Joan berlari membuka pintu, mengejar Katherine yang bergegas pergi, “It was my choice not to go! He would have supported it.”
Katherine menggeleng, “But you don’t have to choose!”
“No, I have to. I want a home, I want a family! That’s not something I’ll sacrifice.”
Katherine berkeras, “No one’s asking you to sacrifice that, Joan. I just want you to understand that you can do both.”
Joan mengernyit, “Do you think I’ll wake up one morning and regret not being a lawyer?”
“Yes, I’m afraid that you will.”
Joan menangkis, “Not as much as I’d regret not having a family, not being there to raise them. I know exactly what I’m doing and it doesn’t make me any less smart. This must seem terrible to you.”
“I didn’t say that.”
Joan keukeuh, “Sure you did. You always do. You stand in class and tell us to look beyond the image, but you don’t. To you a housewife is someone who sold her soul for a center hall colonial. She has no depth, no intellect, no interests. You’re the one who said I could do anything I wanted. This is what I want.”
Sudah nonton fim Mona Lisa Smile? Ingat tidak dengan scene yang saya kutip di atas :D.
Hari Guru ya, tentunya kudu eksis! Nyahahaha :p.
No, no, I won’t mention any spesific teachers for my 16 years of my formal education back then :D. Buat saya, mereka semua sangat pantas untuk dikenang dan comot sedikit tulisan Mas Iqbal, setiap mereka punya peran dalam membentuk seperti apa kita sekarang :).
They’re all my heroes <3.
Guru identik dengan pendidikan. Dan somehow, buat perempuan, pendidikan itu punya jalan panjang nan berliku not mention drama-dramanya hehehe. Karena itu, banyak film-film yang diangkat dengan tema-tema “to educate women” macam Mona Lisa Smile tadi :).
Seorang guru ala-ala feminis, Katherine, datang mengajar seni di sekolah khusus perempuan di Massachusetts. Bisa dibilang, sekolah ini tempat berkumpulnya perempuan-perempuan berotak encer :D.
Entah kalian sadar atau tidak, bahwa “feminis” itu termasuk isu baru di abad ke-20 yang baru kencang berhembus pasca Perang Dunia 2. Diakibatkan perang berkepanjangan, perempuan pun terpaksa mengambil banyak peran sementara kaum lelaki pergi bertempur di garis depan.
Perang usai, kaum perempuan menyadari satu hal. Sebagian mereka tidak ingin “pulang ke rumah” dan tetap ingin melanjutkan peran di luar rumah. Itu baru terjadi di tahun 50 an lho.
Jadi, bayangkan kerennya pemikiran perempuan-perempuan Indonesia yang sudah menggagas pendidikan dan kebebasan buat kaum perempuan di Indonesia sebelum tahun 1945 ;). Tak sedikit dari perempuan ini justru datang berbekal semangat dan pengetahuannya tentang Islam. Ironisnya, sekarang beberapa kalangan Islam yang malah berusaha membenturkan kembali soal beginian.
Kaum feminis menentang banyak hal. Tapi alih-alih meminta keadilan, lama-lama jadi lepas kendali sehingga ada perlawanan dari sesama kaum perempuan sendiri. Kaum feminis dianggap lebay dan menganggap laki-laki sebagai musuh.
Sebenarnya sih, ada juga feminis yang agak ‘waras’. Mereka tidak memperjuangkan kesetaraan yang gimana-gimana. Mereka hanya ingin PEREMPUAN BISA MEMILIH.
Dan pesan bahwa “PEREMPUAN BISA MEMILIH” itu dijabarkan dengan sangat baik di film Mona Lisa Smile.
Tahun 50-an banyak anak gadis yang bersekolah seadanya hanya untuk mencari suami yang mapan. Agar mereka punya akses ke arah sana. Masih tabu bagi perempuan untuk terus melanjutkan pendidikan selepas pendidikan selevel SMA. Lulus SMA ya kawin, gitu normalnya.
Sementara, pilihan untuk peran ganda, berkarier sekaligus berkeluarga juga belum umum, lho. Bayangkan itu tahun 50-an. Belum ada 100 tahun dari sekarang! :p.
Tapi lantas, semangat kebebasan ini lama-lama dirasa memojokkan sebagian kalangan perempuan yang memang niatnya ingin menikah dan mengurus anak. Sisanya nyusul ajalah hehehe. Ya syukur-syukur bisa kerja dari rumah. Tidak pun tidak mengapa.
Di Mona Lisa Smile, endingnya juga cakep dan enggak basi. Sorry spoiler hehehe. Tokoh Joan yang mati-matian pengin jadi lawyer dan memang termasuk yang paling cerdas dan rajin akhirnya memutuskan untuk menikah dan tidak mendaftar ke Yale University padahal keterima.
Di percakapan di atas tadi, Joan meyakinkan Katherine bahwa itu adalah PILIHANNYA. Dan pilihan itu tidak membuatnya menjadi tidak merasa pintar, “It doesn’t make me less smart.”
Sebaliknya, ada murid yang lain, Bettie, yang tadinya konservatif banget dan suka meledek Katherine yang dianggapnya “perawan tidak laku”. Bettie nyolot melulu ke Katherine. Bettie sakit hati ketika suaminya ternyata selingkuh. Ibu Bettie memaksa Bettie memaafkan dan melupakan dan terus melanjutkan pernikahan. Perceraian juga termasuk tabu lho waktu itu. Perempuan pun tidak leluasa minta cerai.
Instead, Bettie, yang memang dasarnya juga vokal dan encer, nekat minta cerai dan memutuskan untuk mendaftar ke Yale University yang juga menerimanya :). Ini pokoknya satu geng pinter semua lah ceritanya hihihi. Joan, Bettie, sama ada 2 orang lagi yang seru juga kepribadian dan konfliknya. Suka banget deh sama film ini :D. Perempuan banget hehehe.
Perempuan memang spesial. Banyak dibatasi tapi kepadanya pula banyak tertumpuk harapan setinggi bintang, as they always said, “Perempuan itu guru pertama buat anak-anak mereka nantinya.”
Perempuan makanya harus pandai berdamai dengan dirinya sendiri. Karena pengaruhnya besar kepada anak-anak ditambah lagi tugas penting mendampingi suami. Mendampingi kan bukan hanya cekokin nasi ke mulutnya kalau dia lapar atau setrikain kemejanya kalau dia mau ke kantor toh yaaaa :p.
Kita sendiri yang harus pandai-pandai memutuskan. Pintar-pintar mengenali diri sendiri. Menjunjung tinggi pendidikan tapi tidak mengikat diri kepada label-label yang menyertainya. Sekaligus jangan doyan membanding-bandingkan karena kita ini rentan diadu domba karena lebih baper :p. Hehehe. Terima saja fakta kalau kita ini lebih baper. BAwaannya laPER melulu hahaha :p. Ibu menyusui mode on :v :v.
Peran guru, harusnya lebih banyak menginspirasi ketimbang hanya transfer ilmu. Itu sih, era sekarang baca wikipedia juga sudah cucok yaaaaa :p.
Untuk peran semulia itu, makanya perempuan diciptakan spesial ;).
“Let me tell you something, Toula. The man is the head, but the woman is the neck. And she can turn the head any way she wants.” -Maria Portokalos, from the movie Big Fat Greek Wedding-
Selamat hari guru <3.
View Comments (3)
pernah nonton pelem ini dulu banget, dan minat nonton karena bintang pelemnya favorit semua :) tapi perasaan dulu ga terlalu heboh ya filmnya? saya mah suka suka suka banget!
Yupp suka banget scene antara Julia Robert dan Julia Stiles ini.. Pertama mungkin ngena ke diri sendiri yang saat ini memilih melepas kerjaan dan mengurus keluarga. Satu yang selalu jadi pegangan bahwa ini adalah pilihan dan ingatlah, saya memilih peran ini sebagai ibu rumah tangga mengurus keluarga bukan karena saya tidak mampu untuk menjadi peran lain (dalam hal ini Working Mom), persis seperti yang dibilang Joan. Untuk saya pribadi memang setahun pertama butuh perjuangan, bergelut dengan pikiran macam-macam, tapi pada akhirnya saat saya sudah sadar soal peranan tersebut, saya sangat enjoy menjadi SAHM. Malah sejak jadi SAHM ini hobby traveling saya akhirnya bisa tersalurkan maksimal. Jadi, No Regrets!! Thanks mba Jihan sangat menginspirasi sekali blognya ;)
Oya tambahan mba Jihan, saya sangat senang saat membaca ini karena mengetahui ternyata ada orang yang juga suka dengan scene ini di Mona lisa Smile bahkan sampai ditulis dengan detail di blog.. Keren mba..
Thanks...