review film green book

GREEN BOOK, It Takes Courage to Change People’s Heart

Kami sekeluarga mendarat di JFK International Airport – New York awal tahun 2017 silam.

Transit beberapa jam lalu lanjut menuju Dallas-Texas.

“So, 3 boys huh?” Seorang pramugari menegur ramah waktu kami baru akan duduk setelah menemukan nomor kursi di atas pesawat.

“Actually, it’s 4!” Saya cengengesan sambil mengarahkan mata ke suami saya.

Ibu pramugari, perempuan kulit putih ras Kaukasian, langsung ngakak kenceng banget. Saya sampai kaget, cuma joke receh gitu doang dia-nya sampai tergelak-gelak.

Setelah itu kami asyik mengobrol. Padahal waktu itu saya agak was-was karena Trump lagi “lucu-lucunya” terhadap pendatang (termasuk kepada yang muslim katanya).

Seorang penumpang ras Afrika masuk dan ingin melintas. Ibu Pramugari berdiri di tengah nutupin jalan karena sibuk mengobrol dengan kami.

“Wait, ” Kata si Ibu pramugari.

Penumpang tersebut “Excuse me” lagi.

Ibu pramugari membentak penumpang tersebut dengan nada tinggi, “I SAID WAIT!”

Wah, aneh juga. Biasanya kan kalau begitu pramugari ya ngasih jalan lah orang mau lewat kok karena kursinya di belakang. Padahal ke kami, dia amat sangat ramah dan bahkan memuji-muji anak-anak saya, “Oh God, I love their eyes, I love their hair. So cute you know..”

Jadi begitulah ternyata. Di perjalanan dari bandara Dallas-Fortworth menuju apartemen, suami mulai cerita kalau memang diskriminasi yang masih terasa dan paling terasa itu ya ke ras Afrika. Ke muslim mah cenderung biasa saja. Walau tentu ada juga gesekan.

Tapi setahun saya di Texas, mungkin karena hoki juga, rasanya enggak ada yang aneh-aneh. Malah terasa orang-orang Texas tuh hangat bersahabat secara umum. Padahal diskriminasi paling tajam terhadap kulit hitam ya di belahan selatan, Texas dan sekitar ini.

Diskriminasi sampai level pemisahan ruang publik yang ditempeli tulisan-tulisan “Coloured Only” masih marak di wilayah selatan sampai tahun 80 an. Sisa-sisanya masih terasa hingga kini .

Apalagi di tahun 60 an. Kisah itulah yang diangkat di film Green Book tapi dengan genre comedy-drama. Komedinya bukan komedi receh yang bikin terpingkal-pingkal.

Percakapannya memang bikin senyum-senyum. Film drama yang cenderung nyaris tanpa klimaks ini sukses membuat saya dan suami nonton dengan serius dari awal ampe akhir.

Pas film habis, baru lari tunggang langgang ke kamar mandi pengin pipis hahahaha. Filmnya benar-benar memikat dari scene pertama hingga scene terakhir di mana mereka makan malam bersama merayakan hari Natal.

Penasaran pengin nonton karena film ini memenangkan Best Picture Oscar 2019. Lihat posternya kok biasa saja.

Saya pikir akan membosankan karena baca sekilas sinopsis hanya berpusat pada 2 orang Don Shirley (Mahershasa Ali) dan Tony Lip (Viggo Mortensen). Don ras Afrika yang lahir di Florida dan besar di belahan utara Amerika Serikat.

Sementara Tony asli Italia yang lahir dan besar di New York.

review film green book

Ceritanya sih memang tidak yang gimana-gimana, ya. Tapi kesannya MENANCAP kuat dalam hati. Skenarionya baguuuusssss.

Can’t help crying out loud (literally) for this scene :

Di adegan hujan lebat saat Tony dan Don berantem karena Tony menuduh Don itu gengsi terhadap kaumnya sendiri, Don keluar dari mobil dan berteriak dengan emosional,

” …. rich white people pay me to play piano for them, because it makes them feel cultured. But as soon as I step off that stage, I go right back to being just another n****r to them. Because that is their true culture. And I suffer that slight alone, because I’m not accepted by my own people, because I’m not like them either! So if I’m not black enough, and if I’m not white enough, and if I’m not man enough, then tell me Tony, what am I?!”

Don Shirley, seorang doktor dari berbagai bidang ilmu termasuk psikologi yang juga sangat fasih bermain piano. Salah satu legenda musik jazz di Amerika Serikat. Yup, ini kisah nyata.

review film green book
Tony Lip & Don Shirley in real-persons

Don ingin tur khusus keliling Amerika Serikat bagian Selatan (Kentucky, Indiana, Arkansas, Louisiana dll). Untuk itu Don menyewa supir/asisten pribadi berkulit putih.

Di utara Amerika Serikat (New York dll), segregasi antara kulit hitam dan kulit putih di tahun 60 an tidak SEPARAH di belahan selatan yang memang setajir apa pun seorang ras Afrika, mau nyoba setelan jas di toko pun TIDAK BOLEH .

Terpilihlah Tony menjadi teman seperjalanan Don. Dalam perjalanan inilah, Tony yang tadinya membuang ke tempat sampah gelas kaca bekas minum 2 orang pekerja ras Afrika di rumahnya, mulai berubah.

Adegan-adegannya lucu-lucu, sedihnya enggak receh, Gaeeeeessssss ?.

Keren banget penggambaran soal kultur Italia dari Tony yang bawel dan hobi mereka kumpul-kumpul dengan keluarga besar yang sama ributnya hahahaha.

Tony yang agak-agak tidak pintar (hihihi) dibantu menulis surat untuk istrinya oleh Don, “It’s D-E-A-R, deer is an animal” ????.

Don yang sangat berpendidikan, rapi, disiplin tinggi, bersih, mau dibujukin nyokot ayam KFC di mobil langsung makan pakai tangan. Biasanya Don paling tidak suka ada remahan apa pun di jok mobil tempatnya duduk.

Waktu masuk penjara karena Tony memukul polisi yang dianggapnya sudah kurang ajar terhadap Don, Don menasihati Tony …

“‘You never win with violence. You only win when you maintain your dignity.”

Sebaliknya, untuk Don yang kesepian dan gengsian tapi ogah menulis surat untuk saudara laki-lakinya duluan, Tony membujuknya :

“The world’s full of lonely people afraid to make the first move.”

Tapi momen paling juara saat Tony bertanya ke Oleg, salah satu musikus rekan Don yang berkrulit putih dan ikut tur juga, “Ngapain sih si Don tuh mau cape-cape konser di sana sini ketemu orang kulit putih tajir-tajir, tapi dia dilecehkan juga.”

Oleg menjawab, “Don itu dibayar 3x lipat lebih banyak untuk konser di New York. But he asked for this.”

Oleg: “You asked me once why Dr. Shirley does this. I tell you, because genius is not enough. It takes courage to change people’s hearts.”

IT TAKES COURAGE TO CHANGE PEOPLE’S HEARTS ???.

Tidak heran, Mahershala Ali (Don Shirley) memenangkan Oscar untuk kedua kalinya sebagai aktor pembantu pria terbaik di film ini.

Viggo Mortensen juga keren banget. Sampai lupa kalau dia pernah menjadi Aragorn di Lord of The Ring hihihihihi. Masuk nominasi tapi Rami Malek disebut-sebut sangat pantas memenangkan Oscar tahun ini.

5 out of 5 stars from me.

Selamat menonton .

review film green book