Salah satu artikel tentang ibu saya : Mundur sejenak ke 14 tahun lalu. Tahun 1998. Bulan Juli yang cerah, saya sedang berada di atas kapal laut bersama Mama. Hendak memulai takdir baru menjadi anak sekolahan di rantau :D.
Suatu siang di kamar kami :
“Wah, mau ke Jakarta juga? Ini anak sulungnya ya, Bu?” seorang Ibu yang juga menghuni kamar yang sama menyapa Mama saya.
“Oh, bukan, bukan. Ini anak gadis pertama. Tapi kakaknya ada 4. Laki-laki semua.”
Ibu yang bertanya nampak bengong sebentar. “Ke-5? Ya ampun, beda usianya setahun-setahun ya, Bu? Rapet jaraknya?”
Mama nyengir santai. “Tidaklah. Selisihnya rata-rata 3 tahun. Ada yang hampir 4 tahun. 2 tahunan juga ada. Ini masih ada adiknya lho 2 orang.”
Saya rasa setelah itu si Ibu yang bertanya sibuk menerka-nerka, Ibu di hadapannya, yang sedang sibuk mengukir alis sepanjang percakapan (hihihihihi), menikah umur berapa, ya? =)).
Indeed :). Ibu saya menikah di usia 15 tahun. Tak sempat menggenggam ijazah SMP, Nenek sudah keburu menerima lamaran seorang pemuda untuknya.
Sejak menikah, langsung dibawa ke kota Makassar (dulu Ujung Pandang) oleh Bapak yang tengah merintis usaha di sana. Jauh dari orang tua, Mama melahirkan anak pertamanya di usia 16.
Dan bertahun-tahun setelahnya lahirlah kakak saya yang ke-2, yang ternyata kembar namun tak bertahan hidup. Kakak ke-3, 4, dan 5. Jadi, sebelum saya Mama sudah melahirkan 5 kali. Dan setelah saya, melahirkan 2 kali lagi. Terakhir di usia 39 tahun. Semuanya normal spontan. Semuanya lahir di kota, tidak pernah pulang ke kampung ke tempat Nenek. Mari ngelap keringat bersama-sama hehehehe.
Istimewanya, kerabat perempuan yang seusia Mama tidak banyak yang menikah muda. Mama saya punya saudara kembar. Mereka pernah hamil hampir berbarengan. Tante hamil anak pertama, Mama hamil anak ke-6! Jadi, Mama sudah mulai mantu, tante-tante lain masih sibuk dengan ABG-ABGnya. Yyyiiiuuukkkk.
Itu belum ada apa-apanya. Semasa masih gadis, lupa kapan, saya pernah membaca berita tentang seorang penjual pecel di stasiun. Anaknya 13. Yang membuat saya melongo adalah isi beritanya. Disebutkan sehabis melahirkan anaknya yang ke-13 di malam hari sekitar pukul 10 malam, subuh harinya, 7 jam kemudian, si Ibu sudah absen kemabli di stasiun. Siap dengan pecel buatannya :'(.
Isu kedua cerita di atas merembet dari isu menikah muda, hingga memberi jarak kelahiran, isu-isu sosial, sampai isu how does she raise her children? Tapi pertanyaan besarnya : HOW DO THEY GET THE STRENGTH TO GO THROUGH IT?
***
Saya tidak suka anak-anak. Misalnya saja ketika adik bungsu saya lahir. Usianya berjarak 11 tahun dengan saya. Adik saya yang perempuan (disingkat jadi Buntel aja, ya) yang sayang banget. Saat Mama melahirkan, Buntel ikut jagain dan menginap di rumah sakit hingga Mama pulang ke rumah.
Kakak yang lain pun senang menggodanya. Saya? Huh, tak usah, ya. Dengerin dia nangis malam-malam, saya ikut gelisah. Menggerutu karena jam tidur malam terganggu. Suatu kali Mama harus keluar, tak ada orang lain di rumah, si bungsu nampak shock ditinggal berdua dengan saya. Nah lo, nah lo, ahahahahahaha.
Makanya sampai sekarang, saya tak pernah menjadi ‘magnet’ buat anak kecil mana pun. Yang paling friendly sekalipun. Tapi untuk anak sendiri? Ho ho ho.
Saya menyimpan kegelisahan ini sebelum hamil anak pertama. But everything is as easy as it says. Jangankan pas lahir, dari awal tahu ada dua garis di atas test pack, rasa cinta itu tumbuh subur tak terbendung.
Proses kelahiran anak ke-2 yang sempat menggalau. Belum genap dua bulan di Jeddah, saya positif hamil. Memang niat, kok ;). Maboknya jangan ditanya. Sejak hamil muda rasanya sudah ingin pulang ke tanah air, bermanja-manja pada Mama :P.
Apalagi ketika usia kandungan 6 bulan, dapat kabar positif baik Mama dan Mami, tak ada yang bisa didatangkan untuk menemani saya. Tidaaaakkkkk.
Sebagai istri, bukan cuma anak dan diri sendiri yang harus dipikirkan. Sebagai muslim, ketika berani menerima pinangan seorang pria, prdikat istri mengikat janji untuk setia pada suami. Saya pun dulu sulit menerima nasihat, “Kesetiaan istri nomor satu pada suami.” Seiring berjalannya waktu, saya mulai paham betapa indahnya Islam :).
Saya teringat perjuangan suami memboyong saya dan si sulung ke Jeddah. 11 bulan kami ‘dipermainkan’ oleh agen, diberi janji-janji surga akan diberikan iqama (resident permit).
Saya hepi-hepi di Jakarta, banyak saudara, bisa ngider kemana-mana, duit kurang? tinggal ngadu lewat sms (hihihihi). Sementara suami menanggung rindu pada kami :'(.
Masa iya, baru dua bulan bersama, saya hamil, saya harus memutuskan hengkang ke tanah air lagi? Harus berani, pikir saya. Ucapan suami membakar semangat, “Aku siap bantu apa pun.”
Begitu tekad sudah dipupuk, voilaaaa… kekuatan itu datang sendiri :). Tentu mentalnya naik turun, ya. Seperti hormon yang gak stabil. Tapi kenyataannya, sukses melahirkan anak ke-2 tanpa sanak keluarga sama sekali. Hanya meminta tambahan tenaga dari asisten rumah tangga 3x seminggu, 4 jam sehari.
Betapa malunya segitu saja sudah merasa hebat. Bagaimana dengan penjual pecel beranak 13 dan Ibunda sendiri yang melahirkan hingga 8 kali? *plakkk*. Masih harus banyak belajar :'(.
***
Tanpa kita sadari, banyak diantara kita yang bertransformasi setelah menjadi Ibu. Yoi dong, “We are the real TRANSFORMERS” :p.
Ibu saya di masa gadisnya, boro-boro deh bisa masak. Konon beliau yang dikawinkan karena malas membantu Nenek menumbuk padi di lumbung. Suka licik. Maunya main sepeda terus. Disuruh memasak, malah kabur berenang ke sungai. Ahahhahaha. Keberanian yang tidak diwariskan pada saya yang sampai sekarang tak bisa berenang dan belum fasih bersepeda roda 2 :P.
Siapa sangka ABG tomboy itu dianugerahi 7 orang anak and she’s just fine ;). Love you, Mama.
Lulus SMP saja tidak, ngotot kalau anak-anaknya harus sarjana juga tidak pernah, tuh. Kepergian Bapak secara mendadak lebih dari 20 tahun yang lalu menciptakan badai ekonomi yang hebat. Tapi rezeki datangnya dari Allah, orang tua cuma perantara :).
5 dari kami menggenggam ijazah dari perguruan tinggi negeri. 1 orang memutuskan sendiri untuk berhenti di bangku SMA. Dan si bungsu sudah di tahun terakhirnya di bangku kuliah.
Selamat hari Ibu untuk Mamaku yang keren ;). Untuk Ibu Mertua, biarpun hubungan tak semulus jalan tol, rasa iri tak pernah luntur. Terima kasih ya Mami, sudah membesarkan anak-anak yang hebat untuk para menantumu ini hehehe. Semoga waktu kelak menghapus segala kesalahpahaman yang pernah, sedang, dan akan datang.
Untuk para sahabat yang masih berjuang meretas jalan merebut status Ibu. Allah Mahabesar. Iringi selalu perjuangan dengan munajat padaNya, ya :).
Untuk teman-teman yang jauh dari tanah air, yang kerap bermimpi membawa segala kerempongan kita balik ke pangkuan Ibunda tercinta, we know we can do it, rite? Tossss. Sharing lah di Mamasejagat *eaaaahhhh*.
As long as we believe, we can make it through…everything! Insya Allah.
“Being a mother is learning about strengths you didn’t know you had, and dealing with fears you didn’t know existed.” ~Linda Wooten
Yes, it surely is :). Selamat hari Ibu.
***
hahahahahahaha aku ngakak nih baca ibumu dinikahkan karena malas membantu menumbuk padi. Oh how life is so simple ya huahahahaha. Aku sukaaa tulisan ini juga, Jihan. *yah bakal bosanlah ya secara sampe saat ini tulisanmu semua enak banget bacanya*
Iya Mbak. Mama mah bandeeeellll :P. Terima kasih ya sudah membaca tulisan-tulisan di blog ini hehehe.
asik ngikutin cerita mak Jihan. terakhir terkekeh dg yg ini nih : Untuk Ibu Mertua, biarpun hubungan tak semulus jalan tol, rasa iri tak pernah luntur. wuahahaaa… never ending stories for daughter-in-law.
salut utk semangatmu utk bisa mandiri mak 🙂
Sebenarnya yang lebih mandiri banyak, ya hehehe. Standar aja saya mah Mak ceritanya :P.
suka banget baca ceritanya,mbak, ngalir seru. emak-emak kita memnag hebat yaaa
Tiap zaman punya pertaruhannya masing-masing, ya. Mudah2an di zaman sekarang, kita-kita juga bisa jadi emak-emak yang hebat. Aamiin 😀
Yes. We are transformers..
Apaa? Mak J ga bs sepeda roda 2? OMG!
Hahahhahahaa, iya nih gak bisa :D. Pernah bisa tapi enggak sampai lancar waktu itu. SEkrang kalau diulang lagi pasti gak bisa deh :p
Pernah baca jg soal ibu yg punya anak 13 itu di majalah atau tabloid wanita pas lg nyalon sama ibunda. Kita berdua ngekek, sang ibu itu namanya mirip sama ibu saya soalnya: Rusiah ^^
Anyway, i love to read your stories mba! Sbg opini pribadi aja, kadang suka bete baca para emak2 ribus soal WSAHM.
Seneng deh baca2 blognya mbak jihan. Cerita kita hampir sama, hidup merantau jauh dr ortu & keluarga, melahirkan 3 anak tanpa didampingi ibu & hubungan dg mertua yg mirip jln bekas galian PDAM yg gak diaspal. Hahahhaa…..
Hahahahahahha :p. Btw, pas lahiran anak ke-3, saya ditemenin Mama kok di sini :D. Ini nulisnya tahun 2012, pas anak masih 2 hahaha
Sukak banget tulisan2 Mba Jihan ?
Bener banget kata film “I don’t know how she does it” tapi emang bener, jadi Ibu mah semua bisa2 aja ?
Kalo baca yg beranak banyak …jaman dulu aq suka mikir farimana biayanya ya…secara suamiku punya dua anak yg ada di mantan istri..gaji hampir habis buat dikirim ke mantan istri..buat aq cuma nyisa sedikit padahal anak cuma 1..biaya protein nya biaya buah bulanannya..susu bulanannya dan pediasure bulanannya masih dibantu ortu..anak cuma satu..omg…org jaman dulu anak 6 minimal…dikasih makan apa aja ya? Apa karena asi lewat 2 th ga minum susu lagi tapi bisa besar besar ya ..omg tak terbayang olehku