(dimuat di Majalah Parenting Indonesia edisi Oktober 2015)
Oleh Jihan Davincka
***
Bermukim di Arab Saudi, Sang Negeri Penjaga Dua Kota Suci, memang agak unik. Ada beberapa peraturan lokal yang tidak umum diberlakukan di negara-negara lain. Semisal aturan bahwa perempuan tidak boleh menyetir mobil dan harus mengenakan abaya panjang berwarna hitam di ruang-ruang publik atau tempat-tempat umum.
Awal bermukim di kota Jeddah, bukan cuma masalah penyesuaian dengan banyaknya hal baru yang memenuhi kepala. Tapi juga kekhawatiran terhadap lingkungan baru bagi anak-anak.
Selama di Jakarta, saya tinggal dalam lingkungan perumahan kompleks. Tiap sore anak-anak bebas bermain di luar rumah. Bercanda dengan teman-temannya atau sekadar berlari-lari sambil bermain bola. Naik sepeda ramai-ramai juga sering.
Di Jeddah, suasananya berbeda. Kami tinggal dalam lingkungan apartemen. Lingkungan sehari-hari cenderung tertutup. Perempuan tidak terlalu bebas kemana-mana. Boleh saja, sih, kemana-mana sendirian tanpa suami. Tapi tidak mungkin tiap sore menenteng anak bermain di playground yang harus ditempuh dengan berkendaraan.
Ternyata, ada banyak tempat-tempat menarik selain dua kota suci Mekkah dan Madinah. Tiap minggu, saya sekeluarga bermain ke taman bermain gratis yang tersebar di berbagai penjuru kota. Tiap bulan kami piknik bersama-sama dengan keluarga asal Indonesia lainnya yang bermukim di Jeddah. Semacam acara gathering keluarga.
Salah satu sisi positif tinggal di Saudi karena banyaknya keluarga perantau yang sama-sama berasal dari Indonesia juga. Rasa kesepian mudah dihalau karena banyak teman untuk berbagi.
Menghabiskan Senja di Gurun Bahrah
Lokasi: Kota Bahrah
No. Telp./Website: –
Jam Buka: Buka sepanjang waktu
Harga Tiket: Gratis
Anak-anak saya dari dulu paling suka bermain pasir. Di taman-taman bermain umumnya disediakan arena untuk bermain pasir berupa sebuah kotak yang luasnya beragam. Umumnya memuat hingga belasan anak untuk bermain pasir dalam waktu yang sama.
Bayangkan bagaimana senangnya mereka diajak piknik ke padang pasir nan luas. Beramai-ramai pula dengan teman-temannya yang lain.
Belum lengkap rasanya tinggal di Negeri Gurun jika belum mencoba menaklukkan daerah gurun. Di suatu sore saat akhir pekan, kami diajak teman-teman menghabiskan senja di Gurun Bahrah.
Kami pun pernah beramai-ramai menjajal Gurun Bahrah yang letaknya tidak jauh dari Kota Mekkah. Berangkat dari Kota Jeddah, hanya perlu menyetir sekitar 30-40 menit.
Sepanjang perjalanan saja, banyak area gurun berpasir yang kami lewati. Kepala anak-anak sudah menempel di kaca mobil, “Nanti kita yang ke sana itu, ya, Ma. Nanti bikin benteng-benteng ya, Ma. Boleh guling-guling, ya, Ma?”
Mereka sudah tidak sabar. Saya menanggapi sambil tertawa kecil, “Iya, iya. Nanti tempatnya kayak gitu. Tapi enggak boleh dorong-dorongan, ya.”
Benar saja. Anak-anak tampaknya tidak membuang waktu begitu kami tiba di lokasi. Anak-anak kami meluncur bolak balik di atas gundukan-gundukan pasir yang berbentuk bukit-bukit kecil.
Pasirnya halus nyaris tanpa kerikil sama sekali, begitu diinjak biasanya langsung terburai. Asyiklah anak-anak menjerit sambil tertawa, “Awas tenggelam, pasirnya goyang-goyang.”
Kami, para orang tua saling melempar tawa melihat hebohnya mereka lari-larian ke sana ke mari. Di mata mereka, wilayah gurun mungkin sudah semacam kotak pasir raksasa.
Angin agak kencang saat hari masih terang. Menjelang senja, barulah mereda. Saat itulah, para ibu-ibu segera menggelar tikar dan membongkar barang bawaan masing-masing. Jauh-jauh Selepas senja memang sudah berniat makan malam bersama di sana. Namanya orang Indonesia, tidak bisa lepas dari selera nusantara. Jauh-jauh ke gurun, menunya tetap saja bakso kuah dan sate ayam.
Menjelang malam, mentari yang menjadi satu-satunya sumber penerangan di wilayah gurun mulai menghilang. Lampu-lampu mobil kami nyalakan sebagai sumber cahaya. Makin seru makan bareng-bareng dalam gelap karena penerangan sangat terbatas.
Anak-anak yang sudah kelelahan tidak begitu sulit diminta untuk duduk dan makan.
Tapi tetap sulit dibujuk pulang.
“Sudah gelap enggak bisa main lagi. Besok-besok lagi, ya, mainnya. Pulang, yuk.”
Karena malam, penglihatan terbatas. Mereka jadi bertanya-tanya, “Pasirnya masih ada kan, ya?”
“Masih ada, kok. Masih.”
Piknik di gurun terbuka memang seru. Murah meriah secara biaya tapi anak-anak senangnya tetap optimal. Tapi sebaiknya dilakukan di awal-awal musim panas atau di penghujung musim dingin. Kalau musim dingin saat puncak-puncaknya, suhu terlalu rendah. Bisa menggigil apalagi kalau menjelang senja sampai malam. Di puncak musim panas sebaliknya, suhu terlalu panas.
Melihat Kereta Api Antik di Madain Saleh
Lokasi: Kota Al Ula
No. Telp./Website: https://www.worldheritagesite.org/sites/alhijr.html
Jam Buka: 07.00 – 18.00
Harga Tiket: Gratis. Tapi harus disertai pemandu. Tarif pemandu tergantung rombongan. Umumnya minimal 300 riyal untuk kelompok berkisar 20 an orang)
“Ada kereta, ada kereta! Serbuuu …” Anak-anak langsung berhamburan begitu mobil-mobil kami sudah terparkir rapi di sisi sebuah tempat yang diperkenalkan oleh pemandu sebagai stasiun kereta api zaman dulu.
Stasiunnya sama sekali sudah tidak terpakai. Tapi bangunannya masih lengkap. Sebuah kereta api lengkap dengan gerbongnya juga masih berdiri tegak.
Stasiun ini peninggalan dari Kekaisaran Ottoman yang pernah berniat menghubungkan Mekkah-Madinah dengan kota-kota lainnya di jazirah Arab. Kereta-keretanya akan digunakan untuk mengangkut jemaah haji ke tanah suci.
Di Perang Dunia I, pembangunannya terbengkalai. Oleh pemerintah Saudi, stasiun dan keretanya direnovasi dan dijadikan tempat wisata. Lokasi stasiun ini juga menjadi bagian dari Madain Saleh. Oleh UNESCO, situs ini dinobatkan sebagai salah satu “Warisan Budaya Dunia” tahun 2008.
Madain Saleh terletak di kota Al Ula, berjarak sekitar 400 km dari Madinah. Kali ini, pikniknya kembali beramai-ramai.
Dari lokasi stasiun dan kereta tadi, kami kembali menyetir ramai-ramai dengan mengekor Pak Pemandu di belakang jeep-nya. Pemandu kami, seorang laki-laki paruh baya, yang kami panggil dengan sebutan Abu Ahmad. Orangnya cukup jenaka dan tidak kaku. Beliau menerangkan kepada kami dalam Bahasa Inggris.
Berikutnya kami berhenti dimana banyak terdapat bangunan-bangunan yang terpahat di bukit batu. Abu Ahmad mengawali dengan ucapan, “You can pick your room. You’re going to stay at this hotel.”
Tentu saja maksudnya hanya bercanda. Bangunan-bangunan batu tadi dibangun di abad pertama oleh orang-orang dari suku Nabatean. Sebagian bangunan digunakan sebagai kuburan.
Abu Ahmad menerangkan dengan penuh semangat bahwa proses pembuatan bangunan tadi sangat unik. Mengandalkan tenaga manusia biasa. Hanya dipahat dengan menggunakan alat dari kayu dan batu disertai percikan air untuk melunakkan agar mudah dibentuk. Sangat kami melongo, Abu Ahmad tersenyum puas, “Isn’t it amazing?”
Di sekitar area tadi banyak wilayah padang pasir. Anak-anak berlarian ke sana kemari sambil berteriak-teriak.
Lokasi terakhir yang kami datangi bernama Ad Diwan. Bangunan batu khusus yang digunakan oleh orang-orang dari suku Nabatean tadi untuk berkumpul di acara-acara pemujaan. Ad Diwan juga berupa bangunan yang dibentuk dengan memahat perbukitan batu. Modelnya agak beda. Ruang tengahnya lebar dan tidak ada pintu.
Seharusnya masih ada beberapa titik yang biasanya ramai dikunjungi oleh para wisatawan. Sayang sekali, sudah terlalu sore untuk melanjutkan jalan-jalan ke lokasi lainnya.
Karena anak-anak senang sekali bermain pasir, jadi cukup repot ketika harus mengumpulkan mereka masuk ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan antar lokasi tadi. Cukup makan waktu membujuk mereka.
Akhirnya sebelum senja benar-benar berada di puncaknya, kami sudah meninggalkan pintu gerbang Madain Saleh, hendak kembali ke Madinah, ke hotel tempat kami menginap.
Bersenang-senang di Pantai Thuwal
Lokasi: Kota Thuwal
No. Telp./Website: –
Jam Buka: Buka sepanjang waktu, tidak ada pagar/penghalang
Harga Tiket: Gratis
Jeddah terletak di pesisir barat Saudi, dimana terdapat beberapa pantai cantik di luar kota yang seru buat liburan.
Salah satunya Pantai Thuwal. Terletak di kota Thuwal, sekitar 80 km di utara Jeddah, dan ditempuh sekitar sejam dengan menyetir santai.
Bosan juga, ya, kalau terlalu mengandalkan fasilitas di mal-mal besar yang tersebar di berbagai penjuru kota untuk menyenangkan hati anak-anak. Mereka perlu hiburan di luar ruangan. Sementara anak-anak lebih senang bergembira beramai-ramai. Masalahnya tidak mudah juga memberikan aktivitas untuk mereka tanpa menganggu orang lain. Di kota-kota besar, di tempat-tempat publik di Saudi, privasi dijaga ketat. Ribut sedikit pasti ada yang menegur.
Tinggal jauh dari tanah air jangan sampai menjauhkan anak-anak dari akarnya. Rata-rata dari kami sudah tinggal di Arab Saudi lebih dari 2 tahun. Kami ingin mengenalkan kebiasaan anak kecil sebaya mereka di tanah air. Kami pun seru-seruan dengan mengadakan lomba makan kerupuk buat mereka.
Anak-anak umumnya suka sekali makan kerupuk. “Ayo, ayo, ayoooo … ” Mereka merespons dengan penuh semangat saat diberitahu.
Kerupuk, bukan makanan langka di Arab Saudi. Maraknya pendatang asal tanah air membuat banyak orang membuka toko-toko yang menjual makanan khas dan barang-barang lain asal Indonesia.
Lomba makan kerupuk sebenarnya untuk anak-anak yang berusia di atas 5 tahun. Tapi yang kecil-kecil juga memaksa ikut serta dalam barisan. Mereka ikut ribut, “Mau kerupuk juga.”
Mereka awalnya bingung melihat kerupuknya diikatkan di seutas tali dan berusaha memegangi kerupuk, “Kerupuknya goyang-goyang,” begitu alasan mereka.
Setelah diterangkan aturan mainnya, barulah mereka paham dan permainan bisa segera dimulai.
Acara lomba-lomba dilanjutkan dengan permainan mencari harta karun bajak laut. Sudah disiapkan oleh tim ibu-ibu topi-topi handmade dan hadiah secukupnya bagi mereka. Menang kalah semua dapat hadiah tentunya.
Ini permainan untuk anak yang lebih kecil. Ibu-ibu mengubur bola-bola warna warni dalam pasir. Nanti mereka akan mengais-ngais di pasir dan memasukkan temuan bola-bola tadi ke dalam kantong plastik. Pengumpul terbanyak akan menjadi pemenangnya.
Salah satu kelebihan pantai Thuwal dibanding pantai-pantai lain di kota Jeddah dan sekitarnya adalah kebersihan dan kelengkapan fasilitasnya. Di Thuwal, banyak petugas berseragam wara wiri membersihkan berbagai tempat di lokasi tempat wisatanya. Termasuk kamar-kamar mandi yang bebas digunakan oleh siapa saja.
Seringkali anak-anak berlarian dari arah pantai sambil memegang celana sambil panik, “Mau pipis, mau pipis!”
Tak ada masalah. Jumlah kamar mandi di sana cukup memadai dan kondisinya bersih dan sangat layak pakai. Sementara di beberapa pantai lain, fasilitas umumnya nyaris tidak ada dan tempatnya kurang terawat.
Di pantai Thuwal, didirikan sebuah bangunan yang dibiarkan terbuka. Hanya ada atap yang menutupi seluruh bagian bangunan dan tiang-tiang penyangga yang berjajar rapi di sisi kanan dan kiri bangunan. Bangunan beton ini dibuat memanjang dan cukup luas untuk menampung hingga ratusan pengunjung.
Tidak cuma para orang tua yang ingin melepaskan penat dengan istirahat di atas gelaran tikar sambil memandangi birunya langit yang beradu dengan birunya air laut. Anak-anak pun tidak ketinggalan ingin bermain sepuasnya kala di sana.
Pilihan mereka untuk bersenang-senang tidak hanya dengan berenang. Sebagian anak-anak nampak asyik bermain-main dengan pasir halus yang mendominasi pelataran di pesisir pantai Thuwal.
Perairan di wilayah pantai Thuwal termasuk cukup aman untuk berenang. Karena letaknya bukan di laut lepas. Melainkan di wilayah teluk. Jadi, nyaris tanpa ombak dan pusaran airnya cukup tenang. Tak perlu khawatir melepas si kecil berlarian ke dalam air bila sudah bosan bercengkrama dengan timbunan pasir.
Buat para perempuan dewasa, kostum wajib abaya tetap harus digunakan. Abaya, berupa kain hitam panjang yang menutup hingga ujung kaki tidak boleh dilepas sekali pun para perempuan dewasa ingin beraktifitas dalam air. Sebenarnya ada beberapa tempat yang memungkinkan para perempuan untuk melepas abayanya. Misalnya di wilayah yang termasuk dalam private beach.
Private beach biasanya tidak dibuka untuk umum. Perlu undangan khusus untuk bisa menikmati tempat khusus seperti ini. Kalaupun dibuka untuk umum, kita perlu merogoh kocek untuk membayar biaya masuk.
Pantai Thuwal sendiri termasuk tempat umum. Tidak dikenakan biaya apa pun tapi aturan yang berlaku adalah aturan khas Kerajaan Saudi. Termasuk kewajiban berabaya dalam kondisi apa pun bagi para perempuan dewasa.
Saat senja telah hampir usai, wilayah perairan harus dikosongkan. Ada petugas yang lalu lalang memberi peringatan agar semua pengunjung keluar dari air sebelum gelap datang.
Setelah lelah bermain, silakan membersihkan diri di kamar-kamar mandi yang jumlahnya cukup banyak dan tersebar di berbagai penjuru wilayah pantai. Selanjutnya, marilah bersantai di atas tikar yang boleh digelar di atas pasir atau di atas lantai bangunan terbuka yang saya ceritakan sebelumnya.
Di malam hari, lampu-lampu bangunan akan dinyalakan. Beberapa penjual layangan akan bermunculan. Bila masih sanggup beraktifitas, kita bisa membeli beberapa buah layangan dan bermain bersama si kecil di bawah siraman cahaya rembulan di tepi pantai ****
Wah…seru juga yaa petualangan seru jalan2 di padang pasir.. Pastinya anak2 senang banget ya Mba main pasir sepuas2nya..
Menarik sekali…. Kok jadi pengin ya… 🙂