X

Bunda of Arabia (Behind The Scene)

Pengalaman pertama memang biasanya yang paling berkesan ;).

***

Bunda of Arabia (Behind The Scene)

By : Jihan Davincka

***

“Bunda of Arabia” tadinya adalah judul novel yang ingin saya buat. Tapi kala itu saya berpikir saya tak pandai menulis fiksi. Jadi, judul itu menganggur saja.

Di penghujung 2011, setelah (sangat) aktif menulis di blog mamaSejagat dan ceritaJeddah, saya menyadari satu hal, “Saya suka sekali menulis!”

Saat itu saya menghitung ada puluhan postingan dari saya di mamaSejagat, dan puluhan postingan lain yang saya edit. Dan belasan postingan yang saya tulis tentang negara lain, yang diceritakan teman saya via message. Tapi saya menuliskan nama teman saya sebagai penulisnya. Hehehe.

Begitu tergila-gilanya saya menulis. Gak apa deh, yang penting blognya ramai dan saya ada alasan menulis. Toh, foto-fotonya dari teman saya itu.

Saya menuliskan kalimat ini di catatan resolusi 2012 saya :

Mamasejagat was some kind of sign to remind me of how much I loved writing when I was just a kid. It led me to create another blog : ceritaJeddah. Then I truly realized how I still love writing until now, and tadaaaaa … suddenly we get one resolution for 2012 : writing something more serious than a casual post on my blogs (a book perhaps? :P)”
Resolusi iseng saja. Tapi yang iseng-iseng ini justru mengganggu jadwal tidur selama berhari-hari di awal bulan Januari itu. Akhirnya daripada gak bisa tidur, why not? Let’s write a book!

***

Tapi dasar sok keren, saya pikir sekedar menerbitkan sebuah buku saja kayaknya terlalu biasa-biasa. Bagaimana kalau pakai deadline? Ya, jangan 1 tahun. Yang menantang, dong! Saya pun menantang diri sendiri, “Do it in 3 months! From the scratch!

Jadilah tanggal 1 April 2012 saya jadikan tanggal keramat. Di tanggal itu nanti buku pertama saya akan terbit, whatever it takes!

Nama pun bukan penulis, ketika googling dan menemukan berbagai artikel mengenai berapa lama biasanya sebuah buku terbit, saya langsung layu. Rata-rata minimal 3-6 bulan. Itu pun levelnya udah penulis tenar, bukan orang macam saya yang out of nowhere tiba-tiba merasa pengin nerbitin buku. Hehehe. Siapa lu?

Tapi anehnya, sifat keras kepala saya malah meluap-luap, “Masa sih tidak ada cara lain?” Jadilah saya colek-colek Mbah Google dan menemukan banyak sekali informasi tentang Indie publishing. Serasa bertemu jodoh, dalam hati saya bersorak, “Eureka! Eureka!

***

Nah, sekarang mulai menulis. Karena memang buku pertama ini mengandung misi ‘terselubung’ (misinya saya ceritakan di minggu depan, ya), saya memilih bentuk antologi. Sejujurnya, ini tantangan baru lagi. Saya tahu pasti mengedit tulisan orang jauuuhhhhh lebih susah daripada menulis sendiri.

Teman-teman saya disini tak banyak yang suka menulis. Dimulailah bergerilya mencari kontributor. Saya ceritakan misi saya. Belum ada yang tertarik. Saya arahkan tema apa saja yang saya mau. Sudah ada yang tertarik tapi mengaku tak bisa menulis.

Tapi layar sudah terkembang, pantang surut ke daratan. Saya bujuk tanpa henti (via BBM, inbox di facebook, ada yang saya samperin ke apartemennya) satu per satu, orang yang saya incar kisahnya. Saya bujuk, saya wawancara, akhirnya mereka mulai menulis.

Namanya saja mereka banyak yang menulis pertama kali, saya sudah memprediksi akan banyak sekali mengedit tulisan mereka. Nekad, ya. Sementara saya juga cuma penulis boong-boongan, hehehe.

Hasil berburu kontributor dengan intensif membuahkan sebuah naskah dalam tempo 3 minggu. Jangan ditanya sepetnya mata ngedit tulisan tiap malam, hehehe. Hey, there’s no such thing called free lunch! Mana ada sih yang enak-enak untuk mendaki puncak pengharapan ;).

Tapi, begitu naskah selesai, jalannya masih panjaaaaannnggg…

***

Sesungguhnya, rasa gentar itu sudah selalu menghantui dari awal. Sejak mencanangkan proyek menerbitkan buku 3 bulan saja, kadang-kadang lutut sudah bergetar.

Saat hampir putus asa mencari kontributor, saya sudah lemas. “Ah, sudahlah. Lanjutin kapan-kapan aja, deh. Lagian kok sinting mau nerbitin buku 3 bulan.”

Saat naskah sudah jadi. Berburu indie publishing tidak kalah melelahkannya. Siapalah saya, cuma blogger doang gitu, lho. Info hanya mengandalkan Google. Sempat takut dengan beberapa peristiwa penipuan via penerbit indie ini. Duh, apa mundur saja, ya?

Setelah menghubungi 5 penerbit, akhirnya menemukan satu yang cocok. Ini pun deg-degan sangat. Untung salah satu teman dekat saya disini kenal baik dengan pemiliknya.

Ya sudah, korek isi tabungan hasil berkarir 7 tahun kemarin.

***

Selesai sampai disitu? Belum ternyata, saudara-saudara! Inilah puncaknya. Penerbit indie memang asoy, naskah kita tak akan tertolak. Tapiiii… penerbit tidak mengurusi marketing dan sales nya. Itu tanggung jawab penulis. Mereka hanya bantu proses distribusi. Onde mandeee, siapa yang mau beli buku ini?

Tapi ya sederhana saja ternyata. Jual saja door to door. Ada internet, pikir saya. Kirim message saja banyak-banyak. Oiya, saya malas mentag orang lain di wall mereka. Saya pikir itu kurang sopan. Karena saya juga tidak suka bila nama saya dipajang di barang dagangan orang lain. Hehehe. Kecuali mereka minta izin lebih dulu.

Saya message satu persatu via inbox FB. Message nya kan sama tinggal copy-paste saja dan mengganti beberapa bagian yang dirasa perlu, hehehe. As simple as that ;). Melelahkan sangat tapi.

Awalnya respons sangat minim. Ya, lagi-lagi ciut. “Bego sih, nekad langsung cetak 800.” Tapi ya gimana lagi, terus saja saya menyebar message secara personal. Chatting satu persatu. Pokoknya tutup mata dulu dengan hasil. Lakukan saja yang terbaik semampunya.

Saya terbakar dengan kalimat dari Ust. Salim A Fillah, “Keajaiban kadang memancar dari sumber yang lain. Bukan dari jalan yang kita susuri atau jejak-jejak yang kita torehkan dalam setiap langkah menjalani usaha.
Begitulah keajaiban datang. Terkadang tak terletak dalam ikhtiar-ikhtiar kita.”

Jadi…just do your best! Let Allah takes care the rest!

Menjelang buku terbit, entah kenapa, mendadak banyak yang tertarik. Satu persatu
mulai membalas message. Tiba-tiba banyak teman yang menawarkan jadi reseller. Anehnya, saya tidak pernah menghubungi mereka. Ternyata mereka tahu dari teman saya yang lain. See? Begitulah keajaiban datang. Terkadang tak terletak dalam ikhtiar-ikhtiar kita ;).

***

So far, cetakan pertamanya habis dalam tempo 10 hari sejak terbit. Tapi kalau terbit secara indie, sebelum buku benar-benar terbit, kita sudah harus hunting pembeli, lho.

Sekarang saya sedang melanjutkan ikhtiar untuk cetakan ke-2 nya hehehe.

Benar-benar belajar banyak hal dari pengalaman yang satu ini. Satu yang utama, saya pikir, setelah menjalani banyak tahapan yang ‘melelahkan’, saya kapok. Enggak lho, saya makin cinta menulis. Berusaha agar makin mahir. Kalau membaca lagi naskah “Bunda of Arabia”, ah, saya sungguh tidak puas.

Dan satu kesimpulan saya yang mungkin tercantum dalam kalimat ini (saya ambil dari Running Quotes from George Sheehan), bahwa :

It’s very hard in the beginning to understand that the whole idea is not to beat the other runners. Eventually you learn that the competition is against the little voice inside you that wants you to quit.”
Benar juga. Sebenarnya dalam setiap mimpi yang berusaha kita gapai, dalam setiap langkah kita untuk mendekat padanya, ada satu musuh dalam diri yang sukar terlihat makanya terlihat susah ditaklukkan : “a little voice inside you that wants you to quit.”

Melawan diri sendiri itu intinya. Melawan bisikan-bisikan yang dihembuskan oleh batin sendiri, “Udahlah, ngapain capek-capek. Berhenti aja. Emang gak mungkin kali. Jangan sotoy, deh.”

Kemenangannya bukan terletak saat bukunya akhirnya terbit. Terbit lebih cepat dari target, 25 maret udah terbit. Yayyyy. Tapi pada kemenangan-kemenangan kecil dalam tiap pertarungan untuk menaklukkan bisikan-bisikan tadi. Mengusir jauh-jauh keinginan untuk berhenti saat garis finishnya malah sudah di depan mata.

Anggaplah kita sedang berlari. Boleh menurunkan kecepatan. Tak salah bila langkah melambat. Tentu tak masalah sekali-sekali berhenti mengelap keringat dan mengumpulkan nafas. Yang tidak boleh itu…melepaskan sepatu anda, menepi di lintasan lari dan menunduk putus asa sambil berbisik : “I’m never gonna make it.” Siapa yang tahu, ketika anda menyerah dan berbalik, justru garis finishnya tinggal beberapa meter lagi.

Jadi, cari garis start nya. Pasang sepatu. Mulailah…mulailah berlari. Jangan mengizinkan ayunan langkah terhenti sebelum anda yakin bahwa garis finish telah terlewati ;).

 

davincka@gmail.com:

View Comments (3)