Ingat Robot Gedek, gak?
Pertama kali baca berita tentang kejahatan orang satu ini duh rasanya pengin cakar-cakar tembok. Kalau ketemu, pengin saya ludahi mukanya.
Robot Gedek terdakwa hukuman mati karena terbuktii sudah membunuh anak-anak laki usia, rata-rata di bawah 12 tahun. Tak hanya dibunuh dengan sadis, Robot Gedek juga terlebih dahulu menyodomi anak-anak malang ini. Hiks .
Tak lama setelah kasus RG, tertangkap lagi satu orang dengan modus pembunuhan mirip. Sodomi-bunuh-mutilasi. Nama hitsnya di media adalah ‘Babe’. Tertangkapnya si Babe ini membuka sejarah kelam masa kecil si Robot Gedek.
Ternyata, Robot Gedek adalah korbannya Babe. Babe ini waktu tertangkap memang sudah tua. Jadi, pas Robot Gedek masih kecil, mungkin Babe umurnya masih 30-40 tahun. Walau tak dibunuh, Robot Gedek ini sering disodomi dan dianiaya oleh Babe sampai bertahun-tahun.
Hidup di jalanan mau tak mau membuat beberapa anak kecil dari kalangan kurang mampu harus menggantungkan hidup pada orang-orang dewasa seperti Babe. Yang sayangnya biasanya memanipulasi mereka habis-habisan .
Cengeng, euy. Saya menangis lho pas membaca di koran soal Babe dan Robot Gedek. Saya jadi mikir, jangan-jangan Babe ini juga korbannya Eyang something. Yang lebih tua dari Babe kan biasanya Eyang, ya hehehehe .
Ya saya tetap kesal pada Robot Gedek. Tapi, sejak itu udah enggak pengin cakar-cakar tembok lagi hehehe. Saya malah jadi bingung. Dia itu penjahat apa korban, sih?
Kita dihadapkan pada lingkaran setan.
***
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Pasal 34 ini mengingatkan saya kepada salah satu petuah Gandhi, “Poverty is the worst form of violence.” Apa kabar kaum birokrasi dan pemerintah? . Kan pepatah bilang, “Lebih baik menghadapi orang marah daripada orang lapar.”
Teror kemiskinan ini memang banyak sekali dampak negatifnya. Catat, kemiskinan lho, ya. Bukan orang miskinnya.
Banyak sekali cerita-cerita menggugah semangat yang mengisahkan anak-anak dari kalangan kurang mampu yang sanggup membalikkan takdir. Misalnya, dengan kecerdasannya, mereka bisa dapat beasiswa dan akhirnya malah menjadi dosen di luar negeri seperti kisah Hadi Sunanto .
Kisah nyata dari Laskar Pelangi juga gitu.
Ada juga kalangan kurang mampu yang dibantu oleh saudara-saudaranya yang lebih mampu. Atau yang miskin-miskin disemangati oleh kerabatnya yang sangat menjunjung tinggi pendidikan. Walau tertatih-tatih, mereka tetap menyelesaikan pendidikan akademisnya.
Namun, pernahkah membayangkan kalau kita terlahir dari keluarga kurang mampu, tinggal di desa yang mayoritas adalah orang tak mampu juga. Kalangan akademisnya sangat terbatas. Dan sayangnya, otak kita juga pas-pasan.
Sebenarnya tak ada orang bodoh, tapi kecerdasan itu kan sifatnya multiple. Gimana kalau kecerdasan mereka di luar logika dan verbal yang sudah umum menjadi pengukur kepintaran secara umum? Di masyarakat luas, pintar itu ya jago matematika atau pintar bahasa atau jago berpidato.
Gimana kalau si anak miskin ini ternyata bakatnya musikal tapi dia enggak pernah bersentuhan dengan alat musik mana pun. Tak ada fasilitas dan tak ada ‘dewa penolong’. Atau dia ternyata kecerdasannya adalah kinestetik. Tapi tak ada yang melirik atau tak mendapat kesempatan untuk memamerkan bakatnya. Berapa sih beasiswa olah raga yang ada di tanah air?
Jadi ya teman-temanku yang budiman, tak semua hal yang jahat-jahat yang kita dengar itu harus kita sikapi dengan logika saja . Lah, dia membunuh dan merampok kok ya harus kita urusin. Makan sana hasil perbuatan lo! Siapa suruh mencuri?
Jangan hanya what, who, when dan where? Masih ada HOW dan WHY?
Mungkin, itulah gunanya Allah menciptakan seperangkat kecil alat dalam sini (nunjuk dada). Itulah yang namanya hati. Agar kita tak membaca apa yang terlihat saja. Agar kita mampu memandang hal-hal yang sifatnya ‘ngumpet’ dan harus ditelaah lebih dalam . Istilah kerennya, to read between the lines :).
Contoh sederhana lain yang saya ingat dari buku “7 Habits of high effective teens.” Tentang seorang laki-laki yang sedang asyik membaca koran dengan tenang di dalam kereta. Tiba-tiba di sebuah stasiun naiklah seorang laki-laki lain bersama 3 anaknya.
Anak-anaknya berisik banget. Lari-larian ke sana ke mari. Teriak-teriak dan mengganggu penumpang lain. Laki-laki pertama tadi makin kesal karena dilihatnya sang ayah hanya duduk termangu. Bengong enggak jelas dan tidak berusaha menenangkan anak-anak balitanya.
Laki-laki ini menegur si ayah tadi. Si Ayah menjawab singkat, “Istri saya baru saja meninggal. Kami dari rumah sakit. Saya tidak tahu harus bilang apa pada mereka.”
Seketika laki-laki yang membaca koran ini luluh. Rasa kesalnya menguap perlahan. Instead ngoceh panjang lebar, kasih nasihat macam-macam, dia menepuk bahu sang ayah, “Sabar, ya.”
Samalah kayak kita membaca novel. Seringkali pesannya tidak tersurat jelas-jelas dalam rangkaian kata-kata yang mudah dimengerti. Tak jarang kita harus menangkap makna tersirat. To read between the lines .
Bukan untuk membela yang jahat atau yang salah. Lebih kepada memampukan kita mencermati dan memahami banyak hal pada tempatnya, pada porsinya . Melihat sesuatu dari berbagai aspek. Enggak hanya pakai otak, hatinya jangan dianggurin dong. Seimbang selalu. Agar benci tak terlampau berlebih dan cinta tak begitu berbuncah.
Tapi siapa bilang bersikap adil itu mudah? hehehehehe *toyorKepalaSendiri*.
Makanya, saya mah menulisnya kebanyakan untuk diri sendiri kok . Terus kenapa pakai settingan public? Ya habis saya bingung mau share-share apaan di media sosial hehehe. Mari berbagi hal-hal positif untuk belajar bersama. Iya apa iya banget? *benerinPoni* dengan bijaksana . Lalu tutup layar sebelum disambit hahahaha.
***
Huhuhuhu.. periiiihhh itu baca kisah robot gedek yg kemudian lanjut part 2nya ada si pakde ini… 🙁
Read between the lines ya neng poni. Oke, ngerti banget maksudmu. Intinya selalu ada penyebab di luar apa, siapa kapan dan dimana. Dan bagaimana sama kenapanya ini nih yg kudu banget dicari solusinya…
Itu sih yang memang paling ribet cari tahunya hehehe. Makanya, bersikap adil itu salah satu yang paling sulit sekaligus paling penting dalam urusan muamalah. Tsaaaahhh, sok bijak versi 2 hihihihi :P.
yang lebih perih waktu baca berita ada bayi 18 bulan diculik trus diperkosa trus ditinggalin di dalam kapal.. kalo ga salah terjadi di daerah nelayan yang cukup jauh dari makassar.. dan ternyata yang mengalami gak hanya 1 bayi ini aja… ada batita lainnya.. konon pelakunya sedang mendalami ilmu hitam.. sesek napas deh bacanya… mana pelakunya pun gak pernah tertangkap sampe sekarang..
Wiiiihhh, ngerinyaaaaaa -_-. Duh, praktik ilmu hitam, ya? Serius itu belum ketemu ampe sekarang? *penginNangis*
(Y)
Thanks, ya. Itu artinya jempol kan ya hihihihi 😛
selalu lost focus gara2 terkesima kalimat penutupnya 🙂 pengin takjambak poninya ahahaha…
Awwww, potong sendiri dong poni depannya 😀 biar samaan kecenya 😛
Hihihi… ngikik baca penutupnya :))
Penutupnya jadi gak bikin simpatik yak hahahhha.
Kecerdasan itu sifatnya multiple. Quote yg bagus
Wuah tulisan mak jihan keren banget euy *barupertamaBW
Iya, kalau enggak salah ada 8 jenis :D. Tapi yang sudah melotok di pikiran masyarakat umum itu ya kecerdasan logika dan verbal saja 🙂
Request utk post berikutnya—Sumanto
Hiiiiyyyyy *merinding*
Mbak Jihan…aku setuju….kadang memang terfikir juga begitu.
Tapi kadang sulit ya mbak…gak mudah….
Suka dengan gaya bahasanya mbak jihan…
Ampe tau ada sedikit yg kurang ketik deh kayaknya
sangking aku bener-bener mencerna setiap katanya Mbak…
*senyum manis terus kena lempar batu….hehehe
‘ Banyak sekali cerita-cerita menggugah semangat yang mengisahkan anak-anak dari kalangan mampu yang sanggup membalikkan takdir.’
Salam kenal mbak..:-)
Iya benerrr, Harusnya dari kalangan kurang mampu 😀
salam kenal mb..suka banget sama blognya mbak jihan, yang dibahas dalem tapi bahasanya tetep enak dan santai…
soal robot gedek dan babe…serem ya…mereka mungkin merasa ga ingin jadi korban sendiri jadi semacam lingkaran setan yang ga ada habisnya hiks…prihatin.
Mungkin bingung melampiaskan kekecewaannya, ya. Apalagi kalau dari kecil sudah mendapat perlakuan sadis begitu tanpa ada pertolongan sama sekali :(. Anak kecil ya tahu apa sih? huhuhuhu. Semoga menjadi pengingat untuk kita semua. Saya juga, sih. Termasuk emak yang kasar pada anak-anak sendiri. Duh, banyak2 istighfar semoga bisa menjadi ibu yang lebih baik biar anak-anak enggak salah asuh sampai gede. HIks :'(
Iyaaaa, kasus-kasus kayak si Robot Gedek itu masih ada beberapa lagi yang versi orang lain kalau gak salah 🙁
miris 🙁
Terkadang memang 1 hal itu yg gk dilakukan sama orang2 banyak ya. mencari tau latar belakang mereka melakukannya. Dan emang susah banget buat adil saat yg kita tau cuma perbuatannya.
Mending gk nge-judge duluan deh sebelum tau alasannya ya *self-reminder*
belum pernah ketemu…tapi kangen mak Jihan….
Hai mba….salam kenal… selalu menarik membaca tulisan mba jihan 🙂
makin bijaksana aja si mak Poni in heheh….beneran adil gak mudah, saya rasakan setelah punya dua anak, padahal emrasa dah adil tapi si kakak masih merasa mama gak sayang lagi *halahganyambung*