by : Jihan Davincka
***
Saya termasuk beruntung. Dalam hitungan hari setelah sidang terakhir penentuan kelulusan, saya diterima bekerja. Bulan April 2002, saya sudah mendapat kepastian diterima bekerja. Jadi, ketika menghadiri wisuda di bulan September di tahun yang sama, saya sudah berstatus sebagai pegawai.
Tempat kerja pertama ini yang meninggalkan kesan paling dalam. As they said, “First love never ends.”
Kantornya di Cikini, tepat di depan stasiun kereta. Hanya membayar abonemen 45 ribu sebulan (bisa naik kereta sepuasnya), saya tinggal menyeberang jalan dari stasiun menuju lobi kantor.
Pertama kali ditempatkan dalam ruangan di lantai 8. Nama ruangannya 8C. Diisi 8 orang. Perempuannya cuma satu :P. Sebagai pekerja IT di awal tahun 2000-an, kondisi seperti ini sudah biasa. Sekarang sih, alhamdulillah, sudah banyak pekerja IT perempuan :).
Kalau makan siang, serasa tuan puteri dikelilingi pengawal :D. Bila hari jumat tiba, sebagian salat jumat di masjid. Sebagian lagi, yang non muslim, biasanya makan di tempat yang agak jauh. Mesti pakai acara nyetir gitu lah. Saya biasanya tetap memilih makan di sekitar kantor.
Nah, saat berjalan sendiri itu sering dibecandain teman-teman dari divisi lain, “bodyguardnya mana?” :D.
***
Di penghujung tahun 2005, saya pindah ke perusahaan lain. Kantornya di gedung BEJ. Tapi di sana tak lama. Cuma sekitar 6 bulan.
Baru sebulan masuk, saya sudah mendapat telepon dari sebuah perusahaan besar yang saya impi-impikan. Tiba-tiba tak ada kabar lagi. Saya pikir saya gagal. Tapi 3 bulan kemudian, ada telepon lagi. Kali ini tes kesehatan dan interview terakhir.
Bulan juni 2006, saya resmi menjadi karyawan di salah satu perusahaan consumer goods terbesar di Indonesia. Sebuah perusahaan yang bikin penasaran karena beberapa kali memenangkan award sebagai “The Most Admired Company” di Indonesia.
Masih ingat betul memasuki lobi kantor yang sangat megah saat interview terakhir, tak sadar dalam hati berbisik, “Kalau diterima, gak mau pindah-pindah lagi.” Intinya, “I wanna grow old here!” Segitunya, ahahahaha.
Memang benar, selama kerja di sana, saya nyaris tak pernah melamar lagi di perusahaan lain.
Semasa masih gadis, saya berangkat kantor sebelum jam 6 pagi. Menghabiskan waktu sejam terlebih dahulu di gym kantor, yang disediakan gratis buat seluruh karyawan di lantai paling atas. Setelah itu, baru deh mandi di kamar mandinya yang super komplit. Benar-benar tinggal bawa baju ganti. Mulai dari handuk, sabun, sampai hair dryer, tinggal comot saja. Ada fasilitas sauna segala, lho ;).
Usai cuti melahirkan anak pertama, kembali masuk kerja dengan rutinitas tambahan : memeras ASI. Kalau ibu-ibu lain mungkin mengeluh harus penuh perjuangan memeras ASI di toilet kantor, kantor saya menyediakan nursery room yang sangat nyaman, luas dan fasilitas lengkap. Di salah satu pojok ruangan diletakkan sebuah kulkas untuk menitipkan ASI sebelum dibawa pulang.
Tapi sejak punya anak memang mendadak galau. Padahal ASI ekslusif biarpun susah awalnya, namun akhirnya menuai kesuksesan. Di hari-hari terakhir sebelum mengambil keputusan penting, pekerjaan di kantor sedang padat-padatnya. Hari libur pun masuk.
Setelah berpikir selama berbulan-bulan, saya akhirnya yakin untuk duduk di hadapan bos sambil menyerahkan surat resign saya. Untuk saya pribadi, keputusan resign adalah yang terbaik kala itu.
***
Hari terakhir resign biasa saja. Saya sengaja memilih tanggal resign dimana saat itu rekan-rekan satu divisi sedang Annual Conference di Bali. Saya ikut juga, sih hihihihihi. Hari terakhir ngantor dilewati dengan hepi-hepi di Nusa Dua :P.
Saya pulang lebih awal dari Bali. Eskoknya, di hari jumat, saat lantai tempat saya nyaris kosong, saya duduk sendirian menyusun farewell letter buat teman-teman.
Hari sabtunya, kantor libur. Saya minta suami menemani ke kantor untuk mengangkut sisa-sisa barang yang masih tersisa di meja.
Waktu memasuki lobi masih ketawa-ketawa. Sambil menerangkan ini itu kepada suami yang memang cukup terpesona dengan kemegahan kantor saya :P.
Tiba di lantai 7, waktu lift baru membuka pun masih sempat-sempatnya bersongong-songong ria, “Lihat nih Bang, ruanganku. Keren, ya. Tiap lantai beda-beda interiornya. Lantaiku mungkin temanya apa ya… outer space mungkin…”
Sementara suami sibuk lihat-lihat, saya berjalan menuju meja saya. Baru duduk sebentar, eeehhh…tahu-tahu mewek. Ahahahahaha. I really didn’t see this coming.
Suami sadar terus mendekat, “Take your time. Aku tunggu di bawah aja, ya.”
Begitu suami sudah menghilang di balik lift, baru deh meweknya lebih khusyuk lagi :P. Satu persatu barang-barang dari atas meja saya taruh dalam kardus. Melongok ke bawah meja, mewek lagi, lihat Reebok abu-abu yang setia menemani jam-jam fitnes di gym kantor. Drama abissss.
Hari itu resmi meletakkan karir yang dibangun tanpa jeda selama 7 tahun penuh.
***
Saya dari dulu suka iri pada salah seorang kakak saya. Yang nomor 4, pas di atas saya. Waktu tinggal di kontrakan yang sama, dia sering tidur larut.
Pernah saya intip, dia sedang sibuk sendirian dalam kamar. Dia asyik gonta ganji baju-celana-rompi-topi-sepatu-tas. Enggak heran, pekerjaannya memang di dunia wardrobe.
Biarpun didera jam kerja yang cukup panjang dan tidak teratur, dia kelihatan enjoy banget. Pulang larut, kadang tak langsung merebahkan diri di atas kasur. Malah sibuk wara wiri di kamar, membuka tumpukan majalahnya (katanya cari ide), atau sibuk berdandan sendiri depan kaca.
Pekerjaannya adalah wara wiri ke mal-mal besar, berburu busana-tas-sepatu sampai ke pasar loak, bertemu desainer, hingga mengurusi penampilan orang lain. Awalnya saya pesimis ada duitnya gak tuh, tapi dia tetap tekun. Terus meniti karier tanpa beban.
Bahkan, penghasilannya makin lama makin besar. Proud of you ;). Tapi kakak saya mau-mau saja mengerjakan proyek-proyek “thank you” dari teman-temannya. “Gue gak dibayar. Tapi ya, seneng-seneng aja, booo…”
Dia didorong passion yang luar biasa. Hidupnya memang paling bikin iri.
Duh, passion saya sendiri apa, nih? Sesuatu yang membuat kita terus ‘bertahan’ bahkan bila harus dikerjakan tanpa imbalan uang sekali pun.
***
Awal resign, saya rajin bikin kue. Iseng saja. Mana tahu ada bakat hehehe. Hobinya makan coklat. Jadi, ogah mempraktekkan resep lain selain kue coklat dan brownies coklat.
Lalu, rajin mengolah lauk dengan mengandalkan resep-resep online. Eh, lama-lama asisten rumah tangga saya yang tadinya tidak begitu mahir memasak, mendadak jadi jagoan di dapur. Karena sering menemani saya praktek, dia yang lebih getol. Sementara saya sudah makin mengendur semangatnya. Saya bisa memasak, kok. Tapi sebatas kewajiban saja.
Mencoba MLM juga sudah pernah. Tapi ya, mengerjakannya separuh hati. Jadi, saya putuskan berhenti.
***
Saat melangkahkan kaki pulang di hari sabtu itu bersama beberapa kardus berisi barang-barang di kantor yang siap dibawa kembali ke rumah, saya mengira hidup saya akan biasa-biasa saja setelah itu.
I thought, “The door has been closed.” Meksipun butuh 3 tahun kemudian untuk membuktikan pepatah lama, “When one door closes, another opens.”
Siapa sih yang mengira setelah memutuskan berhenti berkarier, banyak pengalaman baru menanti.
Tak lama setelah resign, tak lagi menunggu-nunggu tanggal 21, dimana saldo tabungan akan melonjak secara reguler, rezeki dialirkanNya melalui jalan lain. Obsesi suami selama berbulan-bulan untuk mencari peruntungan ke luar negeri, dikabulkan setelah saya mengajukan surat resign. Hanya 3 minggu setelah saya melewatkan hari terakhir di kantor, suami berangkat ke luar negeri untuk pertama kalinya.
Dan nasib baik terus bergulir hingga akhirnya kami sekeluarga bermukim di kota Jeddah. Di kota yang saya pikir akan menjadikan saya sebagai ‘tahanan rumah’, malah saya menemukan passion sejati saya. Eyke demen menulis ternyata ^_^.
Ini adalah hobi waktu masih kecil. Sudah belasan tahun tak tersentuh. Malah saya sudah lupa pernah punya kebiasaan menulis saat masih kecil dulu.
***
Hidup terlalu singkat untuk digunakan menyesali masa yang sudah lewat. Setahun pertama setelah resign dulu, kadang ada terselip rasa menyesal, “Why am I doing this again?”
Sesekali menyesali, tapi untungnya, harapan terus terpelihara. Selalu meyakini pasti ada sesuatu yang (mungkin) lebih istimewa menanti di depan sana. Tidak tahu apa, tapi insya Allah ada.
Menulis membangkitkan gairah baru. Energi yang jauh lebih besar yang tidak pernah terpikir bisa dicapai. Meskipun penghasilannya belum ada apa-apanya dibanding saat berstatus pegawai swasta, tapi mengerjakannya selalu senang dan semangat, tak ada bosannya. Di blog, di notes, di wall, dimana saja.
Sampai-sampai seorang teman pernah berujar, “Buset deh lu, sekarng kalau bikin status panjang-panjang amat. Pusing tauk bacanya.” Hehehehehe.
Padahal sebenarnya, tiap kali ingin update status saya cuma ingin menyapa dengan satu kalimat. Tapi tangannya nih yang gatel :P.
Seperti kali ini, saya awalnya hanya ingin mengucapkan “Selamat Tahun Baru Hijriah 1434” :).
Dirayakan dalam hati masing-masing saja, ya. Bersyukur diberikan waktu untuk menikmati pergantian tahun lagi. Waspada karena sisa umur akan makin terkikis. Make decisions, take some stands, and set some goals.
“Listen as your day unfolds, challenge what the future holds. Try to keep your head up to the sky.” (Desree, You Gotta Be)
Sekali lagi, “Selamat Tahun Baru Hijriah 1434.” Challenge what your future holds!
***
View Comments (5)
Hi mba' Jihan, salam kenal :)
suka deh sama tulisan-tulisannya ;)
dan saya jadi dapet tambahan lagu untuk di uplifting songs list saya dari sini.hehe...
makasih ya mb. Untuk menulis dimana saja, yeay you! 8-)
Iyah, lagunya enak banget :D.
mukadimahnya banyak banget mbak hahaha ;D
Mukadimah? naon? :P
wahh mba jihan,,,aku semakin kenal dirimu :)..salut..passion nulisnya menginspirasi banyak orang, salah satunya saya :)