca komentar di wall orang di FB, katanya kita akan cenderung memilih pemimpin yang sama dengan kita hehehe. Itu dia, mungkin saya cenderung pilih Jokowi ya karena saya rasa beliau mewakili hal-hal yang selalu saya inginkan dari seorang pemimpin. Kesederhanaan dan pengertian 🙂.
Biarlah dibilang pencitraan. Untuk saya pribadi, sepakat dengan si Adian Napitupulu, “Itu bukan pencitraan. Itu adalah keberpihakan” 🙂.
Gebrakannya dalam menghadapi ‘orang-orang kecil’ membuat saya ingin mengutip quote yang ini : “…Treat people with understanding when you can, and fake it when you can’t until you do understand.”
― Kim Harrison
Tentu manusia tak ada sempurna. Pastilah ada lemahnya ini si Pak Jokowi hehe.
Tapi kita kan berharapnya bukan pada orang per orang. Tapi pada kebaikan-kebaikan dan nilai-nilai baik yang ada pada Jokowi. Berharapnya ya sama Tuhan saja, dong. Harga mati itu ^_^.
Semoga Jokowi sanggup terus mempertahankan keberpihakannnya pada masyarakat kecil yang masih mendominasi di seluruh Indonesia. Pekerjaan berat memang. Teramat berat. Tapi manusia bisa bertahan itu salah satunya karena harapan, kan? . Harapan agar Allah SWT senantiasa menjaga orang-orang baik dan melindunginya selalu.
Untuk #IndonesiaBaru, Jokowi for RI 1!. 😉
Salam damai ^_^.
***
saya asli SOLO kakak….and i’ll vote the RIGHT “two” 🙂
Wah, kalau kata adik saya, di Solo sih Jokowi dah kayak “Nabi” hahhahaha 😛
nice share!! Al Fatehah untuk ayahanda yang sudah mendidik anak luar biasa. Salam untuk ibunda yang mengajarkan kerja keras.
Definisi tim sukses apa nih Mbak? Hehehehe. Saya lebih suka dibilang relawan. Soalnya gak dapet apa-apa juga hehehe. Semata-mata pengin kalau Pak Jokowi yang jadi RI-1. Tapi kalau belum takdirnya ya gak apa-apa juga :D. Yang penting ingin ikut turun tangan membela yang saya anggap layak ^_^
Tulisan yg sederhana tp berisi. Tidak ada kesan menggurui. Like it! 🙂
Ijin share ya mbak!?
Tulisan yang luar biasa. Saya merasa deja vu krn kisahnya mirip yang saya alami. Ayah saya (alm) juga pedagang di Pasar Sentral. Keluarga kami saat itu tinggal di Jl Kapoposang (tetangga dong, hehe), SD saya di Muhammadiyah I. Tapi sekarang saya dan keluarga bermukim di Samarinda, mengais mata pencaharian sebagai wartawan di sebuah media cetak setempat. Salam hormat.