X

Daftarin Anak SMP di Irlandia, Langsung diterima Tanpa Tes? Kok?

Bulan kemarin anak saya mendaftar SMP di sini, I live in a little town in Republic of Ireland. Terus denger cerita temen yang mau balik Indonesia yang daftarin anaknya sekolah di sekolah internasional Jakarta.

It’s pretty hard to let them belajar di kurikulum nasional. Jadi mereka memilih sekolah internasional.

Surprisingly, saya pikir asal mau bayar, langsung cuuussss. Lah masih kena waiting list. Katanya mesti tes dulu dan itu harus dilakukan sebelum Juni. Karena peminat banyak. Whaaattt?? Ribetnyaaaaa. Padahal bayarnya mahal ye kaaaan :D.

Sementara itu, minggu lalu dah dapat kabar kalau anak kami udah diterima di SMP lokal sini hihihihihi.

Prosesnya mudah sekali. Tinggal datang ke sekolah, lihat-lihat, nonton pidato-pidato bla bla bla, pihak sekolah mamerin sekolahnya, sekolah buaguuuussss <3. Terus udah. Pulang dan tunggu kabar. Gak ada tes gak ada apa pun. Sesimpel masukin nama doang sama nama SD (primary school) nya.

Terus tau-tau diterima hahahahaha.

Salah satunya lebih karena SISTEM PERSAINGAN HAMPIR TIDAK ADA. Penduduknya sedikiiiiiiitttt. Beberapa kali saya dengar kabar ada sekolah yang di-SHUT DOWN karena kekurangan murid dan pemerintah tidak bersedia mendanai lagi 😅🙈.

Ngomongin kualitas juga gak usah terlalu khawatir antara kota kecil vs kota besar. Gitu-gitu juga kok. Hampir sama. Gak sulit menjaga kualitas sekolah di negara penduduk cuma 5 juta ini.

Anak saya pas saya bilangin di Jakarta itu ada 10 juta penduduk, dia bengong hahahaha. Masa iya katanya satu kota jumlah penduduknya bisa lebih besar daripada di satu negara? Abis itu ya kita ngobrolin Cina dan India serta USA, which is easier karena dulu pernah tinggal di Texas.

Anak saya terasa kok perubahan nyata dari Ireland ke Texas dulu. Di Texas teman jauuuuhh lebih banyak, banyak award-award (semacam rengking tipis-tipis hihihihi). Di Ireland mana adaaaaaaa. Santuuuuuyyyyy hahaha.

Lah ngapain jugak, wong nanti tinggal daftar ke SMP lokal kemungkinan diterima 90% tanpa tes, kok. When in Ireland, kasarnya … we can see THE FUTURE.

When I’m taking about the FUTURE, itu satu paket sama bayangan kita terhadap anak-anak setelah lulus sekolah. Harus kuliah? Gak osah mah. Lulus SMA sudah boleh apply-apply kerjaan di supermarket dengan gaji yang cukup layak.

Terus nanti kalau mereka menikah dan punya anak, ya udah kebayang juga, wong sekolah gratis kok sampai gede, ada child benefit, ada tunjangan ana-unu kalau misalnya nganggur kelamaan, ada tunjangan sewa rumah segala (for emergency only ya).

Karena ibaratnya, asal mau dan tidak pilih-pilih, cari kerja di Irlandia tidak bisa dibilang susah. Lowongan pekerjaan gak pernah kurang-kurang rasanya. Slot buat 2-3 orang paling yang apply maksimal 10.

Di Jakarta, waktu masih kerja di MLI, pernah ngobrol sama HR soal lowongan pekerjaan admin yang sebenarnya cuma butuh lulusan SMA. Tapi yang apply bujubuneng, butuh cuma 5 orang, aplikasi yang masuk lebih dari 100!

Lulusan S2 pun ada. Mau tidak mau, HR harus melalukan “sistem kompetisi”. Akhirnya dicek IPK segala. Ya abis kadang bingung mau gimana menurut HR. Diambil lulusan SMA beneran ya perusahana juga gak mau rugi, kalo ada lulusan S1 ngapain ambil anak SMA?

Kalau lulusan S1 ada yang dari negeri, mereka prefer yang negeri. Kalau sama-sama dari negeri, ya terpaksa dicari lagi yang IPK palingn tinggi. Kalau mau wawancara satu-satu ribeeeeettt, apalagi cuma level admin bukan MANAGEMENT TRAINEE.

Tetangga atas saya tuh di Ireland sini, istri cleaning service di perkantoran, suaminya delivery pizza, sepatu-sepatu anaknya gonta ganti.

Anaknya suka main ke apartemen saya, sahabatan dengan anak-anak kami. Kusuka bingung sepatunya gak pernah sama hahahahaha. Merek gak usah sebut, stres kau nanti 😂😂😂.

Mereka ini anaknya satu tapi mobilnya 2! Karena dua-duanya kerja. Kerjanya ya itu tadi. Suaminya dulu-dulu pernah jadi tukang listrik terus kerja di restoran, sekarang jadi supir buat delivery.

Tempo hari saya ngobrol dengan sang isitri soal jaket dese yang terbaru. “Wow, cool coat” kata saya sambil mengedipkan mata. Dia cekikikan, “From Zara, very good price.”

Clening service di Indonesia coba di-data berapa yang bisa beli mantel di Zara? Jangan yang seken ye kaaan hahahaha.

Kerjaan-kerjaan kayak gitu tetap menawarkan gaji yang tidak jomplang. Bisa halan-halan ke negara-negara Eropa daratan. Bisa pakai baju-baju bermerek, pokoknya gak akan keliatan status sosialnya kalau cuma papasan di jalan.

That’s the life they had (mostly) in western europe. Kayaknya mirip sama Aussie dan Canada ya. Di US yo jelas bedaaaaaaa hahahaha. Gak seindah itu :p.

Saya tidak punya jawaban SISTEM PENDIDIKAN TERBAIK apakah yang cocok buat Indonesia. Cuma kumerasa agak nganu aja kalau kita terlalu sering berkaca mentah-mentah dari negara-negara yang menerapkan sistem “welfare state” dengan berbagai kondisi yang jauh berbeda dengan Indonesia :(.

Waktu tinggal di Bern(Swiss), sering ketemu mas-mas yang nenteng gitar naik tram. Mau kerja, katanya. Kerjanya ya gitu jadi pengamen di stasiun. Bajunya rapi, area tinggalnya juga lumayan. Ternyata semacam pengamen “resmi” khusus di stasiun itu. Bisa hidup layak euy 🥰🥰🥰 .

Bagai surga memang di Swiss, tapi surga mendadak mati lampu begitu kuterpaku dengan harga barang-barang di supermarket dan tentu saja … pajaknya yang aduhai walau tidak sesadis Jerman-Belanda.

Beda banget dengan Arab Saudi, yang gajinya turah-turah tanpa pajak, tapi tetep aja suka disangka pembokat hahahaha. Soal living in Saudi, saya udah sering cerita yes? Onak duri banyak tapi soal gaji, luar biasaaaaaaaaa mana kerjanya santai pula kata suami 🤑🤑🤑🤑.

Gusti Allah, adakah hidup di dunia yang senyaman di Indonesia urusan keramahan dan kuliner murah-murah, gaji Timur Tengah (waktu era tanpa pajak hahaha), teknologi secanggih US, sistem pendidikan santuy yang macam Finlandia (katanya), jumlah penduduk kek Ireland, pemandangan alam ala Swiss (minus winter hahahaha).

Uniknya, yang terkenal “ngeri” urusan otak malah etnis Cina dan India. Mereka sering dikritik karena terlalu kejam soal pendidikan ke anak. Tapi diaspora mereka terus menyebar “mengancam” dunia di mana-mana.

Sampai-sampai konon beberapa uni di US harus “membatasi” dan sedikit diskriminatif soal etnis saking banyaknya 2 etnis ini di sana. Sik, sik, nanti kucari sumbernya kutaro di kolom komentar, ya (y)

Jadi gimana? Ya gak gimana-gimana. Ya emang rumit kok. Sekadar mengamati aja kuudah merasa tet-tot, gak kebayang jika harus menjadi pemangku kebijakan.

Begitulah. C’est la vie.

davincka@gmail.com: