X

Pengkajian Ulang UU Penistaan Agama, Harus Menunggu Berapa Korban Lagi?

Api mengamuk di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) “Bahtera Kasih”. Di dalamnya ada Pendeta Ishak Kristian, isterinya Ribka Lena, dan anaknya Elisabeth Kristian. Satu keponakan Nova Samuel dan seorang karyawan magang, Rita.

Mereka tidak berani keluar dari gereja karena massa berkumpul dan mengamuk di luar. Massa inilah yang mengobarkan api di gereja. Bapak pendeta dan seisi penghuni gereja ikut terbakar di dalam.

Tidak hanya GPPS, sebelumnya gedung Pengadilan Negeri/PN di Situbondo sudah terlebih dahulu dihajar massa. Habis dilalap api. Ketua PN Situbondo dilempar batu dan mengenai keningnya. Beliau berusaha lari lewat pintu belakang.

Apa yang terjadi?

Massa mengamuk setelah sidang tuntutan jaksa kepada terdakwa penistaan agama Islam oleh pelaku yang juga beragama Islam, Saleh. Jaksa sudah memberikan tuntutan maksimal 5 tahun tapi massa menuntut hukuman mati.

Saat massa mengamuk dan mulai menyerang para pegawai PN dan melempar batu, bahkan terdakwa Saleh dikejar dan berhasil dihajar dalam tahanan setelah massa berhasil merangsek masuk.

Saleh dibawa pergi oleh petugas. Entah bagaimana awalnya, di tengah orang-orang yang sedang terbakar, isu pun menyulut bahwa Saleh disembunyikan di dalam gereja Bukit Sion, tak jauh dari gedung PN Situbondo.

Dengan sisa-sisa bensin yang mereka rampas dari mobil dan motor milik PN dan Polres, Gereja Bukit Sion pun dibakar.

Kerusuhan Situbondo (gambar : store.tempo.co)

Kemarahan makin tak terkendali, gereja-gereja lain pun diamuk massa. Mereka berpencar ke berbagai penjuru kota. Rumah pendeta juga ada yang kena. Bahkan sebuah yayasan panti asuhan dan anak kurang mampu yang baru dibangun 3 bulan sebelumnya juga tidak luput dari sasaran. Termasuk TK Santa Theresia dan sebuah pondokan suster/biarawati.

Saat membakar pertokoan, satu kompi senapan datang. Mereka mulai diamankan dan kerusuhan baru benar-benar selesai pukul 11 malam.

Hal ini diawali oleh pelaporan dari salah seorang kyai bahwa Saleh menistakan agama Islam dengan mengatakan bahwa Allah itu makhluk biasa. Saleh juga mengatakan bahwa salah satu kyai yang merupakan pemimpin pondok pesantren dan sangat dihormati di kalangan NU, meninggal tidak sempurna.

Dari situ awal mulanya.

Berbagai berita kemudian menyebutkan kasus ini digunakan untuk mendiskreditkan kelompok NU. Apa mungkin ya menyebut akar permasalahan sebenarnya dalam internal NU? Karena terpidana Saleh juga dikenal sebagai pemuda NU.

Lalu, saya teringat juga dengan kisah Farkhunda di Afghanistan.
Farkhunda dihajar, dipukuli, diseret dengan mobil, dan mayatnya dibakar sampai hangus oleh ratusan laki-laki yang ditonton BAHKAN divideokan oleh banyak orang. Dengan anggapan Farkhunda sudah menistakan agama.

Gambar : operationworld.org

Ah ya, anda tahu bahwa Farkhunda ini seorang PEREMPUAN? Demi membela agama, ratusan laki-laki ini menganiaya seorang perempuan. Anda mungkin lebih terpana lagi kalau tahu latar belakangnya.

Walau isu di Afghanistan tentu lebih kompleks karena melibatkan trauma mendalam sehabis perang berkepanjangan dan misoginisme yang masih ramai merebak di sana. Kejadiannya bahkan di jantung ibukota bukan di daerah pedalaman.

Kisah Farkhunda sudah pernah saya tulis di sini.

Di negara Afghanistan dan Pakistan, Blasphemy Laws (Undang-undang Penistaan Agama) jauh lebih hits dan menimbulkan peristiwa-peristiwa kontroversial. Sampai-sampai negara mungkin tidak perlu punya pengadilan terkait masalah ini.

Karena kalau ada yang dirasa menista agama, boooom!!! Seketika itu juga sumbu-sumbu dari berbagai penjuru bisa tersulut sampai meledak.

Yang baru-baru ini terjadi menimpa seorang mahasiswa Marshal Khan. Marshal Khan dianggap menghina Islam karena postingan-postingan di akun media sosialnya. Sama seperti Farkhunda, hajar dulu, cari tahu kemudian.

Sampai sekarang tidak ada bukti kuat telah terjadi penistaan agama tapi ya orangnya dah keburu meninggal disiksa sampai mati beramai-ramai.

Dalam kasus Pakistan, kebebasan berpendapat mungkin menjadi salah satu isu utama. Konon juga, ada yang sakit hati karena kalah berdebat dengan Marshal Khan.

Sementara Marshal Khan sendiri dikenal sebagai pemuda muslim yang sering mengkritik pemerintah karena dianggap gagal mempraktikkan agama Islam sebagai rujukan mayoritas yang seharusnya mampu membawa Pakistan ke arah lebih baik.

Serangan terorisme di Pakistan (gambar : rt.com)

Korupsi dan internal politik yang tidak stabil mungkin kerap menjadi sasaran kritikan Marshal Khan. Tapi orang lebih fokus membahas penistaan agamanya.

Di Afghanistan dan Pakistan hukuman penistaan agama itu maksimal hukuman mati.

Kasus lain di Pakistan terjadi di tahun 2009. Menimpa seorang kristiani yang dikenal dengan nama Asia Bibi. Secara umum, penduduk minoritas kristiani di Pakistan menempati kelas bawah secara sosial. Mereka rata-rata bekerja di sektor-sektor informal.

Di suatu siang setelah acara panen bersama rekan-rekan buruh taninya yang muslim, Asia Bibi terlibat perdebatan dengan dengan salah satu dari mereka.

Asia Bibi terlihat mengambil air dengan menggunakan gelas yang tergeletak di pinggir sumur. Sesuai aturan di sana, orang Kristen tidak boleh minum air dari perkakas yang sama karena diyakini Asia Bibi itu tidak bersih karena agamanya Kristen (bukan Islam).

Pemicunya mungkin ada hal lain juga. Karena perempuan yang pertama melihat dan marah kepadanya ditengarai sudah sering berdebat dengan Asia Bibi di kesempatan-kesempatan sebelumnya.

Saat berdebat inilah, Asia Bibi merasa statusnya sebagai umat kristen dilecehkan dan akhirnya membalas, ” “I believe in my religion and in Jesus Christ, who died on the cross for the sins of mankind. What did your Prophet Mohammed ever do to save mankind?”

(Saya meyakini agama saya dan percaya Yesus Kristus, yang meninggal disalib untuk menghapus dosa umat manusia. Apa yang dilakukan nabimu, Nabi Muhammad untuk menyelamatkan umat manusia?)

Nah, pernyataan dari Asia Bibi inilah yang dilaporkan sebagai penistaan agama. Yang kemudian membuatnya menerima putusan hukuman mati.

Belum selesai sampai di sini. Gubernur Punjab, seorang muslim, Salman Taseer menggugat keputusan tersebut dan meminta pengampunan untuk Asia Bibi.

Bahkan Taseer secara terbuka mengkritik undang-undang penistaan agama dan mengimbau agar dilakukan peninjauan kembali atas UU tersebut.

Hasilnya? Salman Taseer mati dibunuh oleh salah satu pengawalnya sendiri, Malik Qadri. Taseer dianggap “mengkhianati” agama karena kritikannya kepada UU penistaan agama.

Pembunuh Taseer dihukum mati dan dieksekusi di bulan akhir Februari 2016. Saat pemakaman jenazah Qadri, ribuan umat muslim berbaris menghormatinya sebagai mujahid dan bahkan beberapa pihak melarang pendukung Taseer untuk mengirimkan tanda simpati kepada Taseer.

Salman Taseer (Gambar : tribune.com.pk)

Ribuan umat muslim tersebut menyatakan dukungan terhadap UU penistaan agama (yang digugat oleh Taseer). Sekaligus menunjukkan simpati mereka kepada Malik Qadri, si pembunuh Taseer.

Tak hanya Taseer, kritik terhadap UU penistaan agama juga merenggut nyawa salah satu nyawa pejabat tinggi Pakistan lainnya, Shahbaz Bhatti. Bhatti adalah penganut kristen seperti Asia Bibi dan satu-satunya pejabat beragama Kristen dalam kabinet.

Bhatti dibunuh dengan alasan yang sama terhadap Taseer, membela Asia Bibi dan menggugat UU penistaan agama.

Kasus terkini, soal Ahok, mungkin tidak sesadis kisah-kisah di atas.

Dengan 76% tingkat kepuasan masyarakat terhadap hasil kerja petahana saja sudah menunjukkan ANOMALI hasil Pilkada di bulan April lalu. Sejak awal, kasus yang “diada-adakan” ini sudah sangat membebani beliau di masa kampanye dan desakan massa yang terus menerus.

Saya yakin 100% Ahok akan baik-baik saja. Yang lebih saya khawatirkan adalah kejatuhan harapan baik oleh diri saya sendiri maupun teman-teman yang sudah terlanjur “terbang”.

Mungkin banyak yang pertama kalinya dalam tahun-tahun kita hidup sebagai warga Indonesia merasakan yang namanya PERCAYA lagi kepada pemerintah.

Saya rasa di situ letak kepahitannya.

Siapa sih kita dulu-dulu? Ikut Pilkada seadanya. Seperti saya tahun 2007 yang ikut Pilkada ya untuk ramai-ramai saja. Ditanya program saya bengong sendiri. Pilpres tahun 2009 juga gitu. Cap cip cup kembang kuncup saja.

Tidak ada harapan apa-apa. Siapa yang menang juga ya sudahlah. Saya tidak tahu harus berharap apa . Mau kampanye juga bingung apa yang diperjuangkan gitu?

Selama ini, saya pikir kita sebagai rakyat tidak salah. Ya gimana, dikasihnya pilihan-pilihan model begitu? Dalam Pilkada Banten misalnya. Piihannya si petahana yang tidak jelas juga kerjanya apa berhadapan dengan calon lain yang wakilnya adalah anak kandung dari dinasti korup yang sebelumnya menguasai Banten? Harus pilih siapa kalau begini???

Bahkan si embak-embak cantik, yang suaminya tersandung korupsi juga yang juga masih kerabat dinasti korup di Banten terpilih lagi menjadi walikota di Tangerang Selatan. It’s casual. Nothing special.

Lalu, ada Ahok di Jakarta. Yang hasil kerjanya begitu gemilang berhadapan dengan pasangan yang sama sekali tidak punya rekam jejak di pemerintahan daerah, ujug-ujug datang menantang di ibukota dengan modal santun dan program kerja yang benar-benar bikin kening berkerut. Tapi petahana kalah dengan telak.

Dan kini, meringkuk pula di penjara yang kasusnya dilatarbelakangi sebuah ayat yang bahkan para ulama pun punya perbedaan pendapat mengenainya?

Isu penistaan agama dengan tekanan yang begitu besar terlihat nyata di Pilkada DKI tahun ini. Saya tidak berani mengatakan seberapa besar pengaruhnya. Tapi yang jelas ADA dan sangat NYATA kan?

Ada salah satu kasus penistaan agama lain di tahun 1998. Ada unsur politisnya juga. Secara skenario mirip dengan Ahok tapi terbalik pelaku dan yang “korban”nya. Kali ini yang merasa ternistakan adalah minoritas. Hasilnya? Ya kasusnya menguap begitu saja walau ancaman makar dan demo besar-besaran terjadi di Bali.

Ini sampai kapan akan begini? Ukuran-ukuran ternistakan, merasa dinista, melakukan penistaan sebenarnya apa, sih? Berdasarkan perasaan? Perasaan siapa? Berdasarkan tekanan masyarakat? Dukungan massa?

Massa bergerombol yang menyuarakan rintihan kebencian ya jelas menjadi bahan bakar potensial yang digaruk dikit itu nanahnya bisa muncrat ke mana-mana. Ingat Situbondo di awal tulisan?

UU penistaan agama akan selalu menjadi bola karet yang tidak pernah jelas pantulannya akan ke mana. Mau dibiarkan sampai kapan? Harus menunggu berapa rumah ibadah terbakar? Harus ada yang mati dulu?

Apa sebenarnya definisi membela agama ini? Kepuasan batin atau gimana? Jika kita adalah yang beragama, sejauh mana agama itu bisa mempersembahkan solusi bagi kebaikan masyarakat sekitar? Dengan ancaman dan intimidasi?

Think about it ya :).

davincka@gmail.com: