TIGA PULUH HARI

by : Jihan Davincka
***
Coffee News Postcard
        Tiga puluh hari katanya. Sebelum pergi, dia bilang begitu, “Aku tentu perlu beradaptasi. Sebelum 30 hari pasti sudah kukirim kabar untukmu.”
        Aku sebenarnya bingung. Lama sekali 30 hari. Dia tidak pergi ke ujung dunia. Bukan ke hutan belantara. Hanya ke sebuah kota kecil di eropa barat sana. Apa susahnya menemukan internet di negara yang tergolong maju itu? Kalau menulis email terlalu repot, setidaknya dia bisa menuliskan sebuah tweet untukku. Masa dia perlu 30 hari  untuk sekadar mengabariku, “Aku sudah sampai.”
           Hari ini, sudah 40 hari berlalu sejak aku terakhir mengirimkan pesan singkat kepadanya, “Hati-hati di pesawat, ya. ” Sudah 10 hari lewat dari 30 hari yang dijanjikannya. Aku duduk-duduk di kedai ini sendirian.
           Di hadapanku ada dua cangkir kopi. Sudah kosong. Bukan punyaku. Dari dulu aku tak suka minum kopi. Dua cangkir tadi habis diminum Rio, sahabatnya. Tak sengaja kami bertemu. Aku tanyakan tentangnya. Rio malah mengajakku mengobrol panjang lebar. Tidak ingat apa saja yang dibicarakan tadi.
          Aku hanya ingat sebelum Rio pergi, aku tetap penasaran, “Kenapa ya dia belum mengabariku?”
          Rio menjawab pendek, “Mungkin dia tak merasa perlu. Lagipula, kau bukan pacarnya, kan?”
          Tega sekali. Aku mau marah. Tapi akhirnya aku cuma merana sendiri. Rio benar, aku bukan pacarnya.
***
Ini iseng ikutan #CerminBentang di @bentangpustaka hehehe. Cerita mini 200 kata. Just for fun, enggak menang juga hehehehe. Seru juga. Bikin cermin di atas cuma 10 menit an, no harm done :D.