X

Saat Mina dan Arafah Sedang Tertidur

 

Menyusuri kembali jalan-jalan di salah satu sudut Mina yang sisi kiri kanannya dipenuhi jajaran tenda yang kini lengang tak berpenghuni. Memandangi Padang Arafah yang sungguh berbeda tanpa hiruk pikuk jemaah dan hanya berupa hamparan tanah kosong ditumbuhi rumput liar. Tetap saja, suasana yang berbeda tidak membuat rasa haru berkurang sedikit pun.

Padang Arafah, pic : Dani Rosyadi

Setahun selepas saya berhaji bersama suami via biro haji lokal di Jeddah, suami mendapatkan kesempatan untuk bekerja di negara lain. Usai sudah perjalanan kami sekeluarga menjadi pemukim di Kota Jeddah, Arab Saudi, selama hampir 3 tahun lamanya. Menjelang minggu terakhir kami di Jeddah itulah, kami berangkat menuju Mekkah untuk berpamitan.

Setelah melakukan ibadah umrah di Masjidil Haram, barulah kami bertolak menuju Mina dan Arafah. Ingin sedikit napak tilas mengenai perjalanan haji yang baru beberapa bulan lalu kami jalani. Tentu saja, salah satu kenangan paling indah dan tak terlupakan selama tinggal di Arab Saudi adalah…naik haji.

Lengangnya Mina

Sebenarnya, akses menuju perkemahan jemaah haji di Mina ditutup saat bukan musim haji. Tapi jalanannya tidak ditutup sama sekali. Jadi, kami  nekat saja melintas untuk masuk.

Tenda-tenda jemaah di Mina sifatnya permanen. Hanya saja, saat bukan musim haji, kain-kain penutup yang berfungsi sebagai dinding-dinding tenda diangkat ke atas. Dibiarkan terbuka. Mungkin agar udara bisa leluasa masuk dan tidak pengab kala hendak digunakan.

Tenda terbagi-bagi dalam beberapa wilayah. Ada penomoran khusus. Nah, areal tenda-tenda inilah nanti yang disewakan kepada para pengelola jemaah haji dari negara lain atau biro haji lokal lainnya.

Beda sekali suasananya. Karena saat musim haji, jalanan selalu penuh dengan orang hilir mudik, kami tak mengira sebenarnya jalanan dalam kompleks perkemahan haji itu cukup lebar dan lapang. Biasanya ada juga para pedagang kaki lima yang menutup tengah-tengah jalan sehingga terasa sesak.

Kompleks jemaah haji di Mina

Kami menyusuri Mina hingga mencapai tempat melontar jumrah. Tempat melontar jumrah kini sudah ada 4 lantai. Tidak perlu berdesak-desakan seperti musim haji belasan tahun silam. Walau sepertinya lantai 1 masih menjadi tempat favorit bagi sebagian besar jemaah haji.

Masih ingat, kan, dengan peristiwa Terowongan Mina tahun 1991 lalu? Berkaca dari pengalaman itulah, akses masuk menuju tempat melontar jumrah dan keluar dari sana juga sudah dipisah dengan ketat.

Sewaktu naik haji, saya tak terlalu memperhatikan bentuk bangunan tempat melontar jumrah ini. Barulah tempo hari saat lagi sepi-sepinya saya baru melihat dengan seksama bahwa keempat lantai tempatnya ditopang oleh 2 buah bangunan berbentuk bulat.

Padang Arafah Tanpa Penghuni

Kalau di Mina kami masih bisa mengenali lokasi tenda kami kala menginap di sana, suasana di Padang Arafah sungguh  jauh berbeda. Tenda-tenda yang digunakan para jemaah saat wukuf setiap tanggal 9 Zulhijjah tersebut bukan tenda permanen seperti di Mina. Di luar masa-masa wukuf, tendanya dilepas.

Ternyata, Padang Arafah tidak benar-benar berupa padang pasir terbuka. Rumput-rumput liar terlihat tumbuh subur di sebagian areal. Bahkan tak jarang ada pohon-pohon yang tingginya lebih dari semeter. Kemungkinan, menjelang wukuf dan pemasangan tenda, pohon-pohon ini sebagian besar harus ditebang untuk menyediakan lahan yang luas. Mengingat jumlah jemaah yang membludak dari seluruh penjuru negeri.

Tak jauh dari Padang Arafah ini  kita bisa mencapai lokasi Jabal Rahmah, si bukit yang konon melambangkan kasih sayang itu. Ada mitos yang menyebutkan di sinilah dahulu Adam dan Siti Hawa bertemu setelah terpencar saat diturunkan dari surga ke bumi.

Jabal Rahmah terlihat sepi tanpa kerumunan jemaah. Kawanan unta yang biasanya diberi pernak pernik warna warni untuk dijadikan tunggangan jemaah yang ingin berfoto atau mengitari sekitar Jabal Rahmah juga tidak kelihatan. Kebetulan saat kami  ke sana itu, visa umrah juga belum dibuka kembali.

Jalan Menuju Arafah dari Mina, foto : Dani Rosyadi

Setelah musim haji berakhir, pemerintah Saudi tidak serta mengizinkan umat muslim dari negara lain untuk datang dan melakukan ibadah umrah. Sekitar sebulanan setelah musim haji selesai, Mekkah dan Madinah terkesan sangat sunyi tanpa kehadiran jemaah dari negara lain.

Saat inilah, pemukim Arab Saudi dari berbagai kota hilir mudik ke Mekkah dan Madinah. Keuntungan lainnya, umumnya hotel-hotel berbintang yang sepi pengunjung memberikan potongan harga kamar yang bisa dipangkas hingga 70%.

Kenikmatan mengunjungi dan menikmati tanah haram di ‘bulan-bulan sepi’ sudah bukan rezeki kami lagi.

Tempat melontar jumrah, Mina – Mekkah (foto : Dani Rosyadi)

Baca : Naik Haji via Jeddah

Inilah mungkin keuntungan utama sebagai umat muslim saat berkesempatan menjadi mukimin di Jeddah. Kesempatan untuk menunaikan ibadah haji tanpa perlu mengantre seperti yang kini berlaku di tanah air. Biayanya pun tergolong lebih murah, durasi lebih singkat, dan fasilitas yang jauh lebih menyenangkan.

Tapi ada aturan khusus dimana penduduk asli/siapa pun yang tinggal di Arab Saudi hanya boleh naik haji 5 tahun sekali. Nomor iqama (semacam kartu tanda penduduk untuk para pendatang di Saudi) akan diberi tanda.

Saya dan suami naik haji via Jeddah di tahun 2012 silam. Mendaftar melalui biro haji lokal. Biro haji ini menyediakan transportasi, akomodasi dan yang paling penting … surat izin resmi untuk naik haji ala Saudi yang namanya Tasrikh.

Tempat melontar jumrah dilihat dari sebuah area tenda jemaah di Mina, foto : Dani Rosyadi

Biaya naik haji tergantung biro haji yang digunakan. Rata-rata berkisar antara 2000 hingga ada yang mencapai lebih dari 10 ribu riyal. Biro haji yang saya gunakan  mematok harga 4500 riyal per orang. Kami memilih biro haji ini karena keistimewaannya yang membolehkan jemaah membawa anak-anak. Umumnya, biro-biro haji lokal tak mengizinkan anak-anak untuk ikut serta. Oh ya, di biro haji kami, anak-anak di bawah usia 10 tahun tidak perlu membayar sepeser pun.

Pendaftaran biasanya mulai dibuka selepas masa Idul Fitri. Jangan khawatir kehabisan tempat karena biro haji lokal ini jumlahnya tidak sedikit.

Tenda di Mina diberi fasilitas tempat tidur per orang lengkap dengan kasur+selimut+bantal. Tidak mewah memang. Tapi kami mendengar banyak jemaah dari tanah air yang hanya tidur beralaskan karpet tipis tanpa kasur sama sekali. Makanan juga termasuk berlimpah. Minuman tak pernah kosong disertai makanan-makanan kecil dan buah-buahan setiap pagi dan sore.

Jumlah kamar mandi dan toilet terbilang cukup dan tidak berdesakan. Biro haji kami juga menyediakan tenaga bersih-bersih yang sigap membersihkan kamar mandi hingga ke dalam tenda.

Tenda di Arafah pun tergolong nyaman dan mencukupi. Tetap dilengkapi dengan jumlah toilet yang layak.

Dari Mina menuju Arafah, kami tidak perlu berjalan kaki. Pemerintah Saudi sebenarnya sudah membangun lintasan kereta yang menghubungkan 3 titik penting Arafah-Mina-Tempat melontar jumrah (yang sebenarnya masih ada di wilayah Mina juga). Tapi hingga kini, fasilitas kereta belum bisa menjangkau semua jemaah haji.

Salah satu yang beruntung yang leluasa menikmati kereta listrik full AC ini adalah para jemaah lokal, seperti saya dan suami saat itu. Semoga ke depannya, pemerintah Saudi terus berbenah sehingga fasilitas kereta bisa ditujukan kepada seluruh jemaah haji.

Jemaah haji asal Kota Jeddah biasanya serentak memasuki Mekkah menuju Mina pada tanggal 7 Zulhijjah malam. Beberapa biro haji juga ada memberangkatkan jemaahnya pada tanggal 8 Zulhijjah. Durasi berhaji via Jeddah rata-rata 5-7 hari saja.

Fenomena Haji Koboi

Tak sedikit para penduduk maupun pendatang yang bermukim di Arab Saudi yang ingin melaksanakan ibadah haji lebih dari sekali dalam 5 tahun. Mungkin dengan pertimbangan mumpung aksesnya sangat dekat. Termasuk beberapa rekan-rekan saya di Jeddah dahulu.

Untuk  menghindari pemeriksaan Tasrikh (surat izin resmi untuk berhaji tadi), calon jemaah haji ‘ilegal’ ini berusaha memasuki Mekkah dengan cara kucing-kucingan denga petugas. Biasanya mereka langsung menuju Padang Arafah di hari wukuf atau sehari sebelumnya masuk ke Mina setelah tawaf di Masjidil Haram.

Berbekal tenda/tikar/makanan sendiri, mereka melaksanakan ibadah haji secara mandiri. Ada yang sendiri-sendiri, tapi  kebanyakan berkelompok. Nah, mereka inilah yang dikenal dengan istilah haji koboi. Haji koboi tak hanya datang dari kalangan menengah ke bawah. Tidak sedikit orang-orang berada yang menempuh cara ini untuk berhaji karena ingin merasakan petualangan khusus.

Sebaiknya kita memahami alasan pembatasan jumlah jemaah dan diberlakukannya “sistem Tasrikh” sejak sekitar akhir tahun 90-an. Dulunya, siapa pun pemukim Saudi bebas berhaji berkali-kali tanpa batas.

Para haji koboi yang biasanya memang hanya menggelar tikar di jalan atau di tanah kosong tanpa tenda ‘resmi’ juga membuat isu kebersihan tersendiri. Seringnya mereka membiarkan begitu saja sisa-sisa pembungkus makanan, botol-botol minuman berserakan di jalan. Sementara jemaah haji resmi menggunakan tenda resmi yang lazimnya juga bertanggung jawab atas sampah para jemaah di masing-masing tenda.

Gambar : news.liputan6.com

Belum lagi toilet dan kamar mandi umum (di luar fasilitas tenda resmi) sangat terbatas. Sehingga tak heran, sebagian haji koboi kesulitan untuk membuang hajat dii tempat yang seharusnya. Maka dari itu, bau pesing dan kurang sedap akan muncul di mana-mana di sepanjang jalan setelah proses wukuf selesai di Arafah.

Maraknya haji koboi akan membuat pemerintah Saudi kesulitan mengoptimalkan fasilitas untuk jemaah haji secara keseluruhan. Jumlah mereka sulit diterka dan terus membesar tiap tahun. Makin banyak yang berani mencoba.

Tapi sejak 2 tahun terakhir, pemerintah Saudi mulai memperketat pengawasan. Konon, tahun ini, hukuman mulai diperberat dan ancaman akan ketidakdisiplinan dalam mematuhi proses berhaji bagi pemukim lokal Arab Saudi makin gencar disebarluaskan.

Daya tampung wilayah Mina dan Arafah tentu tak mungkin terus diperlebar. Sekarang saja, antara wilayah Mina dan Musdalifah sudah mulai tumpang tindih. Sehingga jemaah memang harus dibatasi.

Saya mengerti betapa nikmatnya jika kita bisa naik haji berkali-kali. Tapi pertimbangkanlah mereka yang datang dari jauh. Mungkin kesempatan ini akan menjadii kesempatan pertama dan terakhir mereka. Secara hukum agama, naik haji tak perlu berkali-kali. Berikanlah kesempatan kepada mereka yang belum pernah. Rasulullah pun konon  hanya melaksanakan ibadah haji sekali dalam seumur hidupnya. Mari kita tingkatkan amal ibadah lainnya terutama dalam bermuamalah. Sehingga polemik dalam masalah pengaturan jemaah haji bisa terus meningkat dan membaik.

Akomodasi?

Jalur penerbangan Jeddah-Jakarta atau Madinah-Jakarta termasuk yang cukup padat. Harga-harga tiket sangat bersaing sehingga tak sulit mendapatkan ongkos yang terjangkau. Maskapai yang melayani jalur ini juga terhitung tidak sedikit. Harga tiket berkisar antara 4  juta rupiah per orang (pulang pergi) hingga di atas 10 juta rupiah per orang saat peak season.

Sayang sekali hingga kini pemerintah Arab Saudi belum membuka visa turis pagi pengunjung dari luar negeri. Orang-orang yang tidak bermukim di Saudi hanya boleh masuk melalui visa bisnis atau visa umrah/haji. Cara lain adalah dengan “invitation” khusus dari kerabat yang sedang bermukim di wilayah Saudi. Ini pun dibatasi khusus untuk kerabat terdekat saja seperti orang tua kandung/mertua kandung dan saudara kandung.

***

davincka@gmail.com: