Salah satu obrolan yang lazimnya terjadi di akhir pekan saat suami kerja di Arab :
“On call gak, Bang?”
“Enggak.”
“Umrah, yuk.”
“Hayuk.”
“Abis aku nyuapin, mandiin anak-anak, kita langsung berangkat.”
“Ok.”
Berapa tempat sih di dunia ini yang memungkinkan percakapan di atas terjadi?
Bahkan jika Anda bermukim di negara Saudi pun belum tentu bisa memutuskan untuk umrah dalam hitungan detik. Kota Madinah saja jaraknya ratusan kilometer dari Mekkah. Ibukota Riyadh malah berjarak lebih dari seribu kilometer.
Salah satu tempat ‘penuh berkah’ tersebut adalah kota Jeddah :). Berjarak hanya sekitar 70 km dari Rumah Tuhan.
Cukup dalam tempo sejam sejak mobil meninggalkan parkiran gedung apartemen, kami sudah bisa berdiri berhadapan langsung dengan bangunan hitam yang berdiri tegak di tengah-tengah Masjidil Haram. Itu sudah termasuk cari tempat parkir dan berjalan kaki dari basement mal masuk ke dalam masjid.
***
Itu baru soal jarak. Berapa biaya yang harus dikeluarkan para jemaah umrah asal tanah air? Minimal belasan juta. Bahkan banyak yang di atas 20 juta rupiah.
Kalau naik mobil kan tetap harus bayar bensin. Seorang kenalan dari Doha pernah berkata, “Doha enaaakkk. Bensinnya cuma 2500 perak per liter.” Hmm…2500, ya? Kalau 1000 perak per liter gimana? Hehehe. Kalau di Indonesia premium, tuh. Salah! Di Indonesia minimal 10 ribuan (harga per 2015). Karena bensin yang dijual umum di kota Jeddah levelnya ‘pertamax’ semua ;).
Ibu saya saat umrah kemarin sempat berkata, “Aduh, penuh juga, ya. Kasihan itu anak-anakmu ya kalau dibawa umrah.”
Selain jarak dan biaya, kami, para pemukim Jeddah, juga beruntung soal ‘waktu’ dan frekuensi. Kami punya pilihan untuk ziarah ke tanah suci di saat-saat lengang. Lho, ada, ya? Kalau masih bingung berarti belum baca buku “Bunda of Arabia.” Beli, gih :P.
Visa umrah ditutup oleh pemerintah setelah idul fitri. Persiapan menyambut kedatangan jemaah haji dari seluruh penjuru dunia. Kami akan menikmati waktu sekitar 2 minggu untuk mengunjungi Mekkah dan Madinah yang masih terbilang sepi. Berapa orang sih yang diberikan rezeki merasakan tawaf 10 menit saja?
Begitu musim haji berlalu, visa umrah kembali ditutup. Waktu berleha-leha lebih panjang. Bisa sekitar 2 bulan. Saat inilah biasanya, kiswah penutuh Ka’bah diganti. Beberapa tempat dalam masjid ditutup untuk renovasi.
***
Saat kerja di Arab, bagaimana dengan naik haji?
Sewaktu pulang liburan kemarin, teman saya mengeluh. “Gila lu, sekarang ngantrinya bisa 7 tahun. Ampun, deh. Gue masih lagi nabung nih buat bayar uang mukanya. Kalau uang muka sudah lunas, baru bisa masuk antrian.”
“Berapa uang mukanya?”
“25 an sekarang. Kalau berdua suami 50 jadinya. Ya tapi kan biaya lain-lain juga masih banyak.”
“ONH plus aja.”
“Lu kira berape? ONH plus yang sodara gue aja bisa 80 jutaan. Itu ternyata bukan yang mewah-mewah amat. Kalau berdua 160 juta, dong.”
“Ooohhh…”
“Makanya beruntung lu, gak banyak cing cong tau-tau udah hajian aja. Selamat ya, say.”
Tepat sekali. Bahkan setelah hari raya idul fitri berlalu pun, saya tidak menyangka akan mendapat kesempatan naik haji. Bukannya keinginan tidak ada. Tapi pertimbangannya cukup banyak mengingat anak bungsu saya usianya belum 2 tahun.
Kami mendaftar sebulan sebelum periode wukuf. Biayanya hanya belasan juta rupiah. Mendaftar di hamla lokal sini. Bisa lebih murah kalau mau. Tapi karena kami memboyong si kecil, kami berusaha memilih biro haji yang nyaman dan tidak terlalu mahal. Yang lebih mahal juga banyak soalnya.
Itu baru soal biaya. Di tahun yang sama, ada 2 kerabat suami yang juga melaksanakan ibadah haji. Keduanya melalui program haji reguler. Mirisnya mendengar fasilitas yang mereka dapatkan :(.
Jatah makan yang pas-pasan dengan lauk super sederhana. Pembagian makanan dengan sistem antrean. Tidur tanpa alas kasur, boro-boro ada selimut, bantal saja tidak ada. Tenda di Mina sangat sesak, sehingga untuk tidur pun tak mungkin meluruskan kaki. Kamar mandi sangat terbatas. Bahkan Tante mengeluh, ada jemaah yang nekat membuang air di tempat wudhu.
Perjalanan untuk melontar jumrah ditempuh dengan jalan kaki pulang pergi, full 3 hari. Bahkan 4 hari untuk yang mengambil nafar tsani.
Berhaji dengan hamla lokal Arab? Makanannya berlimpah ruah. Bahkan seringnya makanan diantar ke dalam tenda masing-masing. Tak perlu repot mengantre, keluar tenda saja tidak perlu. Hampir tiap saat pula, meja panjang di selasar depan tak pernah kosong oleh makanan. Minuman kaleng tak pernah kosong dalam lemari pendingin. Cemilan disuplai tiap hari, pagi-siang-sore.
Kami tidur menggunakan dipan. Hamla saya menggunakan tempat tidur tingkat. Ada kasur, bantal, lengkap dengan selimut. Satu orang ya satu tempat tidur :). Di tengah-tengah tiap tenda ada ruangan cukup luas untuk makan bersama atau digunakan sebagai tempat bermain untuk anak-anak.
Kamar mandinya cukup memadai. Bahkan, ada petugas yang membersihkannya tiap hari. Jarang banget mesti antre.
Melontar jumrah? Pulang pergi naik kereta. Full AC. Dimana lokasi tenda hamla kami di Mina sangat dekat dengan stasiun kereta. Masya Allah, hingga detik ini rasanya tak pernah akan cukup rasa syukur yang sanggup terucap untuk pengalaman haji via Jeddah ini.
***
Tentu saja, hidup di Jeddah juga banyak ‘tantangan’nya. Tapi namanya manusia. Tempat salah dan lupa. Seringnya kita terlalu sibuk mencari-cari yang tidak ada.
Mengeluh soal dikekang lah, soal sekolah anak lah, soal jauh dari orang tua lah, mengeluh soal keterbatasan soal menyetir (kayak situ bisa nyetir aje hahaha). Sama, saya pun kadang tak lepas dari pikiran-pikiran seperti itu.
Saya rasanya ingin terbang ketika akhirnya ada kesempatan untuk tinggal di salah satu wilayah yang saya impi-impikan. Saya berdiri di barisan paling depan untuk menyemangati kala suami saya menunjukkan keraguan untuk pindah dari sini.
Lucunya, ketika beberapa hari sebelum benar-benar akan hengkang suami berkata, “Nih, tiket tanggal segini. Mulai packing-packing, gih.”
Tanggapan saya tak lain dan tak bukan adalah…mewek! Hahaha. Ya ampun, saya jauh lebih cengeng daripada yang saya kira.
Begitulah, “You don’t know what you’ve got until it’s gone.”
Siapa bilang bersabar dan bersyukur itu mudah, sih? Tapi untuk rasa syukur yang harganya memang mahal itu, Allah sudah menjanjikan ganjaran yang tidak sedikit :
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”(QS. 14:7)
Saya terjebak dalam perasaan senang luar biasa dan sedih sekaligus. Maka, daripada nangis-nangis gak jelas, mari kita ikat kenangannya dengan tulisan :).
Berterima kasih untuk segala hal yang sudah berlalu. Sembari berharap keberkahan yang sama di tempat baru nanti. Walaupun mungkin dalam bentuk yang berbeda.
Can’t thank God enough for this :). How can I not Love Jeddah? <3.
(Catatan lama yang ditulis di Mushrifah-Jeddah, di penghujung Januari 2013 silam)
***
Iya niiihh…aku udah baca di buku How can I not love Jeddah… tapinya sampe skrg blm direview juga 🙁 Sampe ngiri bisa gampang banget si neng poni naik hajinya, kayak piknik ke kampung sebelah aja 🙂 Barakallah ya jeng…
Thank you Maaaakkk. Review itu ya sesempatnya ajalah :D. Hukumnya sunnah kok bukan wajib hihihihi.
Iya Mbak, ada faktor keuntungan lokasi juga. Dari Jeddah itu kalau mau haji “backpacker” juga bisa banget. Banyak yang bandel tuh naik haji tiap tahun dengan modal rantang + tikar doang :D.
Salam kenal mba, suami saya jg tinggal di arab saudi tepat nya dimekkah. Sdh 8thn dia bermukim dan bekerja disana, dari masih bujang dan skr sdh memiliki anak. Tp sayang nya saya dan anak td bs ikut dgn suami tinggal dimekkah dikarena kan masalah visa. Selama itulah kami LDR. Hihihihi.. Suami dimekkah, saya dan anak di indonesia 🙂
Iya, visa buat keluarga memang agak berat ya di Saudi huhuhu. Tapi boleh sesekali datang dan tinggal beberapa lama kan Mbak? 😀
Terakhir saya ke mekkah ramadhan 2012, lg hamil 6bln. Nekat terbang kemekkah sendirian buat jengukin suami sekalian hanimun maklum pengantin baru hihihihi..
mbaca ini jadi penginnya naik haji via Jeddah
Salam kenal mb Jihan,
melihat tulisan mbak Jihan, dan mengingat daftar antrean yg subhanallah bgt via indonesia, berarti bisa yaa brgkt ke jeddah via visa turis lalu daftar pake biro haji di jeddah situ mb yaa? Dan kalo dihitung lbh murah dan fasilitas yg didapet ndak mengecewakan yaa?
Makasih atas tanggapannya
*kepikiran pengen haji-in orgtua tapi liat daftar antrian yg bikin senyum kecut 🙁 *
Di Arab Saudi tidak ada visa turis!!! Hehehehe :D.
wah enak ya mbak cuma sejam…. kok kayaknya gampang ajeehhh… jadi p-engen berduit 160 jutaaan lagi naek haji ONH plus sama calon hadeehh… kapan yax?? dosa masih bejibund ah belo9m bisa ke sana sedih T.T
sukurlah mbk
Mbak jihan, boleh tahu nama hamlanya apa mbak?
Mahabbah Mbak. Lokasinya di Palestine Street, Jeddah. Tepatnya di perempatan Sitten Street dan Palestine Street. Mudah-mudahan masih ada ya 😀
Jadi kangen nuansa umrah di januari 2016 kemarin. Sempat bertemu teman SMP yang sudah tujuh tahun tidak pernah bertemu.
Gimana mau ketemu orangnya lagi kuliah di sana. Hehe. Salut sama mereka mahasiswa dan para pekerja Indonesia di sana.
Katanya di jeddah, mekkah, dan madinah label orang Indonesia di sana, yaitu kaya, suka belanja, tapi maaf mudah dibodohi.
Mereka pekerja dan mahasiswa yang berusaha untuk merubah label buruk orang2 Indonesia dengan cara berprestasi, berpendidikan, dst. Hehe
Semoga bisa balik lagi ke sana dengan keluarga baru dan keluarga besar di kemudian hari. Aamiin. Aamiin. 😀