Again, salah satu tulisan dari buku “Memoar of Jeddah : How Can I not Love Jeddah?” :D.
***
Setelah menuntaskan kontrak kerja di Jeddah, suami saya memutuskan untuk pindah ke Irlandia. Menjelang tiga hari keberangkatan menuju kota Athlone, Irlandia, saya sibuk menjejali isi koper dengan berbagai macam bumbu dan rempah khas tanah air. Sembari heboh dengan acara packing, sesekali terlintas nostalgia untuk Jeddah.
Selama tinggal di Jeddah, 2x saya mudik. Acara beres-beres koper kala liburan usai dan harus kembali ke Jeddah selalu berlangsung santai. Malah beberapa hari sebelum berangkat, saya woro-woro ke teman-teman di Jeddah, “Ada yang mau titip, gak? Koper gue kosong, nih.”
Tinggal di Jeddah, biarpun judulnya ‘luar negeri’, tidak membuat kita jumpalitan membawa segala macam bumbu dan penganan khas tanah air. Di Jeddah…all you can eat, Babe! Oh ya, karena ke mana-mana berabaya, tidak perlu pula pusing-pusing memikirkan baju dan teman-temannya.
Teman saya, sesama pemukim Jeddah, punya pengalaman sama. Dia mudik ke tanah air bersama kakak iparnya. Kebetulan mereka berbarengan membereskan barang bawaan untuk pulang kembali ke tempat masing-masing.
Kalau kakak iparnya sibuk memasukkan segala macam bumbu, sampai bawang goreng pun dibawa hingga berkilo-kilo, teman saya malah bingung, “Duh, bawa makanan apa, ya?”
Teman saya hendak kembali ke Jeddah, kakak iparnya ke Dubai. Padahal Dubai terletak di Uni Emirat, berbatasan langsung dengan negara Arab Saudi. Tapi urusan makanan bagaikan bumi dan langit.
***
Dari sebuah traveling blog, saya jadi punya banyak teman sesama ibu-ibu yang bermukim di luar negeri. Mereka ke luar negeri karena bermacam-macam alasan : mengikuti suami, sekolah atau bekerja di sana. Keluhan mereka rata-rata hampir sama, “Kangen euy masakan Indonesia.”
Di beberapa negara, makanan Indonesia tidak susah ditemukan. Tapi terganjal masalah lain. Kalau harganya tidak mahal, rasanya yang kurang enak.
Teman saya di belahan dunia lain, yang tadinya buta urusan dapur, mendadak jadi jagoan di depan kompor. “Tidak ada pilihan lain, terpaksa jadi jago masak,” begitu rata-rata alasan mereka.
Alhamdulillah urusan perut terjamin lahir dan batin di Jeddah. Harganya sangat ‘terjangkau’ dan rasanya juga enak. Makanya, impian saya menjadi ‘masterchef‘ kalau tinggal di luar negeri pupus sudah.
***
Rumah makan ala Indonesia di Jeddah cukup banyak. Apalagi jika berada di distrik Sharafiyah dan Bagdadiyah, 2 distrik yang sarat pemukim asal Indonesia. Levelnya bervariasi. Yang model warteg juga ada, lho. Menyediakan nasi rames komplit dengan rasa yang tak jauh beda dengan tanah air.
Rumah makan level menengah ke atas juga ada. Menunya pun lengkap. Katering rumahan juga menjamur. Inilah salah satu alasan saya cukup percaya diri menjalani proses hamil hingga melahirkan anak ke-2 di kota Jeddah. Biarpun saya tahu baik ibu saya maupun ibu mertua berhalangan untuk datang menemani di masa-masa melahirkan.
Semasa hamil muda dimana saya melilhat dapur saja rasanya sudah muak, kami memutuskan untuk menggunakan jasa katering. Diantarkan langsung ke pintu apartemen, lho.
Senang bertarung di dapur pun tidak perlu khawatir. Bumbu khas tanah air mudah sekali ditemukan di toko-toko Indonesia dengan harga yang masuk akal. Daun-daunan, rempah-rempah hingga tahu tempe selalu tertata rapi di rak-rak toko.
Tak perlu pula susah-susah memboyong bungkus-bungkus instan. Indomie bukan barang langka di Saudi. Indomie bahkan dengan mudah ditemukan di toko-toko lokal Saudi, apalagi di supermarket. Harganya? 1 riyal saja per bungkus ^_^.
Pagi-pagi di saat akhir pekan, para istri pun ingin bersantai di taman atau pantai. Dapur diliburkan dulu. Kalau tak sempat memesan katering, datangi saja toko-toko Indonesia yang terbilang ramai.
Tiap pagi toko-toko ini tak pernah absen menyediakan nasi rames kotakan khas tanah air. Isinya nasi, sejumput sayu dan lauk pauk (seperti telur, daging atau tahu-tempe plus sambel). Untuk membawa sekotak nasi rames, harga yang harus dibayar rata-rata 3-5 riyal! (1 riyal sekitar 2500 rupiah). Amboi, murahnya.
***
Salah satu makanan siap saji yang menjadi trademark kota Jeddah adalah Al Baik. Biarpun hanya berupa ayam goreng tepung, tapi Al Baik ini sangat tersohor di kota Jeddah. Sebelum saya menginjakkan kaki di kota Jeddah, suami saya sudah sering banget mengelu-elukan si ayam goreng yang satu ini. Padahal biasanya suami kurang suka dengan segala menu yang berupa ayam.
Baru 2 hari menghirup udara Jeddah, di suatu malam, diajaklah saya ke Serafi Mal, khusus buat icip-icip si Al Baik ini. Saat di foodcourt, melihat antriannya yang panjang, saya cukup optimis membayangkan kelezatan Al Baik ini. Tapi setelah mencoba sendiri, saya tidak merasa ada yang istimewa.,Mungkin selera saya yang kurang umum.
Al Baik ini sendiri adalah sejenis fastfood seperti KFC / McDonalds. Tidak semua kota di Saudi menyajikan si Al Baik ini. Hanya ada di Makah, Jeddah, Madinah, Yanbu dan Taif. Di kota Jeddah ini, saking tenarnya, cabangnya ada sekitar 20. Tersebar di berbagai mal dan gerai yang berdiri sendiri.
Menunya terdiri dari : ayam, udang dan ikan. Ketiganya disajikan dalam bentuk hidangan goreng tepung dan nugget. Menu yang lebih ringan juga ada, misalnya : jagung-jagungan dan es krim.
Apanya yang khas? Rasa memang sedikit berda dibanding ayam goreng tepung lainnya. Lebih kaya bumbu dengan aroma rempah-rempah yang unik. Selain dinikmati dengan saos tomat, hidangan utama Al Baik juga bisa disajikan bersama saos bawang putih (garlic sauce) yang rasanya juara banget.
Harga-harga menu di Al Baik lebiih murah dibandingkan dengan menu yang sama dari fastfood lain yang sejenis. Mungkin selain rasanya yang khas, karena harganya ini yang membuat orang-orang lebih memilih Al Baik.
Porsi makanan di Saudi secara umum sangat mengenyangkan. Misalnya paket menu ayam goreng yang regular isinya : 4 potong ayam, sekantong kentang goreng, 1 buah roti dan sekaleng minuman bersoda. Kalau untuk saya pribadi, ukuran seporsi tadi terlalu banyak untuk jatah makan satu orang. Seringnya kami membeli 1 paket lalu dibawa pulang ke rumah dan dinikmati bersama-sama dengan anak-anak.
Alasan lain kenapa saya lebih suka makan di rumah adalah di gerai Al Baik tidak menyediakan nasi. Maklumlah lidah kampong saya ini, makannya mesti pakai nasi.
***
Mumpung tinggal luar negeri, tak ada salahnya mencicipi masakan internasional. Tapi, konon di banyak tempat di luar tanah air agak sulit menemukan makanan yang halal. Bahkan di negara-negara yang mayoritas muslim. Nah, ini kelebihan lain negara Saudi. Pemerintah menjamin kehalalan semua restoran yang dibuka untuk umum. Saudi menerapkan aturan ini, entahlah dengan negara TimTeng lainnya.
Jadi, jangan takut wisata kuliner di restoran publik mana pun. Saya sekeluarga kebetulan tidak terlalu suka makan di luar rumah. Tapi kami juga punya restoran favorit, namanya Pattaya. Restoran yang menyajikan masakan Thailand yang segar dengan harga cukup murah. Sebagian teman saya lebih menyukai restoran lain yang menyediakan menu sejenis. Restoran Asia namanya. Restoran Asia ini yang lebih umum dikenal oleh para jemaah umrah atau haji asal tanah air.
Di ruas jalan Andalus banyak berjajar restoran-restoran papan atas kelas dunia. Dijamin halal. Saya selama ini seringnya menumpang lewat saja. Selama 30 bulan tinggal di Jeddah, tidak pernah terbersit keinginan coba-coba jajan di sana. Suami sih sering ribut ngajakin makan ke sana. Apa hendak dikata, lidah istrinya ini lidah kampung. Hahaha.
Masakan khas Arab juga patut dicoba. Hidangan Timur Tengah dan sekitarnya tak sulit ditemukan. Mulai dari aneka kebab daging segar khas Turki, masakan ayam bakar ala Pakistan-Afganistan, nasi kari ala India atau berbagai menu lebanon.
Masakan ala oriental juga bertaburan. Misalnya hidangan khas Cina, Jepang, Thailand maupun Filipina.
Jangan ragu-ragu, dijamin kehalalannya oleh pemerintah setempat. Tidak perlu capek-capek cek label halal :P. Meskipun beberapa teman saya ada yang tetap ‘berkeras dan menganggap pemerintah Saudi ‘tidak terlalu disiplin’ dan label halal mudah dipermainkan. Di masa kini, apa sih yang tidak bisa dibeli? Jangankan label halal, harga diri pun mudah tergadai dimana-mana.
Untuk urusan kehalalan makanan di Saudi prinsip saya, sih, hidup jangan dibuat susah. Kita ikhtiar semampunya. Pemerintah berani menjamin berarti tanggung jawab pun siap mereka tanggung. Mari menikmati
***
Di Jeddah, urusan perut memang terbilang memuaskan untuk para perantau dari tanah air. Biaya hidup secara umum yang tergolong murah membuat saya sempat enggan untuk pindah. Kesempatan emas untuk mengkatrol angka tabungan seoptimal mungkin hehehehe.
Materi memang penting. Tapi tentunya kita semua sepakat, PENGALAMAN adalah hal yang tidak mungkin terbeli oleh uang. Tiap tempat pasti punya keistimewaannya masing-masing :).
Travel! You will find a replacement for what you leave behind,
And strive! Because the joy of living is in striving.
– Imam al-Shafi’i-
View Comments (4)
ahhh.. Al-Baik... saus bawangnya juara bangeeeettt.. cocolan terenak tiada tara :)
Kenal Al-Baik tuh di Makkah, muraaah, pokoknya yang murah yang juara, hahaha
Ada rekomendasi gak mbak untuk daerah makah, yang murah dan mantap. selama ini kami kekurangan makanan indo, maklumlah urusan makan sudah dijamin dari sarekah. Tpi ya gitu, rasanya seadanya. Tenks
Jarang makan di Mekkah saya Mbak hehehe. Paling tahunya di Al Shofwa Tower :D. Food court lantai 2 ada gerai Malaysia F'Dcost namanya kalau gak salah. Enak-enak itu kayak masakan Padang cuma rasanya lebih manis :D.