X

That The World Shoud Go On

“Robin itu yang mana sih?”

“My best friend.”

“Iya, Mama tahu. Tapi orangnya yang mana?”

“The one who’s usually sitting next to me. We ‘re on the same table this week. You know, the green table.”

“Iyaaaaa, tapi orangnya tuh yang kayak apa? Yang gimana?”

“He likes drawing, he likes playing. But he didn’t like dinos. I like dino. You know…”

Bla bla bla mulai dia meracau soal aneka rupa dinosaurus. Persis kayak abangnya dulu hahahaha.

Robin itu diklaim oleh anak ke-2 saya sebagai “best friend”nya di sekolah. Tapi 2 minggu terakhir ini dia musuhan sama Robin. Karena Robin katanya kalau diajak main apa dia maunya main yang lain.

“I have a new best friend.”

“Oh ya? Namanya?”

“Russel. He’s very nice.”

Gambar : pixabay.com

“Orangnya yang mana tuh?”

“The one who said that my bag is cool.”

Here we go again *pijetPijetKening*.

Akhirnya saya bisa mengenali mereka satu persatu, physically! Hahahaha.

Setelah foto “resmi” mereka sekelas plus Miss-nya selesai dicetak dan dibagi-bagikan. Barulah saya bertanya sambil nunjuk satu-satu, “Ini siapa? Kalau yang ini namanya siapa?”

Wow, ternyata si Robin itu sering saya perhatikan di sekolahan pas jam pulang. Soalnya ganteng booo *ihiyyy*. Mirip Christiano Ronaldo versi anak-anak –> mamak-mamak genit! hahaha :p.

Kemudian, yang namanya Lucy itu ternyata etnis Tionghoa. Dan seterusnya.

Sebenarnya beberapa sih sudah pernah dikenalkan kalau kebetulan papasan pas pulang sekolah. Seringnya saya buru-buru kalau pulang. Karena jemputnya kan bareng adek bayi. Adek bayi nih, strollernya diem dia pasti nangis, seolah menuntut, “Keep rolling, Mommy, keep rolling!” Hahaha, zzzz -_-

Gak sempat deh kepo-kepoin teman anak-anak.

Anak pertama dulu juga mirip sih. Cuma dulu kalau pulang sekolah ya saya tanya-tanyain langsung, “Ini siapa? Itu siapa?” Sambil literally nunjuk anak-anaknya langsung hihihihi.

Karena kalau dengar deskripsinya ya begitulah.

Gambar : pixabay.com

Misalnya di kelas si sulung ada 2 anak yang namanya sama, Rowena A dan Rowena B. Saya tanya bedanya apa. Anak saya jawab, “Rowena A who always plays a role as a narrator in every christmas play. Don’t you remember? Rowena B who likes running around like silly girl. Ck ck ck…”

Ternyata ya booooo … Rowena A itu aslinya anak Afrika. Rowena B berambut kuning panjang dengan kulit kemerah-merahan.

Padahal teman-temannya di kelas lumayan multikultural. Kadang bisa nebak dari nama. Misalnya Rotsni atau Haidar itu biasanya kalau enggak Pakistan ya mungkin India. Tapi Russel itu ternyata India juga, nah loooo :p

Perhatikan cara anak-anak mendeskripsikan temannya. He likes drawing, her voice is very loud, he likes giggling all the time, the one who always walk with me when we’re out of the class ….

How sweet <3

Tidak pernah rasanya anak-anak saya bilang, “Itu lho Maaaa, yang orangnya item, rambutnya keriting. Yang anu itu lho, yang mukanya bule, hidungnya mancung pokoknya cakep deh.”

Mereka mungkin awalnya malah tidak nyadar tentang perbedaan fisik. Asyik saja mereka berbaur, mengobrol bareng pas lagi baris, lari-larian, kejar-kejaran dan sebagainya.

Kebalikannya, para orang tua menunggu dengan canggung di luar gedung menjelang jam pulang sekolah hehehe. Paling kasihan yang super minoritas lah *tunjukDiriSendiri* :p.

Terakhir saya mengajak ngobrol ibu-ibu yang berdiri di belakang saya, “The weather is very nice today. Last week was disaster.” –> rule mengobrol pertama kali dengan orang yang tidak dikenal versi Eropa : silakan ngomongin cuaca! Hahahaha.

Dia cuma ngangguk sambil cepat-cepat mengeluarkan handphone. Prasangka baik saya : orangnya pendiam. Eh, besoknya dia ketawa sampai ngakak-ngakak saat lagi mengobrol dengan 2 temannya. Oh, pendatang juga. Saya tidak paham bahasa mereka. Kemungkinan besar orang Polandia, pendatang sesama Eropa yang paling banyak di Irlandia.

Jadi begitulah. Sementara anak-anak tidak menyadari “sekat-sekat” ini, di luar gedung, orang India mengobrol dengan orang India, yang etnis Arab (umumnya Saudi/Mesir) ngerumpi bareng sesama mereka, orang Polandia dengan sesamanya, orang Irlandia juga begitu. Orang Indonesia? Yuk yaaa, main sama adek bayi ajaaaa hahaha.

Sulit menembus sekat. Bahkan di negara yang kita kira “terbuka” dan sarat pendatang. Pergaulannya pun berkelompok-kelompok. Karena yang sesama berkerudung pun, kalau beda “ras” ya cuma sebatas “assalamu alaikum” doang :p

Kalau mengobrol one on one memang seru. Tapi kalau sudah ada temannya ya mereka biasanya terbawa dan lupa kalau ada saya. Ini bukan pengalaman pertama kok. Waktu naik haji di tenda juga kan gitu. Kalau ngomong berdua pada pakai bahasa Inggris dengan saya. Begitu ramai-ramai, ya mendadak gelap hahaha. Di tenda, semuanya memang orang Mesir kecuali saya :D.

Mungkin waktu kita masih kecil pun, kita seperti anak-anak kita, ya. Celamitan dengan siapa saja yang mau bermain dengan kita. Asal mereka baik dan tidak nakal, pasti kita main bareng ^_^.

Saya pikir dulu karena saya tinggal di lingkungan homogen. Tapi anak-anak saya kan tidak.

Gambar : pixabay.com

Jika mereka dewasa nanti, ya kemungkinan akan tumbuh seperti kita-kita juga. Jadi, waktu kecil bisa begitu mengapa saat dewasa bisa berubah? Siapa, apa yang mengubah mereka? Mengapa dan bagaimana?

Dalam imajinasi saya yang biasanya modal daster doang dan minim ilmu psikologi ini (hahahaha), jadilah saya ingat kira-kira dulu apa yang saya lakukan dari kecil sampai dewasa. Yang sebisanya diingat.

Jadilah saya menyimpulkan begini …

Waktu kecil, kita bergantung pada sekitar. Orang tua dan lingkungan. Bisa dibilang, tidak bebas tapi tidak ada tanggung jawab juga kan? Apa-apa dipilihkan, apa-apa ditunjukkan.

Jadi ingat petunjuk bahwa bayi itu lahir tanpa dosa. Berarti memang naturalnya kita dilahirkan dengan segala potensi kebaikan.

“No one is born hating another person because of the color of his skin, or his background, or his religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite.”
― Nelson Mandela, Long Walk to Freedom

Then we were growing up. Makin besar mungkin ya makin bebas tapi tentu perlahan tanggung jawab mengikuti. Tanggung jawab melahirkan keberanian dan kekuatan, tapi bersamanya potensi ketakutan juga ada.

Waktu kecil, ngapain takut? Ada orang tua atau orang dewasa yang bisa dianggap melindungi. Gedean dikit, mereka makin menjauh. We need to take the control. Di masa remaja banyak masukan banyak bimbang banyak bertemu yang aneh-aneh yang ternyata tidak sesuai tuh dengan dongeng-dongeng orang tua di masa kecil kita dulu :p.

Cinderella, sang tokoh panutan, enggak bisa hanya nyuci ngepel di kosan biar bisa dilamar pria tampan hahaha. Cinderella juga kudu sikut-sikutan di KRL Ekonomi kerja kantoran dari pagi sampai malam hingga akhirnya bisa ngupil di “istana” hahahaha *lemparSepatuKaca*.

Gambar : psfk.com

Itu juga Cinderella enggak pernah cerita gimana ribetnya hamil dan melahirkan -_-. Gimana dramanya menghadapi peer pressure. Furthermore… Cinderella belum kenal media sosial dengan segala potensinya. Potensi positif plus negatif.

“Happily ever after” was always be the end of the story, once we were a child.

Now, I’m a mother. A mom of 3. Tentu saja tanggung jawab terhadap 3 bocah ini, seperti saya bilang di awal, melahirkan rasa berani + rasa kuat sekaligus rasa takut.

Pengetahuan saya tentang “dunia” terupgrade sudah. Awas kau, Cinderella dan kawan-kawan! Hahaha :p.

Tapi jadi terpikir lagi. Memangnya dunia dan lingkungan ini dibentuk oleh siapa? Oleh orang-orang yang hidup dan berinteraksi di dalamnya kan?

Betapa kita sebenarnya punya pilihan untuk mengubahnya. Instead, kita ini lebih banyak terbawa oleh ketakutan. Padahal ngakunya ngefans sama Star War, memuja-muja Yoda tapi lupa kalau Yoda sudah wanti-wanti…apa, apa, apa?:p.

Bahwa … ketakutan itu adalah sisi hitam dari kemanusiaan kita. Dari rasa takut itulah sebenarnya marah bisa datang. Dari marah jadi benci. Benci itu yang membuahkan penderitaan.

Takut anak-anak kenapa, langsung mengamuk membabi buta. Setidaknya itu yang terbaca oleh saya melihat timeline akhir-akhir ini. Unfortunately…saya juga takut, Euy! Huhuhu :p.

Tapi saya tahu kalau saya tularkan ketakutan itu, saya dapat apa? Ya nanti orang-orang juga akan berkomentar yang sama. Legaan gak saya? Ya pasti malah tambah takut, tambah marah, tambah benci. Seringnya untuk hal-hal yang malah belum saya konfirmasi sendiri :(. Don’t we all?

Ya namanya takut terus saja cari pembenaran biar kesannya ketakutan kita beralasan :p. Alih-alih cari solusi atau menenangkan, kebencian yang terus menerus bertebaran di mana-mana.

Anak-anak itu jauh lebih polos dan jujur. Lihatlah anak saya. Dia kenal anak dari kelas lain, tahu nama dan tahu orang. Tapi setiap saya tanya, “Eh dia itu siapa? Gimana orangnya?”

Ya jawabannya gitu, “His name is Gray. I don’t know him. Tony said he’s a bad boy. Arlene said he’s nice. But I don’t know. Never really play with him.”

Kalau kita, emak-emaknya nih, ada gosip apa, lihat foto orangnya saja, sudah berhamburan caci maki ke mana-mana. Gak percaya? Tengokin instagramnya artis yang dijuluki Nyonya Cireng. My oh my, saya betul-betul tidak percaya orang-orang dengan kata-kata sekasar dan sedengki itu dulunya juga pernah jadi anak-anak :'(.

Kita berkoar-koar, “Kita tuh begini karena kita sayang anak-anak tauk!”

By doing that…what kind of world are we trying to present to our youngs? We cursed, we said bad words, we sow too much hatred and we expect them to reap something good? Oh really :'(.

It’s us. We did change them. We did not love them enough. When we thought we did, perhaps we did it the wrong way :(.

Saya jadi ingat salah satu penggalan tulisan Pak Hasanuddin Abdurakhman,

“Janganlah engkau mencoba membuktikan bahwa Quran itu pembawa damai dengan membunuhi orang-orang yang tidak pecaya padanya. Karena engkau sedang membuktikan sebaliknya.

Engkau tak perlu mencari bukti-bukti, tapi kau harus membuatnya. Engkaulah bukti itu. Engkaulah yang membuktikan. Seperti sains tadi, kau tak perlu menemukan kebenaran mutlak dalam setiap huruf ayat Quran. Kau hanya perlu menghidupkan pesan-pesan intinya. “Wa man tabi’a hudaya falaa khaufun ‘alaihim walaahum yahzanuun.” Siapa yang mengikuti petunjuk, maka tak ada ketakutan padanya, tidak pula ada kesedihan.”

Seperti melihat anak-anak bermain dan becanda sesamanya tanpa intervensi kita yang tua-tua ini. Lihatlah, sepulang sekolah mereka jalan sama-sama, melambaikan tangan satu sama lain dan berjanji akan bermain bersama esok hari tanpa memperhatikan betapa canggungnya emak-emaknya untuk sekadar saling menyapa tongue emoticon.

Lawan, teman-teman. Lawan ketakutan itu. Jangan takluk padanya dan pada hal-hal yang mengikutinya : marah dan benci.

Jangan jadikan anak-anak tameng. But look at them. Look at your babies. Lihat semua kebaikan dan kemurnian yang mereka tunjukkan.

“A baby is God’s opinion that the world should go on.”
― Carl Sandburg

Sekali lagi, kita hanya perlu menghidupkan pesan-pesan intinya. “Wa man tabi’a hudaya falaa khaufun ‘alaihim walaahum yahzanuun.” Siapa yang mengikuti petunjuk, maka tak ada ketakutan padanya, tidak pula ada kesedihan.”

Have a nice weekend <3.

davincka@gmail.com:

View Comments (4)

  • Anakku juga gitu, mendeskripsikan teman-temannya lewat apa yang dia suka buka dari wanrna kulit, etnis, atau agama. Saya coba tanya sama anak saya "Vito, bunda ga tau yang mana Rayhan, yang mana Kaysan?" Jawabanya, "Kalo Rayhan yang suka main sepak bola sama renang, kalo Kaysan cuma sepak bola." Hehehehe

    Anak-anak itu cinta damai dan menerima perbedaan. Klo berantem, 5 menit juga udah baikan. Coba orang dewasa sampe anarkis dan dendam2an. Heu!

    Ternyata anak-anak itu mereka memang hatinya tulus dan murni. Semakin gede kita semakin terkontaminasi sama lingkungan, pola pikir, atau bahkan contoh dari orang dewasa.

    Mudah2an kita bisa jadi teladan untuk anak ya, mba.

    Suka sama tulisannya. TFS. :*

    Warm regards,
    Zia