Saat membaca judul buku ini, yang terbayang di benak saya adalah kata-kata yang saya di dengar di sebuah pengajian beberapa waktu lalu, “Sungguh merugi orang-orang yang diberi kesempatan hidup dengan kedua orang tuanya dan mereka gagal mendapatkan surga.”
Maknanya sungguh dalam.
***
Mungkin ketika kita telah menikah dan memiliki anak, perlahan kita mulai mengayuh biduk kecil kita makin menjauh dari mereka. Mungkin yang terpikir, “Ah, mereka kan masih sehat.” Atau terlintas, “Cukuplah dikunjungi cucu-cucu dan anak menantu tiap akhir pekan.” Bahkan ada yang menganggap, “Diberi uang bulanan juga sudah cukup.”
Sudah mulai terkikis ingatan akan mereka yang mungkin disampaikan kerabat lain, “Kamu dulu, tuh, makannya susahnya minta ampun. Sabar sekali Mamamu menyuapi kamu. Belum lagi kalau ngambek. Terus tidak mau minum pakai botol susu. Waktu masih menyusui, mesti dibawa ke mana-mana.”
Atau kenangan tentang Bapak. “Dulu membesarkan 7 anak kayak apa itu kerja kerasnya siang dan malam.” Iya, saya ini 7 bersaudara.
Saya mungkin tak seberuntung beberapa orang lain. Bisa berlama-lama bersama Bapak. Almarhum Bapak sudah meninggal lama. Sudah 20 tahun berlalu sejak beliau meninggalkan rumah dengan motor Vespa hijaunya. Hendak bermain bulutangkis bersama rekan-rekan di hari Jumat malam seperti biasa.
Dua jam kemudian telepon berdering, Bapak mendadak tumbang di lapangan. Dilarikan ke UGD. Setengah jam kemudian telepon kembali memanggil. Hanya 5 menit di UGD, serangan jantung membawa beliau pergi untuk selamanya.
Dua belas tahun diberi kesempatan untuk bersama beliau. Tentu inginnya lebih lama.
Saat mereka sudah tidak ada di sisi kita, tiba-tiba ada banyak hal yang kita sesali. Berharap waktu melempar kita kembali dan membalaskan kasih tak berujung mereka. Yang berlimpah ruah sejak kita lahir hingga dititipi cucu agar kita bisa sejenak bersantai bersama pasangan saat akhir pekan tiba.
Makanya selagi masih ada waktu, jadilah sahabat mereka. Membahagiakan mereka bukan karena janji surga semata. Tapi tentu untuk kebahagiaan kita sendiri. Seperti janji Tuhan, siapa yang berbuat baik maka dia telah berbuat baik untuk dirinya sendiri.
Mungkin banyak dari kita berharap kelak dapat merawat orang tua saat usia mereka mungkin sudah memasuki senja. Tapi kadang berbakti kepada mereka bukanlah perkara mudah. Tidak sederhana.
Sekali waktu, bahkan mungkin sering, kita mengeluh saat merawat mereka. Ada kesal, bingung, bahkan serba salah. Kadang mereka tiba-tiba seperti anak kecil. Tidak bisa ditebak apa maunya. Karena itulah kita perlu menyiapkan ‘BEKAL’.
Pengetahuan minim kita akan kondisi fisik mereka dan apa saja kendala psikologi yang mereka hadapi membuat kita kebingungan. Mengapa mereka menjadi begini atau mengapa mereka tiba-tiba begitu. Kita perlu tahu apa yang mereka rasakan? Perubahan apa yang mereka alami?
Buku ini memiliki pemaparan yang lengkap misalnya penyakit-penyakit orang tua di usia senja dan bagaimana perawatan yang tepat. Disisipkan pula kisah-kisah dari masa-masa kehidupan Nabi hingga zaman sekarang mengenai berbakti kepada orang tua. Nilai lebih lain dari buku ini juga ada pengalaman nyata tentang merawat orang tua dari berbagai keluarga.
Bukan hanya pelajaran di sekolah yang mesti kita kuasai teorinya. Menemani kedua orang terkasih ini pun perlu dijejali dengan pengetahuan dasar yang mumpuni. Lakukan sebaik yang kita bisa untuk mereka. Seperti mereka yang selalu sanggup melakukan apa pun hanya untuk sekedar menghapus beberapa butir airmata di masa kita kecil dahulu.
Jika ternyata salah satu atau kedua orang tua kita pun sudah tidak ada, buku ini tetap menarik untuk dibaca. Agar bisa kita semaikan benih-benih pengetahuannya untuk generasi kita selanjutnya.
Jemputlah surga kita, bahagiakan kedua orang tua, kekasih sejati kita di dunia. Selamat membaca.
Jleb banget judul bukunya. Akhir2 ini lagi keingetan ortu tapi belum sempet berkunjung lagi (alesaaaaaan). Dosa bener rasanya.
Asal gak pernah lupa mendoakan mereka di tiap kesempatan aja, Mbak ;).
mamak bapakku lagi datang ke sini, dan bener aku ngerasain kasih sayang mereka ke anaknya ini begitu besar (apalagi bisa smakin mengerti setelah jadi ortu juga). Dan apapun yg kita lakukan emang nggak akan bisa membalas apa yang sudah mereka lakukan ke kita. Selama masih ada waktu buat membahagiakan mereka, seharusnya emang kita pergunakan waktu yang ada itu sebaik-baiknya ya. Jadi malu kemarin ngeluh soal harga tiket ke Medan buat pulkam libur Lebaran dan Natalan. AKu jg pernah baca quotes yang sometimes we’re busy growing up that we forget our parents are growing old. Teringat seperti tulisanmu yg tentang anak, ini seize the day dengan ortu kita juga ya.
Iya mbak. Apalagi aku ya yang sering banget berantem sama Mama, manalagi akhir2 ini tinggalnya jauh-jauhan melulu 🙁 huhuhuhu. Yang penting tetap berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka juga :).
jadi inget ibuku, mbak..
Beliau membesarkan 16 anak seorang diri karena Bapak dipanggil Allah waktu umurku 4 tahun, adikku 9 bulan. 16 anak ini beneran 16, lhoooo. 5 anak dari istri pertama Bpk yang memang udah almarhumah waktu beliau menikah dgn ibuku, dan 11 anak yg dilahirkan dari rahim sendiri. Dan hingga hari ini, dengan bangga beliau selalu bilang, anaknya 16 orang….
Meskipun anak2nya jarang pulang (saat ini hanya si bungsu yg tinggal serumah dgn beliau), jarang telpon, beliau nggak pernah protes. SAMA SEKALI. Katanya, anak2 beliau udah punya kehidupan sendiri, yang penting pada sehat, Ibu udah seneng.. hiks, hiks…
Btw, terima ksh udah ngingetin aku ya, mbak…
Wah, hebat sekali :). Ditulis atuh :D.
brebes mili nih.. thanks sudah diingatkan, knp kalo yg ada hub.nya dgn ortu, pasti selalu terharu
Sama-sama, ya :). Terima kasih sudah mampir. Ini dari Urban Mama juga kan, ya? hehhehe
Lu bikin gw nangis aja Je 🙁 nasib perantau gimana niiihhhh ga bisa sering2 ketemu huaaaaaa
Pulang lu makanya ahahahahahahahaha :P. Sama dong ah kiteeeee. Sekarang nyokap gue lagi sakit pula :'(, makanya gue share link ini :(.
Kasian.. cepet sembuh deh ya, paling sedih klo jauh ya gitu, ortu sakit ga bisa ngurusin 🙁 skrg sih mendingan lah deket, ketemunya bisa agak seringan haha lu lebaran mudik giiiihhhh 😛
Ibu saya disaat-saat terakhirnya merupakan sumber kecemasan saya. Malam-malam saya sering terjaga dan kalau ingat kondisi kesehatannya yang terus menurun membuat saya selalu ingin menangis. Makanya saat beliau wafat, saya menerima sepenuh jiwa, tak tega melihat beliau menderita lebih lama.Tulisan yang bagus Mbak Jihan 🙂
Alhamdulillah mbak masih didampingi ke 4 orang tua,rasanya ayem alias tenang
Ya Allah..mbk..thanks berat. Baru saja aku brdiskusi dgn adikku tentang ibuku yg ingin ikut dgn keluargaku. Baru trbayang di mataku, beratnya, susahnya nanti dengan bliau brsama kami, karena dari ibuku trbiasa ‘menang’ trhadap anak2nya. Jadi spt ‘dicubit’ stlh membaca resensi buku ini. Thanks ya mbk Jihan..Tuhan mengingatkan kita dari jalan manapun trnyata..
Wah, good luck dengan rencananya ya Mbak :). Insya Allah ada jalan, ya. Terima kasih banget sudah ikut membaca tulisan saya ^_^.