Makanan Halal di Luar Negeri, Mungkinkah?
Mungkin bangeeeetttt hehehe. Ini karena sering menghangat diskusi soal makanan halal saat jalan-jalan ke luar negeri. Soal bagaimana konsumsi makanan saat bepergian ke luar negeri. Terutama ke negara-negara mayoritas non muslim. Sebagian langsung berpendapat, “Kan emergency. Bolehlah makan apa saja asal tidak ada b*b*nya.”
Seharusnya sih, ya, definisi makanan halal itu tidak bisa dibilang “tergantung mazhab”. Karena ketentuannya langsung ada dalam alquran, dalam ayat-ayat yang sifatnya sangat eksplisit :). Panduan utamanya maksudnya. Kalau yang printilan memang rupa-rupa pendapat yang ada hehehe.
Soal daging, jelas dan terang. Kehalalan daging tidak hanya semata-mata, “Asal bukan daging babi, bismillah saja” :D. Dalam ayat-ayatnya, daging yang dimakan harus disembelih secara “benar”.
Karena memang bermukim di luar negeri, kalau mau jalan-jalan ke luar kota, ya saya pribadi lebih prefer bawa bekal sendiri ^_^. Entah nasi goreng, mie goreng, kentang panggang, roti isi, atau apalah :D. Tapi bagaimana kalau 100% turis yang kebetulan jalan-jalan ke luar negeri? Jangan menggampang-gampangkan situasi emergency lah :D.
Kalau daratan Eropa, hampir tidak ada masalah setahu saya. Di masjid tempat suami sering numpang salat, pernah kedatangan ulama dari Dublin yang kebetulan “mengurusi” masalah sertifikasi halal di ranah Eropa.
Bagi pemukim muslim di Eropa, apalagi di negara-negara selevel Belanda atau Jerman, hampir pasti dapat menemukan gerai/penjual daging halal ^_^. Di Irlandia sini saja, di kota yang penduduknya hanya 20 ribu orang ini, gerai daging halal sampai ada 2 lho! Baru saja dekat City Center buka satu toko baru. Horeeeee, enggak perlu jalan jauh-jauh sejauh 2 km untuk ke toko satunya lagi :p.
No excuse to consume non halal meat, unless you want it to ;).
Daging kosher yang umum dikonsumsi oleh orang Yahudi juga tergolong HALAL ^_^. Bukan kata saya. Berdasarkan kesepakatan ulama Eropa, kata si Pak Ustaz tadi :D. Bukan konspirasi lho, ya, hihihihi :p.
Vegetarian menu/food juga halal, insya Allah :). Nah, ini penolong banget. Saat saya ke London tempo hari, gerai makanan halal enggak sinkron dengan rute jalan-jalan kami, jadi kami makan di tempat makan sedapatnya saja.
Boleh enggak makan di Pizza Hut? Boleh, insya Allah. Tapi hanya boleh memesan vegetarian menu. Di Eropa, penanda vegetarian food itu sudah sangat lazim digunakan. Biasanya pakai tanda (v). Vegetarian menu itu include keju-kejuan dan telur, tidak melulu daging saja. Buat saya yang memang FCer, malah enak banget hihihihi.
Kalau kata Pak Ustaz, pengusaha makanan di Eropa (yang berlisensi resmi) cukup terpercaya. Karena mereka bisa dituntut oleh kaum vegan kalau berani-berani ‘bandel’ memasang bandrol (v) tapi ternyata masakannya mengandung unsur hewani (di luar susu dan semua turunannya + telur). Penegakan hukumnya terpercaya ;).
Jadi, untuk Eropa, saya belum bisa menerima argumen soal penetapan “terpaksa/darurat/emergency” jadi boleh mengkonsumsi “daging apa saja selain b*b* asal baca bismillah” :p.
Mari pindah kawasan :D. Saya ceritakan sedikit pengalaman suami yang sering traveling ke luar negeri sampai lebih dari sebulan. Pas ke Turki mah bebas merdeka yak hihihi. Tapi sempat galau pas ke Santiago, ibukota Chile.
Alhamdulillah, suami saya memang tidak rewel. Sejak tahun lalu pun sudah saya perjuangkan ini satu rumah biar akrab dengan sayur-sayuran dan teman-temannya :D. Suami juga orangnya mau masak sendiri, hanya kalau tidak ada bininya! Hahaha. Kalau ada saya mah, jangan harap dia mau! :p.
Di Chile, gerai daging halal nyaris tidak ada. Lingkungan pergaulan orang Indonesia “di sana” juga ternyata tidak begitu peduli dengan gini-ginian. Bingung mencari penjual daging halal. Akhirnya suami saya memilih makan telur dan seafood selama di sana.
Takjub juga dengan semangat juangnya hehehe. Mengingat suami saya lidahnya Minang abis ya Kakaaaaa. Enggak ketemu daging sapi/kambing seminggu, dia bisa cranky kalau di rumah, “Mamaaaaaaa, bikinin daging!” :v :v :v.
Kalau skype-an pas dia lagi jauh, ribut banget minta resep ini itu. Setengah mati diajarin, ujung-ujungnya, “Susah ah, ditumis-tumis lagi ajah.” :v :v :v.
Saat ke Tiongkok, yang kata orang susah mencari makanan halal, ternyata tidak benar juga. Suami saya sempat assignment ke Kota Wuxi. Ini tergolong bukan kota besar lho di sana. Tapi gerai makanan halal terbilang banyak ^_^. Mana menunya cocok, ya, dengan lidah Asia kita :D.
Setidaknya kalau susah menemukan resto makanan halal, jangan langsung ‘pasrah’. Hindari sebisa mungkin. Menu vegetarian memang tidak terlalu “lazim” di Tiongkok. Ini juga pengalaman saya pas ke China Town di London. Mereka nangkepnya vegetarian menu itu yang ada sayurnya. Bingung kan pas ditawarin susunan menu, paling atas itu ada tulisan “Pork Pak Choy” hahaha.
Tapi tenang, di China Town-London, juga di setiap restonya mencantumkan tanda (v) untuk menu-menu vegetariannya. Tidak 100% mereka patuh, sih. Maklum, ya, bumbu-bumbu khas menu oriental memang agak-agak “mencurigakan”. Tapi ingat, kita sudah mengikuti petunjuk “alim ulama” di tempat yang bersangkutan ^_^. Jangan meribetkan diri sendiri.
Balik ke wilayah-wilayah Asia Timur Jauh seperti Tiongkok, Jepang, Taiwan, Korsel dll. Paling aman ya memang masak sendiri. Tapi kalau jalan-jalan cuma seminggu masa iya waktu habis di dapur doang hihihi. Next step, usahakan mencari menu vegetarian ^_^. Atau menu-menu seafood, yang walau belum pasti kehalalannya, ya tetap lebih baik. Daripada cari gampang dengan mengkonsumsi makanan berdaging non seafood yang sudah kita pastikan TIDAK HALAL :).
“Ah, saya kan enggak suka sayur. Alergi seafood pula.” –> jangan jalan-jalan ke tempat yang susah cari makanan halal yang ada dagingnya kalau gitu! Which is kota-kota besar di Jepang pun sudah tidak sulit mencari gerai makanan halal. Jadi, alasan ini harusnya mental dengan sendirinya :p.
“Lho? Saya rezekinya di negara itu. Di sana susah atau hampir enggak mungkin, jadi gimana, dong?” Bumi Allah ini, kan, sangat luas :D. Jangan gampang loyo gitu dong, Kakaaaaa ^_^.
Pertimbangkanlah baik-baik ke mana kaki akan melangkah :). Lagian balik lagi ke atas, di Amerika Serikat-Eropa-Australia-Jepang-Korsel-Tiongkok, makanan halal atau vegetarian food bukan barang langka. Kalau ke Timur Tengah mah, enggak usah ditanya hehehe. Tidak sedikit belahan wilayah Afrika juga mayoritas sudah muslim. No excuse :p.
Di Amerika Latin memang tergolong sulit. Jadi, pastikan kalian sudah siap dengan resiko soal makanan manakala hendak merantau ke wilayah itu :). Jangan mempersekutukan “perintah Tuhan” hanya gara-gara alasan rezeki. Yang memberi rezeki adalah Dia semata kok. Kenapa harus ragu? :).
Kalau alasan lainnya seperti dagingnya tidak segar, harganya lebih mahal daripada harga daging di supermarket biasa, ya itu sih sudah urusan masing-masing saja, ya, hehehe.
Saya menulis ini bukan untuk mengancam-ancam. Hanya mencoba meluruskan. Ternyata tidak sedikit yang menganggap situasi liburan/jalan-jalan/bermukim di luar negeri (yang mayoritas bukan muslim) sebagai “keadaan darurat/emergency” jadi boleh makan apa saja asal bukan b*b*. Tidak begitu, kok, kenyataannya ;).
Kemarin sih sudah disindir, disuruh beli hewan hidup dan disembelih sendiri saja katanya hehehe. Lah, saya sih tidak ekstrim. Toh, tidak perlu sebegitunya kok ;). Pilihan lain sudah saya jelaskan detail yang tidak mengharuskan kita . Secara kesehatan pun, dalam ‘pola makan’ yang saya anut, protein hewani itu tidak harus dikonsumsi tiap hari. Di atas usia 30 tahun, malah seharusnya makin dikurangi. Urusan lidah cocok apa tidak? Sangat tidak relevan :p.
Hikmah makanan halal itu sebenarnya tidak hanya sekadar menguji kesabaran dan konsistensi kita di situasi-situasi tertentu. Tapi secara kesehatan, tidak sedikit penemuan ilmiah terkait metode penyembelihan hewan yang disarankan dalam alquran. Tuhan sih tidak ada urusan kita mau makan apa dan bagaimana. Semua untuk kebaikan diri sendiri juga ^_^.
Kalau pun masih sulit dicerna pakai akal biasa dan dianggap “mengada-ada”, benteng terakhir ya tinggal iman saja :D. Tertera jelas dan tanpa sela untuk berdalih dalam kitab suci. Levelnya sudah paling tinggi. Kalau hadis masih bisa “digoyang-goyang”, ada tingkatannya. Tapi urusan makanan halal ini sifatnya sudah final :D.
Apa saya tidak pernah mengkonsumsi daging tidak halal selama di sini? Mungkin pernah :). Karena saya, kalau diundang ke rumah teman, ada acara kumpul ramai-ramai, tidak suka dan tidak akan meributkan apakah makanannya halal atau tidak. Untuk saya, menjaga perasaan tuan rumah dan teman-teman lain lebih penting daripada meributkan makanannya halal atau tidak ;).
Jangan salah, di sini pun, tidak semua muslim mengkonsumsi daging berlabel halal ;).
Prinsip saya yang tidak kalah pentingnya dengan masalah makanan halal adalah soal “Islam, membungkus kebenaran dengan kebaikan.” Kebaikan itu letaknya lebih tinggi. Tidak menyakiti hati orang lain apalagi yang sudah susah payah mengundang kita bahkan memasak sendiri untuk kita itu tingkatannya lebih utama buat saya ;).
Tapi itu benar-benar jarang kejadian :D. Jadi sudah dipertimbangkan frekuensinya. Kalau di luar itu, baik sehari-hari di rumah, maupun lagi piknik ke mana saja, tetap harus disiplin, dong, ya ;).
Enak ya kalau kesadaran akan pentingnya label makanan sudah tinggi. Menghargai kepentingan orang lain. Di SUmatra pun sama, kalau non halal ditulis besar2 di depan resto. Yg aneh ini di Jogja, nggak ada tulisan non-halal, jadi kita diminta untuk ngerti sendiri. Kalau pun ada disamarkan seperti scooby doo dsb. Menurutku sih itu nggak bener. Kalau memang nggak halal, tulis saja yg jelas krn kadang kita tidak waspada, apalagi di kota yg byk muslimnya.
Ya enggak perlu malah menurutku Mbak ^_^. Indonesia negara mayoritas muslim. Budayanya adalah BUDAYA HALAL ^_^. Lha ya mosok penjual pecel lelel aja mesti memastikan kalau bumbunya begini-begini-begini sih hehhehehe. Di Eropa ya memang kita tahu TIDAK HALAL jadi harus ada penanda mana yang HALAL mana yang TIDAK.
Saya pernah nonton tayangan Ramadhan ttg daging halal di luar negeri. kayaknya kalo di luar pengawasan standar penyembelihan hewan secara halal lebih disiplin. Di Indonesia ada apa enggak ya mbak? Maksudnya, kalo beli daging sapi (misalnya) di pasar tradisional, dr mana kita dapet jaminan kalau cara menyembelihnya benar? *garuk2 kepala*
Ya enggak gitu dong mikirnya :). Indonesia kan mayoritas muslim. MEmangnya di Timur Tengah mereka dapat daging dari mana? Rata-rata impor lho dari Brasil. Terus jaminannya apa coba? Hehhehehe. Kalau di Eropa mayoritasnya bukan muslim jadi memang HARUS JELAS daging HALAL itu adanya di mana ;). Utamakan prasangka baik. Di Indonesia sih karena budayanya memang HALAL saya tidak pernah meributkan soal HARAM HALAL di Indonesia ;).
Aahh bener banget..bumi Allah itu kan luas, pasti dimudahkan ya…
Salam kenal ya mba jihan 🙂
Salam kenal juga ya ^_^
Kalau seafood olahan di resto non halal biasanya enggak saya makan Mak :D. Vegetarian saja hehehe. KEcuali beli mentah terus masak sendiri di rumah 😀
beruntung ya FCers…
btw saya suka dengan: Suami juga orangnya mau masak sendiri, hanya kalau tidak ada bininya! Hahaha. Kalau ada saya mah, jangan harap dia mau! :p.
hihihi…
Sudah pernah belum ada pengalaman suami dinas di tempat yang agak susah nyari makanan hehehe. Dulu suami juga ogah tuh. Tapi karena terpaksa, lama-lama mau juga :D.
sejauh ini kl dinas baliknya ya bb nambah. haha… kl yg susah nyari makanan halal blm. mgkn bentar lagi ketularan 😀
Wah, tulisannya bagus sekali. Kebetulan saya tinggal di Jepang yang punya banyak seafood enak, jadi nggak masalah untuk gak makan daging. Tapi… kadang suka bingungnya karena masakan di sini banyak sekali yang menggunakan mirin (sake Jepang), bahkan di makan siang anak sekolah juga mayoritas menggunakan bahan penyedap ini. Ada pendapat ulama yang bilang bahwa asal bukan terbuat dari anggur (sake terbuat dari fermentasi beras) dan tidak untuk tujuan memabukkan, maka diperbolehkan. Masih cari2 referensi juga sebenarnya saat ini. Apakah punya referensi mengenai hal ini?
Wah Mbak, soal mirin saya juga kurang paham ya hehehe. Maaf gak bisa bantu nih 🙁