Kisah naik haji ini bagian 1-nya di sini.
Salah satu kegelisahan saya menjelang naik haji ada cerita beberapa teman yang juga berhaji dengan menggunakan hamla Arab. Beberapa bercerita, mentang-mentang orang Indonesia, suka disuruh-suruh ini itu oleh jemaah Arab lainnya. Walah, saya kan orangnya gampang tersulut, ya :P. Gimana nih?
Tapi niatnya mau naik haji kok ya mikirin macam-macam. Jadinya saya pasrah saja, deh. Sudah siap-siap mental kalau di’bully’ ama perempuan-perempuan Arab di tenda hihihi.
Dalam tenda saya, dari 16 orang perempuan dewasa, 15 orang lainnya adalah perempuan Arab asal Mesir. Dibully beneran gak, nih? Ternyata … engga dooooooong :P. Tidak sama sekali ;).
‘Strategi’ saya adalah, jangan diam saja! Gak susah lah, secara orangnya memang kepo dan doyan ngoceh hahaha. Tak bisa berbahasa Arab tapi kan bisa bahasa Inggris ;).
Dari pertama masuk tenda, sudah memasang tampang penuh percaya diri, tangan kanan menggendong si kecil, tangan kiri nenteng tas, bersuara lantang, “Where can I sleep and put my stuff?”
Seorang dari mereka, yang paling fasih berbahasa Inggris, menyambut dengan senyum sangat ramah. “Welcome, welcome. You can pick any place. But some are already booked.”
Semua tempat tidur bawah sudah terisi. Jadi, saya kebagian tempat tidur tingkat atas. Which is anugerah juga. Tempatnya lebih luas dan tidak terlalu pengap.
Mereka semuanya baik banget :). Tidak ada diskriminasi sedikit pun. Apalagi nyuruh-nyuruh gak jelas. Di siang hari malah saya leluasa ke kamar mandi atau keluar tenda sebentar jika ada keperluan dan menitipkan anak saya ke salah satu dari mereka.
Tadinya ada 2 ibu-ibu yang nampak agak ‘segan’. Saya pikir, ya sudahlah, you just can’t have it all. Setidaknya ada 13 orang lainnya yang gak lelah ngajakin ngobrol dan kompak membuat saya merasa senyaman mungkin :).
Sebagian terbata-bata berbahasa Inggris tapi tak pernah bosan menyambut ajakan saya untuk mengobrol.
Di hari terakhir, barulah saya tahu kenapa 2 orang ini nampak ‘menjaga jarak’. Dengan malu-malu mereka berujar, ketika di hari terakhir sarapan, “Sorry, Jihan. Mafi English.” Oh, ternyata mereka tak fasih berbahasa Inggris. Saya menjawab santun sambil senyum-senyum, “Mafi musykillah, mafi musykillah.”
Di hamla saya, ternyata ada juga beberapa orang Indonesia. Saya bertemu di tenda Arafah. Ada sekitar 5 orang, yang kesemuanya berprofesi sebagai pekerja rumah tangga.
Sebagian takut keluar tenda dan menitip ke saya untuk membeli Indomie gelas hehehe. Maklum ya, selama berhari-hari di Mina dan Arafah, sebagian perut pribumi berontak terhadap suguhan makanan Arab hihihi. Saya sih doyan banget nasi biryani dan segala rupa makanan Arab :p.
***
Sepanjang hari di tanggal 8 dilewati dengan acara kenal-kenalan. Malam harinya semua tidur lebih awal. Mempersiapkan diri untuk wukuf di Arafah di keesokan paginya.
Azan subuh masih berkumandang, tapi compound kami sudah hiruk pikuk sejak sejam sebelumnya. Setelah sarapan ala roti Arab yang dicocol krim keju, berbagai macam selai, dan halawa’ (ini favorit saya, nih), tepat jam 7 pagi, kami semua berbaris di depan tenda. Ikut mengantri menuju stasiun kereta yang akan membawa kami ke Padang Arafah.
Stasiunnya dekat sekali. Stasiun Mina 1, hanya berjarak sekitar 200 meter dari compound hamla kami. Tapi puluhan ribu jemaah lainnya akan menuju stasiun dan menaiki kereta yang sama. Sekitar 1.5 jam kami mengantri dari depan tenda hingga menapakkan kaki ke atas kereta.
Suasananya cukup tertib. Masih pagi dan masih segar mungkin, ya. Talbiyah terus berkumandang tak putus-putusnya. Terus membakar semangat biarpun kaki cukup pegal berdiri dan berdesakan cukup lama. Petugas-petugas di stasiun jumlahnya ratusan dan sangat kompak.
Puluhan laki-laki berseragam biru tua itu tak ada capeknya mengarahkan puluhan ribu jemaah dari mulai antri di jalanan, memasuki stasiun, hingga berdiri dengan patuh menanti di pintu kereta.
Anak saya anteng banget. Masya Allah. Bocah 18 bulan inilah salah satu penyemangat saya dalam perjalanan naik haji kali ini. Malu kali, Cyyyiiinnn, sama anak 1.5 tahun hehehehe.
Naik keretanya cuma 20 menit saja. Dari stasiun Mina 1 dan turun di stasiun Arafat 3. Berjalan kaki sekitar 15 menit menuju tenda hamla kami. Di sepanjang jalan, terutama di bawah jembatan, sudah dijejali para ‘haji koboi’ hehehe. Membawa tenda sendiri, bahkan ada yang cuma bermodal sebuah tikar tipis.
Tanggal 9 Dzulhijjah pagi itu, Arafah penuh jutaan umat. Datang bersama-sama dari segala penjuru dunia. Untuk menundukkan diri di hadapan Allah, memuji keagunganNya di momen Wukuf, salah satu rukun wajib sahnya ibadah naik haji.
Mahabenar Allah dengan firmanNya, yang sudah diturunkan lebih dari 1400 tahun yang lalu, bahwa :
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (٢٧)لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ (٢٨)
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka …” (Al Hajj: 27-28).
***
Note : this is my hajj story, performing Hajj on 2012. What’s your hajj story? 😉
bacanya merinding, subhanalloh ya suasana Arofah di 9 Dzulhijjah. Semoga kami tak lama lagi diundang kesana. Amin
Aamiin <3