X

Bahagia, Meski Mungkin Tak Sebebas Merpati

Ini salah satu tulisan di Buku “Memoar of Jeddah” :D. Ini versi aslinya yang banyak haha-hihinya :p. Versi teks buku tentu tanpa emoticon dan “hahahahaha” :D.

***

Suatu hari saya ke UGD salah satu rumah sakit swasta di Jeddah dan harus dilakukan tindakan operasi kecil. Hanya bius lokal. Dokter laki-laki asal Mesir yang menangani saya.

Saya gemetaran karena takut setengah mati. Hahaha. Pak Dokter nampaknya tahu. Dia menenangkan dengan mengajak ngobrol.

Bahasa Arab saya nol besar dan saya pastikan Pak Dokter tak bisa berbahasa Indonesia, jadi kami asyik mengobrol dengan bahasa Inggris.

“Wah, saya kira kamu tadi orang Indonesia, lho,” ujar Pak Dokter setelah ngobrol agak panjang.

Lah, piye? “Saya memang asli Indonesia.”

Matanya terbelalak. “Indonezi? You can speak English? Masya Allah!”

Sure, why not?”

“Kalau bisa bahasa inggris seperti ini, cari saja pekerjaan lain. Kenapa memilih jadi pembantu?”

Saya merespons dengan terbahak. Ya ampyuuunn, kece-kece begini disangka gitu. Oh tidaaaaaakkkk *tutupMukaSelebayLebaynya* hahaha.

Gambar : weheartit.com

Jangan kaget. Begitulah pada umumnya tanggapan orang-orang jika bertemu dengan perempuan asal Indonesia di Saudi.

Setelah itu dia sibuk bertanya mengapa saya tinggal di Saudi. Dengan siapa. Apa iya di Indonesia banyak perempuan mendapat kesempatan untuk duduk di perguruan tinggi? Kok bisa orang Indonesia bahasa Inggris?

Antusias benerlah pokoknya si Pak Dokter.  Mungkin juga karena orang Arab kan memang dikenal berapi-api kalau diajak berbincang :D. Ingat ya, kalau ngomongin Arab itu artinya ngomongin ras/suku bangsa. Mereka ada di Saudi, Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, Palestina, Yaman, Sudan, dll. Kalau di Indonesia sebut “Arab” umumnya langsung mengacu ke Arab Saudi saja :D.

Dengan waktu yang tersisa, ya gak mungkin mau lama-lama juga kan dia punya pasien lain, saya coba meluruskan persepsi dia tentang Indonesia. Dokter itu cukup puas dengan penjelasan singkat saya dan memberikan sedikit pembelaan atas komentarnya di awal tadi.

“Kamu jangan salahkan saya kalau saya tidak paham banyak orang Indonesia yang bisa berbahasa Inggris. Bahwa kota Jakarta sama kerennya dengan Jeddah. Pendidikan bukan hal yang tabu buat perempuan Indonesia. Masalahnya, hampir semua perempuan Indonesia yang saya temui di Saudi ini rata-rata berprofesi sebagai pekerja rumah tangga.”

Lalu, saya jadi berpikir. Sebenarnya TIDAK 100% orang-orang non Indonesia yang ada disini berpikiran sempit. Mereka berpendapat menurut apa yang mereka temui sehari-hari. Di situ kan umumnya muncul skema stereotip. Generalisasi. Apalagi kalau contoh mayoritasnya memang menunjukkan begitu. Apa hendak dikata hehehe.

***

Orang Filipina juga banyak TKWnya. Tapi mereka juga banyak yang berprofesi sebagai perawat, sales, penjaga toko, manajer bank, engineer, konsultan IT/SAP, dsb. Profesi mereka variatif. Demikian pula dengan pendatang lain dari negara-negara seperti : Pakistan, India, dll.

Orang Indonesia? Kalau Anda laki-laki, biasanya akan disangka supir. Kalau perempuan, otomatis dianggap pekerja rumah tangga. Saking banyaknya TKI informal asal negara kita di negara ini. Begitulah kenyataannya. Jadi, tidak perlu sensi, ya 😉

Kalau menyusuri pelataran parkir di mal-mal besar di kota Jeddah ini, akan terlihat kerumunan lelaki yang sedang duduk-duduk mengobrol dekat pintu masuk. Sebagian besar berasal dari Indonesia. Kelihatan dari suara mereka yang berbincang dengan bahasa Indonesia. Mereka adalah para supir pribadi yang sedang menunggu majikan yang berbelanja dalam mal.

Kemana perginya para pekerja profesional kita? Mungkin salah satu alasan utama keengganan TKI formal asal negeri kita untuk mengadu nasib ke Saudi adalah ‘keamanan keluarga’. Terutama untuk para perempuan. Bukan rahasia umum, banyak ‘dinding pembatas’ untuk para wanita yang hidup di Saudi ini. Belum lagi sering di’remeh’kan karena kerap disangka TKW.

Medical stuff in Jeddah Hospital, multi cultural (gambar : thepinoy.com)

Perempuan tidak boleh menyetir di Saudi. Tapi aman, kok, naik taksi sendiri di sini. Belum lagi kemudahan untuk melakukan ibadah umrah. Tak perlu antri dan mengeluarkan biaya besar untuk naik haji.

Kalau mau ke mal, tidak mesti menunggu suami senggang. Ajak saja beberapa teman atau saling menjemput dan beramai-ramai menjajal mal di siang hari.

Belum lagi ada banyak rumah makan Indonesia. Mulai dari level kaki lima hingga bintang lima. Tinggal pilih. Sate Madura, pempek, bakso, tahu, tempe, tidak ada istilah ‘langka’. Semua bumbu khas Indonesia pun tak sulit ditemukan.

Perempuan wajib berabaya hitam kemana-mana. Tapi abaya hitam itu banyak yang modis. Pokoknya tidak ada kata mati gaya. Bahannya ternyata nyaman dan tidak panas.

Ternyata tiap tempat menawarkan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bila ditanya, “Gimana sih hidup di Jeddah itu?” Mungkin jawaban yang cukup tepat saya ambil dari lirik salah satu lagu di tanah air, “Bahagia, meski mungkin tak sebebas merpati.”

“Bahagia, meski  mungkin tak sebebas merpati” juga sub judul dari buku saya yang pertama, “Bunda of Arabia” :D. Bunda of Arabia ini terbitnya secara indie. Covernya agak-agak keramean gitu. Desain covernya kami rancang sendiri soalnya ^_^. Biar hemat hahaha. Maklum kalau indie modalnya ya kocek kantong dewe :p.

davincka@gmail.com: