X

Hers is Where Mine Begins

Foto keluarga tahun 2005. Sayangnya, minus si sulung :(.

Usai melahirkan adik perempuan saya, anaknya yang ke-7, Ibu saya datang ke dokter kandungannya, “Saya mau pasang KB, Dok.”

Sang dokter, yang sedari kehamilan ke-3 sudah mendesak Ibu agar memasang KB, agak syok. Tapi konon sang dokter akhirnya hanya senyum-senyum menggoda Ibu saya, “Yah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali ya, Bu.”

Usia beliau saat itu baru 30 tahun. Sebenarnya di masa-masa Ibu lahir dan besar, pernikahan usia dini sudah bukan hal yang lumrah. Walaupun belasan tahun masa kecilnya dihabiskan di Rappang, kampung kelahirannya nun jauh di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.

Ibu punya saudara kembar. Saudara kembarnya ini menikah di usia yang tidak terlalu muda. Saat tante hamil anak pertama, Ibu pun sedang hamil saya, anaknya yang ke-6. Semua teman sepermainan kecilnya menikah di usia nyaris 30 tahun. My mom rocks! Ahahahahahaha.

Di usia 15, setelah menikah dengan almarhum Bapak, mereka berdua langsung hengkang ke ibukota propinsi, yang dahulu masih bernama kota Ujung Pandang. Memulai segalanya dari 0. Hidup menumpang pada kerabat lain sambil membantu usaha kerabat tersebut.

***

Ibu sering sekali bercerita kalau sebenarnya dia ingin melanjutkan pendidikan hingga lulus SMU. Berharap kami semua bisa meneruskan cita-citanya itu. Tapi istimewanya, Ibu tak menyimpan ‘ambisi’ masa lalu ini terlampau dalam.

Santai saja beliau dalam mendidik kami. Tak pernah mewajibkan kami ini itu. Tidak ngotot kami harus les ini les itu.Yang terjadi malah kebalikannya. Salah satu anak Ibu sangat ambisius dalam urusan sekolah, apalagi urusan nilai rapor.

Anak perempuan sulungnya menangis dan berdiam diri berhari-hari setelah di semester ke-4 di bangku SMP harus puas dengan peringkat ke-2 di kelas, setelah 3 semester berturut-turut menjadi juara kelas. Malah semester 1 juga menjadi peringkat 1 umum sekolah! Ahahahahahaha. Can’t believe that it was…ME! .

Maafkan anakmu yang norak ini ya, Mama hehehehe. Tidak pernah lho Ibu memaksa kami untuk berprestasi secara akademis setinggi mungkin. Catat, ya. Tidak pernah. Itu karena anaknya yang itu saja yang terlalu bernafsu ndak jelas ahahahahaha.

Sejak kelas 5 SD, saya aktif menjadi anggota drum band di sekolah. Kami sampai ke Jakarta segala lho ikut lomba . Waktu itu ada iuran sebesar 150 ribu. Saya kaget sekali waktu Bapak menolak keras dan menyarankan saya supaya tidak usah ikut. Ya ampun, padahal sudah capek-capek ikut latihan berbulan-bulan.

Waktu itu Ibu diam saja dan menenangkan saya yang sudah sesenggukan di meja makan, “Sudahmi. Nantipi Mama yang bicara sama Bapak. Diam mako dulu.” (Sudahlah. Nanti Mama yang bicara ke Bapak. Diam dulu, ya).

Akhirnya beberapa hari kemudian, Ibu kembali berkata, “Ooohh, salah dengarki Bapak. Dia kira 750 ribu. Kalau 150 ji, ada kok uangnya.”

Ah, waktu itu saya lega dan percaya saja pada kata-katanya. Tapi kini, saya paham. Pasti Ibu yang membujuk Bapak untuk membayar biaya kepesertaan tersebut.

Di kelas 6 SD, banyak teman drum band yang diresahkan oleh orang tua mereka yang menuntut agar mereka berhenti mengikuti kegiatan bermain musik tersebut. Kegiatannya dianggap akan mengganggu kegiatan belajar di sekolah.

Ibu tenang-tenang saja, “Ah, masa sih begitu? Belajar ya belajar. Main terompet itu kan bagus juga. Kau pasti bisa lah. Masa gara-gara drum band pelajaran jadi terganggu. Tidak ada itu.”

Beneran lho, ucapan Ibu sangat membakar saya. Cawu 1 kelas 6, saya dihujani puji-pujian oleh pembina drum band dan para pelatih . Setelah sekian lama selalu puas di peringkat 2,3 atau 4, pertama kalinya saya menjadi juara kelas .

Kala aktif-aktifnya saya dengan kegiatan drum band saya yang banyak dihujat oleh kalangan orang tua. Bahkan, wali kelas saya yang tadinya ‘sinis’ pada kami, si penggila drum band ini hihihihi, ikut memuja-muja saya di hadapan orang tua murid lain .

Sehabis menerima rapor kala itu, saya kegirangan dan percaya diri luar biasa kalau saya akan mendapat perlakuan istimewa darinya. Sewaktu di becak berdua Ibu, dalam perjalanan pulang, saya yakin sekali akan mendapat jawaban ‘ya’ ketika saya memberanikan diri untuk berujar padanya, “Ma, makan coto, yuk.”

Ibu menjawab tenang, “Aiii, tidak ada uangku, Nak. Nantipilah kapan-kapan, ya.”

Kasian deh loooo, ahahahahahaha. Mentang-mentang rengking 1 . Inilah salah satu keistimewaan beliau. Ibu tidak pernah mengistimewakan anak-anak berdasarkan prestasi akademis. Sama rata pokoknya. Kalau ada kerabat yang menyinggung-nyinggung adik perempuan saya, “Ini yang kecil tidak pintar seperti kakaknya di’ …”

Ibu selalu menjawab taktis, “Ooo, ini yang kecil banyak sekali temannya tauwa di sekolah. Pintarnya bergaul. Tidak seperti kakaknya. Pacceicereng ladde’, napoji mapakereng-kereng.” Hayooo, apa itu artinya, ahahahahaha.

2 hari setelah ebtanas SD, bapak meninggal dunia secara mendadak. Salah satu masa-masa terberat bagi kami semua. Tapi, menjelang pendaftaran masuk SMP, beliau tetap menyerahkan keputusan pada saya, “Jadi bagaimana ini, Nak? Tetap di Athirah atau mau ko masuk SMP 6?”

Saya sungguh tidak mengira Ibu akan bertanya. Sebesar apa pun keinginan saya untuk melanjutkan SMP ke Athirah, sekolah swasta selevel Al Azhar di kota saya dimana semua kecengan pun masuk sana boooo , saya tentu tahu diri untuk memilih sekolah negeri.

Kami semua sudah tahu, kepergian Bapak waktu itu lambat laun akan menghantam ekonomi keluarga. Tinggal masalah waktu saja.

“SMP 6 mi saja. Cukup kan NEM nya.” Saya menjawab tanpa ragu. Alhamdulillah, NEM saya sangat gemilang. Lebih dari cukup untuk bersaing merebut kursi di SMP negeri terbaik di kota kami saat itu. Eh, masih enggak, ya sekarang? ;).

***

Di bangku SMA, sebuah kejadian penting pun mewarnai hubungan kami. Sebuah perdebatan kecil pada saat penataran membuat saya menjadi berpikir masalah kerudung. Padahal semasa Bapak masih hidup, beliau sudah menegaskan kalau SMP, saya harus mulai berkerudung.

Idih, malas amat. Saya tentu menentang keras. Ibu membela saya, “Tidah usah dipaksa-paksa. Anak masih kecil disuruh pakai kudung.” (kudung -= kerudung).

Saat penataran, saya mengemukakan pendapat dengan ‘nyinyir‘nya dalam kelas, kira-kira isinya begini, “Sebagai negara dengan penganut agama bermacam-macam, anjuran memakai jilbab itu hanya akan mengurangi rasa nasionalisme. Cuma mau pamer-pamer agama saja.” Sekuler bener ini Mbak-nya ahahahaha, masih tahun 1995, bahkan Ulil bersama JIL-nya pun belum menetas kala itu :p.

Ketika saya dipindah kelas, saya bertemu dengan seorang teman berkerudung yang sangat bersahaja. Penampilannya rapi dan (maaf) badannya tidak bau hehehehe . Darinya, saya mendapat sebuah buku bersampul kuning, yang hanya butuh sekitar 2 jam untuk menuntaskan isinya. Sungguh, hidayah rahasia Allah semata .

Hanya perlu satu buku itu saja untuk memberanikan saya berkata secara tiba-tiba pada Ibu, “Ma, mo ka’ pakai jilbab.”

Ibu tentu terkejut. Memandangi putri sulungnya, yang rasanya belum lama berlalu ngomel-ngomel disuruh pakai jilbab, di usia 15 mendadak ingin mengenakan jilbab. Ibu keheranan, “Kenapa?”

Saya menyerahkan buku bersampul kuning tadi. Dan saya tinggalkan beliau yang segera sibuk membolak balik buku tersebut.

Besoknya, dari balik tangga, saya duduk sendiri mendengarkan Ibu berbicara di telepon. Entah dengan kerabat yang mana. Ibu lebih banyak diamnya, hanya sesekali menjawab. Tapi belakangan saya tahu, ternyata banyak kerabat yang menentang.

Saat itu di keluarga besar kami tak banyak remaja putri di usia SMA yang berkerudung, kecuali sepupu-sepupu yang memang lulusan pesantren. Tuduhannya macam-macam. Masa ada yang menuduh saya ikut-ikutan aliran sesat  *adaAdaAjaDeeehhh:P*. Dihujat karena terlalu banyak baca buku.

Ah, saya pasrahkan saja. Tahun segitu, memakai jilbab di usia 15 memang masih gimana gitu. Saya pikir, toh saya sudah mencoba. Kalau pun memang belum boleh, saya tak akan sedikit pun menentang beliau.

Tapi, sungguh tak disangka, beberapa hari kemudian, di suatu malam Ibu memanggil saya. Sambil menyerahkan sebuah kantong plastik hitam, “Ini dua pasang baju sekolah, lengan panjang sama rok panjang. Jilbabnya juga 2. Kapan mau pakai jilbab?”

Rasanya ingin terbang. Teman-teman lain di sekolah menghadapi begitu banyak drama hanya untuk menggunakan kerudung, jalan saya begitu mudah . Malam itu, agak sulit saya memejamkan mata. Bantal pun dihujani air mata. Terima kasih ya Mama, diantara sekian banyak hujatan, Mama memutuskan untuk percaya pada pilihan putrinya.

Sebagai informasi, baru beberapa tahun terakhir ini Ibu memutuskan untuk memakai tutup kepala. Saat saya meminta izin untuk berjilbab, beliau pun belum berjilbab saat itu.

***

Kontras dengan peristiwa awal mula berkerudung di kelas 1 SMA itu, menjelang pernikahan saya, hubungan kami tak terlalu baik. Resepsi pernikahan menjadi polemik tersendiri. Dengan dana pas-pasan, akhirnya jalan terbaik yang ditempuh adalah menumpang acara pernikahan di rumah kerabat.

Kondisi ekonomi keluarga sudah lama ambruk. Masing-masing kami membiayai sendiri acara pernikahan. Jadi, harap maklum kalau jadinya malah menumpang hehehhe.

Mau resepsi di mana pula eike, rumah pun tak ada ya, Ceu ehehehehe. Masa di rumah kontrakan? ahahahaha. Saya pun ingin menghormati keluarga suami dengan tidak mengadakan ‘acara murahan’ yang bertempat hanya di mesjid, sementara mereka sukarela mengadakan perhelatan di sebuah gedung tanpa meminta biaya dari pihak saya.

Kala itu, saya masih berstatus trainee di sebuah perusahaan besar yang memang sejak dulu menjadi incaran saya. Namanya juga trainee, masih masa-masa cari muka dan tidak berani bolos-bolos la yaoowww ahahahaha. Jadi, saya mempercayakan semuanya pada Ibu. Belum apa-apa, masalah baju pengantin sudah membuat darah mendidih.

Sudah sejak lama saya mewanti-wanti Ibu, “Pokoknya saya mau tetap pakai jilbab. Pakai baju la’bu’, jangan baju bodo.” (Baju la’bu’ = baju panjang, baju bodo = baju pendek).

Seolah ingin menambah drama pernikahan saya, beberapa hari sebelum resepsi akad nikah digelar, sebuah peristiwa menggegerkan divisi saya di kantor. Sebuah tabel utama dalam database perusahaan lenyap isinya. Ter-delete semua. Ini apa yaaa, bahasanya IT banget ahahahahaha.

Peristiwanya hari rabu. Sementara hari sabtu sudah harus duduk manis di pelaminan. Hampir mati rasanya waktu itu. Saya satu-satunya trainee dalam tim saya.

Alhamdulillah tak perlu tercekam terlalu lama, pucuk masalah ketahuan juga. Tim development dodol di Bangolore sudah melakukan kesalahan tolol dengan menghapus data di database production. Ahahahahahha. Itu peristiwa memalukan sebelum akhirnya setahun kemudian, perusahaan resmi beralih ke SAP .

Rabu itu, tak ada ampun meskipun berstatus sebagai satu-satunya perempuan dalam tim untuk ikut ‘menjaga’ proses recovery data hingga dini hari. Hari kamis pukul 4 pagi, barulah kami semua beranjak pulang meninggalkan kantor. Hari kamis pukul 9 pagi sudah pasang tampang siap siaga lagi depan Bos. Trainee oh trainee ahahahaha.

Hari jumatnya, karena peristiwa tersebut, saya tidak diberi cuti penuh. Bos tetap menghendaki saya untuk masuk setengah hari. Siangnya, pulang ke rumah kontrakan, maksudnya ingin langsung rebahan mengingat beberapa hari terakhir tidur tak pernah pulas. Ibu malah datang membawa berita, “Sudah disiapkan baju bodo baru. Warnanya biru. Bagus sekali bajunya.”

Tante saya ikut melaporkan biaya penyewaan tenda yang harganya melambung tinggi di luar perkiraan!

Sudahlah kurang tidur beberapa hari, stres mikirin urusan kantor, masih pening mikirin ongkos nikah yang menguras hampir seluruh isi tabungan, saya meledak-ledak . Berbicara dengan nada kasar pada beliau. Mengatakan banyak hal-hal yang amat tidak pantas .

Can you imagine, hanya beberapa jam menjelang hari pernikahan, saya malah bertengkar dengan Ibu. Dramanya pun mencapai puncak ketika malam itu juga, saya dihujat oleh keluarga besar karena dianggap tidak mensosialisasikan acara pernikahan. Selama itu, saya memang tidak berani minta cuti, saya menyerahkan semuanya pada Ibu .

Saya ini bodoh sekali. Sudah tahu dana cekak, masih saja berani berbagi keangkuhan pada Ibu bahwa semua biaya sanggup saya tanggung.

Tidak menyadari bahwa judulnya saja hanya ‘menumpang’, sudah seharusnya kami yang ikut keinginan keluarga besar. Jadi, selama ini Ibu tidak pernah berani berbicara terus terang kepada saya. Saya juga terlalu sibuk di kantor, tak terlalu merasa perlu ikut campur terlalu jauh.

Kakak-kakak saya yang lain pun tak berdaya ikut membantu. Mereka juga ya sibuk lah bekerja di kantor masing-masing. Tinggalnya terpencar-pencar. You know lah Jakarta beserta macetnya .

Lupa memaklumii bahwa siapalah Ibu saya. Mana mungkin Ibu mau sok tahu ikut-ikutan mengatur jalannya acara meskipun yang menikah adalah anak gadisnya .

Intinya, sesibuk apa pun, sempatkanlah untuk bersilaturahmi. Tidak ada istilah macet, capek dan segala macam.

***

Setelah menikah dan memiliki anak pun, rasanya kasih sayang Ibu tidak akan pernah terputus, ya. Saat bertikai masalah kepindahan ke Jeddah dengan suami, Ibu ikut menasihati saya, “Apa tahan terus-terusan hidup pisah-pisah? Di mana suamimu mau bekerja, menurut sajalah. Setengah mati diurus supaya kau bisa ikut, kenapa sekarang tidak mau?”

Kala itu saya berbagi kekesalan saya pada Ibu masalah Montreal vs Jeddah hehehe. Ibu pun menyemangati saya, “Jeddah itu bagus, kok. Jangan dengar kata orang-orang. Bayangkan Nak kau nanti di sana, bisa umrah, bisa naik haji. Dekatnya itu Mekkah na dari Jeddah. Kau itu beruntung, Nak. Ikut saja apa kata suamimu.”

Ibu memang yang suka memprotes kala saya harus hidup terpisah dari suami di setahun pertama keberangkatan suami ke Jeddah. Menurutnya, “Tempat terbaik bagi seorang istri adalah di samping suaminya.” . Dalam kondisi apa pun.

Jadi, saya selalu iri pada teman-teman yang bisa pulang ke haribaan ibunda tercinta untuk berlibur panjang bersama anak-anak sementara suami tak bisa lama-lama mengambil cuti hehehehe. Ibu saya bisa murka, “Musalai lakkemmu? Madosa ladde’ tu, Nak.” (Kau tinggalkan suamimu? Berdosa sekali itu, Nak).

Suami saya mungkin memberi izin, tapi malas enggak sih kalau dikutuk oleh ibunda sendiri? Hehehehe.

Kala hamil, tak pernah berani menyisipkan pikiran untuk pulang ke tanah air biarpun waktu hamil muda saya seperti orang gila (literally!) ahahahahaha. Ask my husband! . Ibu pasti akan menceramahi saya panjang lebar, “Baru hamil begitu sudah tidak tahan?

Mama itu melahirkan 8 kali, de nengka ulisu okko bolana indo’ku.” (Tidak pernah saya pulang ke rumah ibu saya).

Terima kasih ya Mama. Itu pelajaran sangat berharga . Tanpa kita sadari, kekuatan itu ada kok dalam diri kita. Setakut-takutnya saya saat hamil anak ke-2 jauh di negeri rantau, segaring-garingnya saya di Jeddah kala ramadan datang, terngiang selalu pesan Ibu, “Susah senang sama-sama, Nak. Begitu memang kalo sudah kawin.”

***

Ah, mau seribu paragraf pun rasanya tak akan pernah cukup untuk mengisahkan perempuan hebat ini . Tentu saja, Ibu saya pun hanya manusia biasa. Tak sedikit kekurangan bahkan hal-hal tak ‘layak’ yang pernah mengundang gunjingan orang. Meskipun saya pun tak pernah membahas hal ini secara terbuka dengan saudara-saudara saya, saya yakin hal itu tidak akan mengurangi rasa hormat kami pada beliau .

“But there’s a story behind everything. How a picture got on a wall. How a scar got on your face. Sometimes the stories are simple, and sometimes they are hard and heartbreaking. But behind all your stories is always your mother’s story, because hers is where yours begin.”

― Mitch Albom , For One More Day

61 tahun lalu, tepatnya tanggal 26 Mei, beliau terlahirkan ke dunia ini . Kelahirannya yang akan menghadirkan rangkaian perjalanan cerita pada kami bertujuh. 8 kali melahirkan, anak ke-2 (kakak kembar saya) menghembuskan nafas terakhir hanya beberapa detik setelah terlahir. Selamat ulang tahun, Ibunda tercinta .

Mama and her grown-up babies 😀 (January, 2013)

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ
سورة نوح﴿٢٨﴾
ROBBIGHFIRLII WALIWAALIDAYYA
Ya Alloh ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku
(QS.Nuh 28)
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِـيْراً
سورة الإسراء﴿٢٤﴾
ROBBIR_HAMHUMAA KAMAA ROBBAYAANII SHOGHIIROO
serta kasihilah mereka berdua seperti mereka mengasihiku sewaktu kecil
(QS. Al-Isro’ 24)

 

davincka@gmail.com:

View Comments (20)

  • Setiap baca doa utk orangtua yg di bagian terakhir itu, aku jg selalu pengen nangis, mbak... inget ibu dan alm bapak...
    Nice sharing (again) mbak.. selamat genap 61 tahun utk ibu ya. Skrg tinggal duduk manis ditemenin anak cucu.. :D
    Semoga selau sehat, jadi (calon) ahli surga nanti... amiiinn..

  • Siip, siip keren. Tapi jangan panjang-panjang Mbak artikelnya. Kita kan punya batas ketahanan membaca hehehe :) sangat inspiratif

  • ihhh cerita ini bikin aku mewek...panjang iyaa tapi aku suka
    ada bahasa makasar jadi tambah ingat waktu dinas di daerah yang banyak orang bugis :)

    • Iya nih kepanjangan, ampe capek ya bacanya. Padahal pas nulis enggak capek ahahahaha. Iya, orang bugis memang ngangenin yak :P.

  • panjang sekali mbak ceritanya, tapi keren loe tulisannya, walau panjang namun ga membosankan. oya berarti mbak jihan punya satu adik perempuan ya, yang lainnya abang mbak semua, oya ibu mbak jihan yg ga pake jilbab itu ya? subhannallah masih muda sekali ibunya ya, ternyata semakin banyak anak semakin awet sebenarnya ya,

    • Iya soriiiii hehehehe. Kepanjangan bener yak -_-. Iya, dari 7 bersaudara, perempuan cuma 2, saya dan adik perempuan yang persis di bawah saya :). Mama bandel tuh, enggak pakai kerudung pas difoto :P.

  • Trharu...thanks ceritanya... *_*..... Unt cerita yg mau nikah dan pindah mengikuti suami mb... Pengalaman berharga dan penyesalan mmg jk kita smp bertentangan dg ibu... Sy pernah mengalaminya jg... Skrg kalo ingat itu miris deh ga ..hny Doa dan doapd ibu yg aku panjatkan jika teringat hal itu.. Hehe jd curhat :)
    Yg pengalaman memake jilbab sama lancarnya mb... Alhamdulillah wkt itu aku jg dikelilingi cerita og laen yg gak segampang kita caranya unt bs berjilbab.. Mb berjilbab usia smp masih muda bgt yak.. Hebat. Ohya mb yg ttg drumband itu aku inget katanya ada film dan buku yg bercerita ttg semangat mengikuti lomba drumband loh.. Kalo gak salah judul buku dan filmnya 12 menit.. Udah tau blm? Btw sip mb.. Ceritanya lengkap mengingatkan kita jg ttg ibu.... Huhuhu... Ibu..... :)

  • Jihaaan aku suka dan terharu bgt bacanya, dan setiap topik paragraf bikin aku inget sama mamakku. Hiks, Apalagi yg berantem pas mau kawin. Skrg aku mikir apa sih susahnya nyenengin dia ya, dulu aku menentangnya masalah yg menurutku kecil macam dia maunya make gelar di undangan, aku nggak mau, dia maunya sanggul tradiosional aku maunya modern, dan sampe kelar kata kaata yg aku sesali bgt, meski akhirna aku minta maaf ke beliau. Aku deket bgt sama beliau setelah menikah, mataku jadi kebuka aja dengan setiap tindakannya di masa lalu yg dulu jadi bahan perseteruan kami. Ada masanya bahkan dulu sblum nikah aku lebih seneng ngobrol sama temen drpada sama mamak, dan lebih takut sama pacar daripada sama mamak.Hiks. Tp skrg, she's the very dearest bestfriend I have. Bener, hers is where mine begin.
    Selamat 61 tahun, ya mama-nya Jihan. What a great woman you are to raise 8 great kids.
    Sehat selalu dan berbahagia di hari mendatang.

    • Berarti bener ya pepatah, "Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah" :). Mudah-mudahan galahnya bisa disambung-sambung jadi tambah panjang hehehehe :P.

  • Bahagianya mamamu mendapat tempat seindah tulisan ini pula di hati putrinya. Semoga ibunda mb Jihan selalu dalam nikmat sehat,sejahtera dan kebahagiaan. Dan semoga begitu juga utk almh Mamaku di"sana".
    *peluk*

  • Kak Jihan, masih favorit SMP 6 sampai sekarang. Tambah susah masuk di sana.

    Oya, ada foto drumband ku. Mau ki'?