(dimuat di Majalah Pesona edisi Oktober/November 2014)
Oleh : Jihan Davincka
Apa yang terlintas pertama kali di benak saat mendengar kata Jeddah?
Kota terbesar ke-2 di Arab Saudi ini menjadi salah satu tempat saya bermukim saat mengikuti suami yang berpindah tugas ke salah satu Negeri Petro Dolar ini.
Saya, sih, jujur saja. Saya takut. Sudah sering saya mendengar tentang keterbatasan yang harus dihadapi oleh kaum perempuan di wilayah ini. Yang paling mengganggu adalah aturan bahwa perempuan tidak boleh ke mana-mana tanpa suami. Duh, suami saya akan berada di kantor dari pagi sampai sore?
Belum lagi banyak mendengar cerita kalau kota-kota di negeri padang pasir satu ini agak terbelakang secara infrastruktur dan tata kota. Konon, bangunannya tua-tua dan dominasi padang pasir hingga ke tengah kota. Masa, sih?
Rupa-rupa Tempat Belanja di Jeddah
Selama ini, jemaah haji dan umrah hanya familiar dengan pusat perbelanjaan Balad. Nama tempat ini sebenarnya Corniche Commercial Center. Bangunannya sudah tua dan model kios-kiosnya mirip dengan pusat perbelanjaan ITC di Jakarta. Jadi wajar jika tak banyak yang tahu wajah lain pusat perbelanjaan di kota tempat berkumpulnya pendatang di Arab Saudi ini.
Padahal banyak sekali mal-mal besar yang tersebar di berbagai penjuru kota. Sebut saja yang paling luas dan megah, Red Sea Mall. Mal ini letaknya memang bukan di jantung kota. Tetapi agak ke pinggir bagian utara. Tepatnya di King Abdul Aziz Road. Mal megah ini bahkan punya lebih dari 10 pintu masuk.
Area mal di Kota Jeddah biasanya memang hanya terdiri dari 1-3 lantai, tapi arealnya sangat luas dengan lobi tengah yang lebar-lebar. Harus punya stamina yang kuat untuk menjelajahi bangunan mal.
Pusat mal mewah yang ada di tengah-tengah kota terletak di salah satu sudut Tahlia Street. Di ruas jalan tertentu di Tahlia ini berjajar mal-mal besar seperti : Le Mall, Nojoud Mall, Jeddah Mall, Al Khayat dan Tahlia Shopping Center. Dilengkapi pula dengan butik-butik dari brand-brand internasional kenamaan, misalnya : Prada, Gucci, Louis Vuitton, Ralph Lauren, Dolce & Gabbana dll. Tak ketinggalan sebuah bangunan berselaput warna emas dengan tulisan “Versace” di atasnya.
Harga barang-barang bermerek level dunia di Jeddah tergolong lebih murah daripada di tanah air. Karena umumnya pemerintah Arab Saudi tidak mengenakan pajak pada hampir semua jenis barang yang diperjualbelikan di sana. Menurut info dari seorang teman, selisih sebuah tas kualitas bagus dengan model dan brand yang sama itu rata-rata bisa mencapai ratusan ribu hingga satu juta rupiah. Wow!
Pasar-pasar tradisional atau pasar lokal juga bertebaran di Kota Jeddah. Sebut saja “Pasar Sepeda” yang letaknya dekat dengan monumen “Sepeda Nabi Adam” di Sitten Street. “Pasar Sepeda” adalah julukan khas untuk tempat ini dari para pemukim Jeddah yang berasal dari tanah air.
“Pasar Sepeda” tempat yang tepat untuk berburu rupa-rupa jenis karpet. Harga karpet-karpet di sana juga lebih murah. Tak heran banyak teman sesama pemukim Jeddah yang memanfaatkan selisih harga ini untuk berdagang karpet di tanah air.
Pasar tradisional yang tidak kalah menariknya adalah Bab Shareef. Lokasinya cukup dekat dari pusat perbelanjaan Balad yang selama ini sudah dikenal luas di kalangan jemaah asal tanah air. Hanya saja Bab Shareef ini memang kurang gaungnya karena jarang diperkenalkan.
Bab Shareef lebih fokus kepada hasil-hasil tekstil. Seperti baju-baju, sajadah dan pashmina/kain jilbab. Harganya cukup menggiurkan jika dibeli ala grosiran. Satu lusin pashmina dengan kualitas bahan buatan Syria bisa diperoleh di harga sekitar 100-300 riyal. 1 riyal = kira-kira 3 ribu rupiah).
Tidak perlu repot-repot menawar barang jika berbelanja di Jeddah. Biasanya pedagang di pasar-pasar lokal ini lebih suka memberikan harga pas. Perlakuan mereka kepada calon pembeli juga terkesan agak ‘dingin’. Tidak terlalu heboh seperti jika berbelanja di tanah air. Tapi jangan sakit hati dulu. Mereka tetap senang dan buru-buru ramah jika kita memborong barang dagangan mereka.
Soal bahasa jangan terlalu khawatir. Tidak sedikit dari mereka yang cukup fasih berbahasa Indonesia tingkat dasar. Apalagi kalau cuma untuk kegiatan jual beli saja. Kalau pun ada kendala komunikasi, cukup tuliskan harga yang kita inginkan di selembar kertas atau bisa meminjam kalkutor di toko yang bersangkutan.
Untuk jalan-jalan ke mal atau ke pasar, tidak perlu menunggu suami pulang kantor atau memaksa suami untuk cuti khusus. Juga tidak harus menanti akhir pekan tiba. Perempuan bebas-bebas saja jalan-jalan di siang hari tanpa suami.
Tidak sedikit teman saya yang berani menggunakan taksi umum seorang diri. Walau sebagian besar lebih memilih naik taksi beramai-ramai.
Enaknya karena di Jeddah banyak supir taksi asal Indonesia. Nah, kami biasanya tinggal menelepon salah satu dari mereka untuk kegiatan berbelanja atau sekadar jalan-jalan biasa. Mereka biasanya sudah hafal lokasi gedung tinggal kami jadi antar jemput langsung di depan bangunan apartemen. Seperti memiliki supir pribadi.
Hanya saja menggunakan ‘jasa khusus’ ini memerlukan ongkos lebih. Jauh lebih hemat jika menyetop taksi umum langsung di jalan bagi yang sudah menghafal jalan. Biaya naik taksi di Jeddah paling banter rata-rata 10 riyal saja per trip.
Si Pengantin Laut Merah
Kota Jeddah berbatasan langsung dengan Laut Merah. Makanya, julukan Pengantin Laut Merah wajar diberikan kepada kota metropolitan di pesisir barat wilayah Arab Saudi ini.
Ruas jalan yang bersisian dengan tepian laut diberi nama Corniche Road. Corniche Road sebagian besar dimanfaatkan untuk tempat rekreasi untuk penduduk Jeddah.
Tempat yang paling terkenal dan menjadi persinggahan wajib jemaah haji dan umrah adalah Masjid Terapung. Julukan ini diberkan karena masjid ini konon sebagian pondasinya berada di bawah air. Dari pelataran masjid, kita bebas memandang ke arah perairan lepas.
Monumen yang tidak kalah pentingnya adalah Air Mancur King Fahd yang sanggup memancarkan air hingga ketinggian 320 m di atas permukaan Laut Merah. Yang membuatnya menjadi salah satu air mancur tertinggi di dunia.
Pancaran airnya bisa dinikmati saat senja sudah mulai merambat turun. Di pagi hingga sore hari, air mancurnya tidak dioperasikan.
Spot kegemaran para pemukim Jeddah adalah wilayah North Corniche yang baru saja selesai dipugar di pertengahan 2013 lalu. Di sini ada playground yang menjadi kegemaran anak-anak. Ada areal memancing yang dicari-cari oleh bapak-bapak. Jogging track juga disediakan. Secara umum kawasannya cukup bersih. Fasilitas rekreasi di North Corniche ini bisa dinikmati tanpa dipungut bayaran sepeser pun.
Tempat Jalan-jalan di Sekitaran Jeddah
Kota Mekkah sering menjadi tujuan utama kami saat akhir pekan tiba. Berziarah ke kota Nabi, Madinah, juga menjadi incaran di hari libur.
Tapi kedua kota suci tersebut bukan satu-satunya pesona wisata jikalau berdiam di wilayah Arab Saudi. Tempat wisata di sekitaran Jeddah ada beberapa. Kalau ingin bersantai di tepi pantai di luar kota, tempat favorit saya adalah Pantai Thuwal. Saya juga pernah ikut konvoi bersama teman-teman ke wilayah Bahrah. Sebuah padang pasir yang letaknya diantara Kota Mekkah dan Kota Jeddah.
Butuh sekitar satu jam perjalanan dengan mengendarai mobil untuk mencapai Pantai Thuwal dari Jeddah. Kotanya bernama yang sama yaitu Kota Thuwal.
Pantai Thuwal tergolong bersih dengan fasilitas umum yang lumayan lengkap. Ada bangunan khusus untuk berteduh jika ingin menghindari teriknya sinar matahari yang terlalu menyengat di siang hari di musim panas. Disediakan pula beberapa kamar mandi atau toilet umum. Ada petugas kebersihan yang wara wiri membersihkan lantai bangunan dan kamar mandi tadi.
Perairan di kawasan Thuwal ini tergolong berair tenang karena letaknya di wilayah teluk. Jadi, para pengunjung boleh berenang sepuasnya di laut lepas. Khusus untuk perempuan dewasa, kewajiban mengenakan abaya tetap harus dijalankan. Abaya adalah sejenis gamis longgar yang umumnya berwarna hitam dengan bahan khusus sehingga tidak terasa berat dan panas. Makanya tak heran jika mendapati banyak ibu-ibu yang terjun ke air tetap mengenakan abaya.
Sedangkan Padang Bahrah hanya berjarak kurang dari sejam dari Kota Jeddah jika ditempuh dengan mengendarai mobil pribadi. Tempatnya masih alami belum ada sentuhan tambahan dari manusia.
Saat ke Bahrah, kami sengaja ingin menikmati senja di padang pasir. Beberapa keluarga datang beramai-ramai lalu menggelar tikar dan makanan di tengah padang. Anak-anak berkeliaran ke sana kemari menikmati areal yang mungkin di bagi mereka dianggap sebagai kotak pasir raksasa.
Sementara ibu-ibu sibuk menyiapkan makanan sambil mengobrol. Rasanya tentu berbeda menikmati semangkok bakso hangat dan bertusuk-tusuk sate yang dibakar di tengah-tengah padang pasir.
Jadi, bagaimana? Masih membayangkan Jeddah sebagai kota yang mengekang, tidak modern dan tidak ramah? 😉
***
View Comments (5)
Iya betul mb jihan, wkt sy haji dulu, cuma dibawa ke pasar balad kayak itc itu, ada yg jualan baju gamis lumayan murah tp kualitasnya gak sebagus d medinah. Cuma hati sy tuh ganjal sampai hari ini pingin tahu kenapa toilet d tempat umum kecuali mall, sprt d laut merah, perjalanan medinah ke mekah kita mampir d warung, warungnya besar tapi toiletnya, masyaallah kotoran manusia dimana2. kenapa ya bisa begitu, mb jihan tahu kenapa?
Soal kebersihan memang kurang bagus di Arab Saudi secara umum :). Sama kayak di Indonesia lah ya hehehe.
Satu lg, ternyata dijedah boleh gak berhijab ya, dulu sy lihat ada bule gak berkerudung, pakaiannya biasa bukan abaya. Emang peraturannya boleh gk berjilbab ya mbak?
Berjilbab hanya wajib bagi muslim, sih :). Kalau non muslim boleh. Bahkan yang muslim juga banyak yang enggak pakai :D. Abaya sih wajib ya cuma sekarang kan model abaya memang macam-macam. Gak harus hitam. Di Jeddah memang lebih 'santai'
Balad itu coklatnya murce banget, parfumnya jugaaa. Pas tahun kemarin berangkat haji, agak nyesel juga belanjanya parfum kurang banyaaak, hahaha.
Tapi males loh mbak, di masjid yang numpang shalat, seberangnya Balad, toiletnya jorok banget. Bikin ilfill, huehuee